Hakim Sempat Emosi dalam Sidang Korupsi Tol MBZ

Hakim Sempat Emosi dalam Sidang Korupsi Tol MBZ

Jakarta, LINews – Hakim yang mengadili kasus dugaan korupsi pengerjaan proyek Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol layang MBZ tahun 2016-2017 sempat emosional saat mendengar keterangan saksi. Hakim geram karena keterangan saksi mengungkap lelang proyek triliunan rupiah ini seperti ‘tender hore-hore’.

Terdakwa dalam kasus ini ialah Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) periode 2016-2020, Djoko Dwijono. Dia didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 510 miliar dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Tol MBZ pada 2016-2017.

Jaksa mengatakan kasus korupsi itu dilakukan secara bersama-sama dengan Ketua Panitia Lelang di JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama sejak 2008, dan kuasa KSO Bukaka PT KS Sofiah Balfas, serta Tony Budianto Sihite selaku team leader konsultan perencana PT LAPI Ganesatama Consulting dan pemilik PT Delta Global Struktur. Masing-masing dilakukan penuntutan di berkas terpisah.

Djoko dan Yudhi disebut bersekongkol dengan sengaja mengarahkan pemenang lelang pekerjaan steel box girder pada merek perusahaan tertentu, yaitu PT Bukaka Teknik Utama. Hal itu membuat bentuk steel box girder berubah dari perencanaan awal basic design steel box girder berbentuk V shape dengan ukuran 2,80 m x 2,05 m bentangan 30 m dan pada dokumen spesifikasi khusus (dokumen lelang konstruksi) berubah menjadi steel box girder bentuk U shape dengan ukuran 2,672 m x 2 m bentangan 60 m.

Djoko bersama Yudhi juga disebut mengetahui dan menyetujui perbuatan Tony yang dengan sengaja tidak memasukkan mutu beton K-500 yang disyaratkan dalam dokumen spesifikasi khusus dengan kuat tekan fc’ 41,5 Mpa. Djoko dan Tony disebut bersekongkol dengan pihak KSO Waskita Acset untuk mengurangi volume pekerjaan struktur beton dengan cara menyetujui pekerjaan volume beton yang tidak sesuai dengan rencana tahap akhir (RTA), sehingga terdapat kekurangan volume pada pekerjaan pier head sebesar beton 7.655,07 M3, pekerjaan pilar sebesar 2.788,20 M3, pekerjaan tiang bor beton casy in place sebesar 4.787,32 M1, pekerjaan baja tulang sebesar 22.251.640,85 Kg.

Jaksa meyakini Djoko telah memperkaya KSO Waskita Acset senilai Rp 367.335.518.789,41 (Rp 367 miliar) dan KSO Bukaka Krakatau Steel sebesar Rp 142.749.742.696,00 (Rp 142 miliar) sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp 510 miliar. Djoko dkk didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Persidangan pun terus berlanjut dengan proses pembuktian. Terbaru, jaksa menghadirkan kuasa kerja sama operasi (KSO) Waskita Acset, Dono Partowo, sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakpus, Selasa (23/4/2024).

Dono, yang diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Djoko Dwijono, Sofiah Balfas, Tony Budianto Sihite, dan Yudhi Mahyudin, mengatakan proses administrasi pelelangan pengerjaan proyek pembangunan Tol Japek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat tetap dilakukan. Namun, katanya, hal itu cuma formalitas semata.

“Tadi Saudara jelaskan, PT Waskita-Acset ini, KSO ini ikut proses pelelangan. Saudara bisa jelaskan, apakah proses pelelangan yang Saudara ikuti betul adanya proses pelelangan atau seperti apa?” tanya jaksa dalam persidangan.

“Jadi, proses pelelangan itu, ya memang secara administrasi pelelangan dilakukan,” jawab Dono.

“Jadi, hanya formalitas pelelangan saja?” tanya jaksa.

“Ya, karena dapat dikatakan kita sudah akan tahu siapa yang menangnya,” jawab Dono.

Dono mengaku sudah mengetahui sejak awal jika perusahaannya akan memenangkan pelelangan proyek tersebut. Dia mengatakan hal itu disampaikan oleh atasannya yang saat itu ialah Direktur Pengembangan Bisnis Waskita Karya bernama Agus.

“Jadi, pada saat Saudara Saksi dari KSO Waskita-Acset ikut proses pelelangan sudah tahu akan menjadi pemenang?” tanya jaksa.

“Ya, itu disampaikan oleh Direktur Pengembangan kami,” jawab Dono.

Dia juga mengungkap kompetitor dalam lelang proyek pembangunan Tol MBZ dijanjikan proyek lain. Namun dia tak menyebut apa proyek lain itu.

“Ooh, jadi, untuk pekerjaan yang ini (MBZ) dimenangkan Waskita-Acset, untuk dua kompetitor lain akan dicarikan pekerjaan yang lain seperti itu? Itu penyampaian siapa? Atasan langsung Saudara tadi?” tanya jaksa.

“Iya, Pak Agus,” jawab Dono.

Dono mengaku sudah mengetahui pekerjaan utama dalam proyek pembangunan Tol Japek II itu tak boleh dikerjakan dengan subkontrak lagi. Namun dia mengatakan pekerjaan pembangunan tersebut tetap disubkontrakkan meski sudah tahu hal itu tak sesuai aturan.

“Pokok. Iya. Maaf, Pak. Jadi disubkannya itu suplainya, kalau pekerjaannya kami sendiri,” jawab Dono.

“Bapak kan tanda tangan kesepakatan itu ya dengan BPJT ya, perjanjian dengan itu. Dalam salah satu klausulnya kan dilarang mensubkan pekerjaan utama. Itu Bapak tahu?” cecar jaksa.

“Kami tahu,” jawab Dono.

Dono mengatakan setiap pelaksanaan pekerjaan yang disubkontrakkan juga dilaporkan. Dia mengatakan terdakwa Djoko Dwijono juga mengetahui hal tersebut.

“Semua pelaksanaan pekerjaan yang disubkan atas sepengetahuan Pak Djoko tidak?” tanya jaksa.

“Sepengetahuan, karena kan di laporan ada,” jawab Dono.

Hakim Geram

Ketua majelis hakim Fahzal Hendri pun geram saat mencecar Dono di persidangan. Hakim awalnya bertanya soal kewenangan pengambilan keputusan melakukan subkontrak terhadap pekerjaan utama proyek pembangunan Tol MBZ.

“Saudara diberi kewenangan apa tidak untuk mengambil suatu keputusan, termasuk apa itu untuk persetujuan sub mensubkonkan ke pihak lain? Saudara punya kewenangan itu?” tanya hakim.

“Ada. Kalau untuk yang subkon-subkon yang tidak inti, bisa diberikan,” jawab Dono.

Hakim terus mencecar Dono terkait aturan subkontrak pekerjaan utama proyek tersebut. Dono mengaku sudah mengetahui jika pekerjaan utama proyek itu tak boleh disubkontrakkan.

“Yang Saudara pahami pekerjaan pokok itu boleh nggak disubkan? Kan itu pertanyaan tadi. Boleh nggak tuh?” tanya hakim.

“Tidak boleh,” jawab Dono.

Hakim kembali mencecar Dono terkait alasan melakukan subkontrak proyek meski sudah mengetahui hal tersebut melanggar aturan. Dono mengatakan pihaknya selaku pemenang lelang tak memiliki sumber daya untuk melakukan proyek tersebut.

“Karena kami tidak punya sumber daya untuk melaksanakan itu kalau tidak disubkan,” jawab Dono.

Hakim lalu geram mendengar jawaban Dono. Hakim menyebut proyek pembangunan Tol MBZ tahun 2016-2017 itu sebagai tender akal-akalan karena pemenang lelangnya sudah ditentukan sejak awal.

“Kenapa diambil kalau begitu? Kenapa sebagai pemenang tender, makanya tender ini tender-tender akal-akalan ini, hore-hore istilahnya kan, iya?” tanya hakim.

“Iya,” jawab Dono.

“Ha-ha, udah tahu pemenangnya siapa dari awal. Betul itu?” tanya hakim.

“Iya,” jawab Dono.

Hakim kemudian bertanya berapa nilai kontrak pekerjaan steel box girder yang disubkonkan ke PT Bukaka Teknik Utama. Hakim kembali heran lantaran nilai proyek itu hampir mencapai Rp 5 triliun.

“Alah, proyek triliunan kayak gini kok main-main. Ini masalahnya. Dana triliunan. Nah, coba (PT) Bukaka itu berapa nilai kontraknya, coba Saudara tahu?” tanya hakim.

“Rp 4,365 triliun,” jawab Dono.

“Hampir Rp 5 triliun, triliun lho Pak, bukan Rp 5 miliar, Rp 5 triliun, betul itu?” timpal hakim dengan nada tinggi.

“Betul,” jawab Dono.

Hakim pun terus mencecar Dono terkait keputusan presiden (keppres) dalam pelaksanaan proyek pembangunan Tol MBZ tersebut. Hakim heran lantaran Dono tak mengetahui aturan tersebut padahal bertindak sebagai kuasa Waskita-Acset.

“Kok bisa-bisanya seperti itu? Tidak memenuhi aturan, Pak. Untuk apa aturan dibuat kalau hanya dikangkangin? Saudara punya peran itu kalau Saudara menyetujui supaya itu disubkan kepada pihak lain. Untuk apa aturan perusahaan, untuk aturan baku yang ada? Walaupun itu BUMN tapi harus mengikuti juga aturan, keppres. Saudara tahu keppres berapa? Tahu nggak tentang pengadaan barang dan jasa, tahu Saudara? Tahu apa tidak?” cecar hakim.

“Nggak, nggak tahu saya,” jawab Dono.

“Hah, apa gunanya Saudara sebagai kuasa KSO tetapi tidak tahu aturannya. Nah inilah jadinya Saudara sebagai saksi. Untung aja nggak sebagai terdakwa kayak yang lain, gitu lho Pak, kok main-main gitu lho. Nggak sedikit lho Pak, Rp 5 triliun itu, Rp 1 triliun itu berapa ha-ha. Rp 1 triliun itu berapa miliar, Pak?” tanya hakim.

“Seribu,” jawab Dono.

“Rp 5 triliun, Rp 5.000 miliar, lho, Pak. Ikuti aja aturan yang ada, ini nggak. Tender itu sudah dari awal udah di-setting supaya Waskita-Acset pemenangnya, betul kan itu?” timpal hakim.

“Iya, Yang Mulia,” jawab Dono.

(Lukman)

Tinggalkan Balasan