Jakarta, LINews – Sulistyowati Irianto menitikkan air mata di depan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri saat bicara realitas hukum dan demokrasi Indonesia hari ini. Kesedihan guru besar Universitas Indonesia ini berdasar realitas hukum dan demokrasi yang telah dikebiri untuk kepentingan penguasa demi kemenangan politik elektoral Pemilu 2024.
Proses Pemilu 2024 yang tidak berjalan baik-baik saja membuat Sulistyowati tak berdiam diri. Sulis, sapaan akrabnya, menentang putusan MK ihwal batas usia capres-cawapres yang diduga kuat menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilpres. Dia menjadi satu di antara ratusan tokoh yang mendeklarasikan Maklumat Juanda di tengah kisruh hukum-politik di tahun politik. Maklumat itu menentang politik dinasti Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara apapun lewat dinasti politik, termasuk utak-atik putusan MK demi Gibran.
Politik pilpres yang di sebagian kalangan melahirkan krisis kepercayaan kepada lembaga hukum dan pemilu, pun membuat Sulis mengajukan diri sebagai amicus curiae dalam sengketa Pemilu. Harapannya, hakim bisa memutus seadil-adilnya, termasuk tak ragu mendiskualifikasi Prabowo-Gibran yang diduga kuat curang dalam proses Pemilu.
Bagi Sulis, penguasa sedang membangun kesadaran palsu melalui instrumen hukum yang menormalisasikan putusan MK untuk Gibran. Juga, penguasa tengah mengkonstruksi pemikiran masyarakat ihwal tidak adanya permainan dalam Pemilu 2024, mulai dari mobilisasi aparatus negara sampai politisasi bansos—melalui putusan MK dalam hasil sidang sengketa Pemilu yang patut dipertanyakan lantaran menihilkan tuntutan soal kecurangan Prabowo-Gibran.
Dari balik telepon, Sulis menjelaskan banyak hal soal relasi budaya dan hukum yang menjadi spesialisasi keilmuannya sebagai guru besar antropologi hukum. Mula-mula dia bicara bagaimana budaya membentuk norma hingga menjadi hukum yang disepakati bersama. Sampai akhirnya, dia mengutarakan realitas hukum kekinian yang dikooptasi kepentingan politik. Hukum bukan lagi digunakan untuk menegakkan keadilan yang menjujung nilai HAM.
Kurang lebih setengah jam, kami mendengar apa yang menjadi kerisauan Sulis. Berikut petikan wawancara kami dengan Sulis pada Sabtu (8/6/2024):
Bagaimana hukum membentuk kebudayaan dan juga masyarakat?
Hukum itu bagian dari kebudayaan. Karena hukum itu isinya norma-norma tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan demi kelangsungan hidup bersama. Jadi, komunitas, masyarakat harus ada tertib sosial. Kalau tidak ada, kan jadi chaos. Makanya, kebudayaan itu definisinya pertama adalah sistem berpikir di komunal masyarakat. Kalau geografi tinggalnya hutan, masyarakat di sana, bagaimana caranya bisa melangsungkan hidupnya dengan hutan. Semisal lagi orang Papua yang sebenarnya enggak perlu perspektif Jakarta. Tapi kan yang ada seolah kita mengatur hidup orang Papua. Hutan sudah memberikan mereka hidup. Ada kebun sagu untuk kebutuhan pangan.
Dari sistem berpikir melahirkan pengetahuan. Kalau kita baca sejak lahirnya komunitas, kenapa mereka bisa bertahan hidup hingga lahirnya manusia sekarang. Itu karena mereka membawakan pengetahuan-pengetahuan sampai akhirnya ada era digital. Itu kebudayaan yang lahir dari proses-proses berpikir.
Kebudayaan itu sistem hukum sendiri karena berisi norma-norma
Relasi hukum dan budaya itu yang membentuk manusia, lalu bagaimana posisinya kini di tengah hukum yang timpang sebelah?
Bicara hukum, ada undang-undang dan dari perspektif hakim ya. Meskipun kita salah dalam memahami hukum yang dari warisan Belanda. Di Belanda itu yang namanya sumber hukum, bukan kodifikasi undang-undang saja. Di Belanda, Mahkamah Agungnya membuat program-program, agar putusan hakim di sana tidak jomplang, tidak ada jarak antara satu wilayah dan wilayah lain untuk suatu kasus yang relatif sama. Nah, di sini, sumber hukum itu dianggap satu-satunya adalah kodifikasi undang-undang saja. Hakim-hakim di Indonesia rata-rata bilang ‘kita kan mewarisi hukum-hukum Belanda, kita mesti ikuti apa yang ada di undang-undang’. Artinya, hakim-hakim Indonesia menempatkan diri sebagai corong undang-undang.
Padahal, pada hari ini, menjadikan diri sebagai corong undang-undang, tidak memberikan keadilan pada masyarakat. Kenapa? Karena undang-undang itu kalah cepat dengan perkembangan masyarakat. Hukum itu sebenarnya harusnya dijadikan alat rekayasa sosial seperti yang dibilang Roscoe Pound (ahli hukum asal Amerika Serikat). Dengan lahirnya putusan hakim, itu harusnya bisa dijadikan cara untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.
Tapi yang terjadi hari ini, hukum itu kok jadi alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan. Putusan MK nomor 90 dan sekarang putusan MA soal batas usia kepala daerah. Juga revisi undang-undang yang dalam jangka waktu pendek, sementara presidennya sudah mau lengser atau lame duck. Sebenarnya kalau dalam posisi lame duck itu tidak boleh pemerintahan bikin kebijakan yang berdampak besar.
Jadi, saya melihatnya itu, justru demokrasi di Indonesia itu dirusak oleh lembaga-lembaga negara yang menjadi andalan bagi masyarakat. Bayangkan ada lembaga tinggi negara keadilan seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, itu kompak bersama dengan DPR merusak demokrasi Indonesia. Dan mereka melakukannya lewat hukum. Itu sebenarnya kekerasan budaya—indirect violence. Jadi dilakukan dengan mengubah teks-teks hukum, lambang-lambang, simbol-simbol. Sampai ada pidato yang sebenarnya kalau diperhatikan itu banyak ngibulnya. Misal saat jelang Pilpres, Presiden Jokowi yang bilang tidak mungkin Gibran maju di Pilpres. Tapi kan diupayakan sekali hingga ada politisasi bansos.
Jadi sekarang ini sedang terjadi penyebaran kesadaran palsu kepada masyarakat. Diam-diam kedaulatan rakyat diambil untuk bisa melakukan perumusan-perumusan teks hukum yang menguntungkan kekuasaan antara korporasi bisnis dan kekuasaan elite pengusaha.
Negara hukum sedang bangkrut artinya sekarang ini?
Kalau baca tulisan Adrian Bedner (professor hukum di Belanda), disebut bahwa negara hukum itu memastikan bahwa segala tindakan penguasa maupun penyelenggara negara harus berdasarkan pada hukum. Sekarang yang terjadi, hukumnya dibuat supaya cocok dengan tindakan penguasa. Itu artinya Indonesia tiba-tiba menjadi negara kekuasaan. Jadi bukan rule of law, tapi rule by law. Nah itu yang disebut Indonesia sedang mengalami kebangkrutan (hukum).
Kalau dibedah lagi, Adrian Bedner juga bilang negara hukum itu ada tiga pilarnya. Pertama adalah hukum itu harus tertulis, lalu teksnya jelas dan bisa dipahami oleh semua orang. Dan berikutnya adalah dibuat berdasar partisipasi publik. Itu demokrasi.
Sehingga pilar pertama negara hukum adalah demokrasi. Kedua, isi dari segala macam dari peraturan perundang-undang itu adalah jaminan hak asasi manusia. Misal gini, tidak bisa negara atau entitas swasta tiba-tiba mengambil tanah orang untuk jadi tambang atau untuk jadi kebun sawit.
Lalu, harus ada mekanisme kontrol terhadap pemisahan kekuasaan. Awalnya kan pemisahan kekuasaan berdasar trias politika, tapi setelah reformasi menjadi berkembang dengan muncul MK dan Ombudsman, misalnya. Ada juga komisi kejaksaan karena waktu itu masyarakat tidak percaya dengan kejaksaan, ada komisi kepolisian karena tidak percaya kepolisian. Tapi tetap mekanisme kontrol pemisahan harus dibebankan kepada independensi pengadilan. Jadi, hakim harus independen.
Tapi, hari ini, ketiga unsur itu bubar. Hakimnya tidak independen, muncul pasal-pasal hukum yang nepotis dan dibuatnya tidak berdasar demokrasi. Itu yang saya katakan negara hukum sedang mengalami kebangkrutan.
Hukum hari ini bagaimana membentuk masyarakat Indonesia dan dampaknya?
Yang jelas tidak ada kepastian hukum, karena hukum diubah-ubah untuk kepentingan politik. Kalau tidak ada kepastian hukum, itu bisa chaos. Misal di Pemilu aja bisa dilihat bagaimana mekanisme intimidasi itu dilakukan, ada juga mobilisasi para kepala desa yang dibikin undang-undangnya agar masa jabatan diperpanjang. Akhirnya kepala desa menjadi patuh kepada orang yang membuat undang-undang itu. Di Pemilu lalu, dari kepala desa sampai menteri dikerahkan.
Lalu ada revisi UU Kepolisian yang menurut saya membuat kewenangan kepolisian itu berlebihan. Mulai dari boleh menyadap hingga tindakan hukum yang tidak perlu minta izin dari pengadilan. Ada juga UU TNI yang baru yang bikin TNI bukan lagi dwi fungsi tapi multi fungsi. Itu kan ngeri sekali. Bisa saja nanti Rektor UI dari tentara.
Sehingga bisa membentuk republic of fear. Republik ketakutan. Artinya reformasi kembali ke titik nol. Yang di-address sekarang itu menyerang nilai-nilai di kepala kita. Jadi kekerasan budaya hari ini berusaha mencuci otak, menyerang kesadaran kita yang menghapuskan nilai-nilai maupun norma tentang apa yang baik dan buruk.
Putusan MK yang jadi karpet merah bagi Gibran menormalisasikan apa yang sebenarnya tidak baik?
Iya. (Putusan) MA juga (soal batas usia kepala daerah yang diduga menguntungkan Kaesang Pangarep). Di DPR juga. Sekarang ada RUU Penyiaran yang tidak bisa menyiarkan investigasi. Ada juga UU MK yang membuat pemerintah bisa memilih hampir separuh komposisi hakim. Padahal rule of law itu konsepnya mekanisme kontrol adalah pengadilan yang independen.
Apa yang jadi kepentingan penguasa mengkonstruksi cara pikir masyarakat melalui instrumen hukum itu?
Hukum itu dalam tataran normatifnya kan dibuat untuk memastikan masyarakat dilindungi dari kejahatan, keserakahan dan mendistribusi keadilan. Hukum bukan hanya dibuat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan keserakahan. Hukum itu dibuat untuk mendefinisikan kekuasaan dari kelompok elite. Kelompok elite jumlahnya sedikit dibanding rakyat yang banyak. Dia itu berusaha mengakumulasi kekuasaan supaya punya keistimewaan banyak. Kalau dia punya hak istimewa, maka dia memiliki akses kepada sumber daya. Makanya sekarang ada bagi-bagi jatah tambang untuk kelompok keagamaan. Bagi penguasa itu tidak apa-apa. Dari kekuasaan menghasilkan keistimewaan, lalu menghasilkan kesejahteraan. Semakin sejahtera, kekuasaannya semakin banyak dan itu putar-putar saja semacam siklus.
Cara untuk bisa begitu dengan menciptakan hukum. Hukum digunakan untuk mendefinisikan kekuasaan dari the ruling elite. Artinya penguasa menindas kelompok mayoritas orang yang tidak punya kuasa. Menindas dengan membangun kesadaran palsu yang seolah-olah putusan MK nomor 90 itu untuk kepentingan anak muda. Juga ada hasil sidang PHPU Pemilu yang tetapkan tidak ada politisasi bansos, padahal kan tidak.
Apa yang bisa dilakukan kalangan intelegensia untuk merespons realitas hukum sekarang?
Hakim yang pada awalnya kalangan intelegensia, dalam memutus perkara, dia harus buka jubah dan toganya. Dia pergi ke masyarakat sampai paham budaya hukum yang berlaku sehingga dia bisa memutuskan hukum yang berkeadilan. Misal budaya carok di Madura yang dilakukan untuk mempertahankan harga diri yang tidak dipahami hakim. Tapi mereka setelah melakukan carok itu menyerahkan diri ke polisi.
Di Batak juga misalnya, sering ada peperangan antar-kampung karena banyak penyebab misal melarikan gadis orang. Tapi mereka sebelum menyerang kampung, mereka mengirim surat dulu. Jadi memang ada aturan dan standar etikanya. Jadi itu cara orang berdemokrasi dan berhukum. Itu sudah ada sejak awal. Itu yang mesti yang kita rebut. Jadi biarkanlah warga masyarakat ini melangsungkan budaya hukumnya sendiri, melangsungkan budaya demokrasinya sendiri. Konstitusi juga kan bilang bahwa ada hak untuk mengembangkan budaya masing-masing.
Saya ingin agar akademisi, aktivis, NGO, jurnalis dan anak muda bersama memberdayakan diri terkait literasi hukum, politik, sejarah supaya menjadi warga yang kompeten, yang tahu akan hak-haknya. Jadi anak muda jangan berpikir ingin jadi wali kota, bupati cepat-cepat, tapi harus belajar sejarah bangsa ini.
(Vhe)