Jakarta, Law-Investigasi – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) fokus menghadapi masalah kejahatan berkaitan dengan pencucian uang, salah satunya terkait dengan kejahatan lingkungan atau green financial crime (GFC). Apa itu green financial crime?
PPATK sendiri sudah pernah menjelaskan rinci berkaitan dengan green financial crime. PPATK pernah memaparkan tentang GFC ketika menghadiri acara acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) 2 Dekade Gerakan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) 2002 – 2022, di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (29/3/2022) lalu.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam pemaparannya saat itu mengatakan kejahatan lingkungan atau green financial crimes yang merugikan dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu program 2 dekade Gerakan APU PPT ke depannya. Aktivitas pencucian uang dari kejahatan lingkungan yang bernilai sangat besar telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia dan dunia internasional, karena merusak tatanan dunia dan mengancam keberlangsungan lingkungan.
“Bapak Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus terhadap green economy yang sejalan dengan perhatian global. Peran PPATK adalah berupaya memastikan bahwa integritas sistem keuangan Indonesia tidak dikotori oleh aliran uang hasil tindak pidana yang berasal dari lingkungan hidup. Pada kesempatan ini, PPATK juga mencanangkan pencegahan dan pemberantasan TPPU yang berhubungan dengan Green Financial Crimes sebagai upaya PPATK mendukung program pemerintah untuk membangun perekonomian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Ivan saat sambutan dalam acara itu.
Ivan lantas mengutip data Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang menyebutkan kejahatan lingkungan mencakup berbagai kegiatan mulai dari eksploitasi sumber daya alam, perdagangan sumber mineral, kehutanan hingga perdagangan limbah secara illegal. Berdasarkan hasil riset FATF yang dirilis Juli 2021, dari data INTERPOL dan Norwegian Center for Global Analysis (RHIPTO), nilai kejahatan lingkungan mencapai US$ 110 miliar – US$ 281 miliar atau Rp 1.540 triliun setiap tahun keuntungan yang diperoleh para pelaku kejahatan lingkungan.
Kejahatan Luar Biasa
Pembahasan green financial crime ini juga kerap dibicarakan PPATK di beberapa kesempatan. Salah satunya, ketika PPATK menyampaikan refleksi akhir tahun 2022.
Sekali lagi, PPATK menyampaikan bahwa pihaknya fokus menangani green financial crime. Ivan bahkan mengatakan green financial crime adalah kejahatan luar biasa.
“Bahwa PPATK saat ini fokus terkait dengan green financial crime, kalau teman-teman pahami, tagline dari 22 dekade APU PPT Indonesia terkait green financial crime, ini kejahatan yang luar biasa yang bisa kita pahami bagaimana sumber daya alam dirusak secara ilegal, dan hasilnya itu dipakai untuk menguntungkan beberapa pihak ya, dan justru tidak dalam konteks kesejahteraan masyarakat,” tutur Ivan dalam jumpa pers refleksi akhir tahun 2022 lalu.
Dia juga mengatakan PPATK pada saat itu telah menghasilkan total 31 hasil analisis dan satu hasil pemeriksaan terkait green financial crime. Nilai keseluruhan agregatnya Rp 4,8 triliun.
Dalam paparan Ivan ketika refleksi akhir tahun, rincian 31 hasil analisis pemeriksaan green financial crime disebutkan sebagai berikut;
– 6 hasil analisis di bidang lingkungan hidup,
– 7 hasil analisis tindak pidana di bidang pertambangan,
– 4 hasil analisis, dan satu hasil pemeriksaan tindak pidana kehutanan,
– 3 hasil analisis tindak pidana di bidang perkebunan,
– 10 hasil analisis terkait perdagangan satwa liar,
– dan 1 hasil analisis terkait tp kelautan dan perikanan.
“Ini nilainya juga luar biasa besar, dapat kami sampaikan itu nilainya secara keseluruhan agregatnya adalah Rp 4.865.934.816.374 (triliun), jadi hampir Rp 5 triliun angka yang PPATK lakukan analisis dalam konteks green financial crime,” tegas Ivan.
Angka Rp 4,8 triliun tersebut masih sama hingga Februari 2023 ini, hal itu disampaikan Ivan ketika rapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 14 Februari 2023.
Ivan mengatakan PPATK mendukung upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan green financial crime. Bukti dukungan PPATK itu degan melakukan penyusunan amandemen atas Perpres Nomor 117 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dia menjelaskan revisi perpres itu dengan mengusulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan masuk sebagai anggota Komite Pencegahan TPPU. Ivan menyebut sebelumnya dua kementerian itu tidak masuk dalam komite pencegahan TPPU.
“Sebelumnya dua kementerian ini tidak termasuk Komite Pencegahan TPPU,” ujar Ivan, Jumat (3/3/2023).
Selain itu, revisi perpres sebagai respons pemerintah atas kebutuhan penguatan rezim anti-pencucian uang pada sektor sumber daya alam (SDA). Dia mengatakan penyampaian rekomendasi amandemen perpres komite TPPU kepada Kemenkumham upaya nyata PPATK mendukung program prioritas bapak presiden yang berfokus pada green economy.
PPATK juga telah membuat surat edaran berkaitan dengan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan rujukan bagi pihak pelapor tindak kejahatan lingkungan hidup. Menurutnya, surat edaran itu bersifat tematis, misalnya, untuk identifikasi laporan transaksi yang berindikasi pada kejahatan perpajakan dan lingkungan hidup. Tak terkecuali pada biro atau agen perjalanan ibadah umroh, tindak pidana narkotika hingga perpajakan.
“Ke depan, PPATK juga akan menerbitkan surat edaran berkaitan dengan green financial crime atau kejahatan lingkungan hidup dan trade base money laundring yang sudah mulai dirintis melalui rakor dan FGD, serta public private partnership,” jelasnya.
(Vhe)