Bengkulu, LINews – Masyarakat Adat Pekal di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu tak punya lagi hutan adat. Anak-anak generasi kelahiran tahun 2000-an ke atas hanya bisa mendengar cerita itu sebagai sebuah legenda.
Melacak jejaknya pun sukar. Hutan yang berisi tumbuhan dan pepohonan beragam itu kini beralih menjadi perkebunan sawit.
“Rifal enggak tahu pernah ada hutan adat itu,” kata anak adat Pakel kelahiran 2001 itu sambil kebingungan.
Rifal pun bertanya kepada teman-teman seumurannya. Namun, tak ada juga yang tahu apakah Malin Deman pernah punya hutan adat atau tidak. Tak ada hutan di Malin Deman. Pemandangan sawit tak berputus di Malin Deman. Dari sebelah kiri dan kanan jalan, tumbuhan komersial itu berdiri dengan tegak, berjajar seperti pagar.
Sesekali terlihat hamparan lahan kering. Pada lahan itu ada beberapa sisa bekas dari pohon-pohon sawit yang telah ditebang. Namun, menurut penduduk Malin Deman, tak lama lahan itu pun akan ditanami lagi pohon serupa.
Padahal, jauh sebelum sawit ada, mereka menanam padi, kopi, pepohonan berbuah, sampai karet. Apapun yang bisa mereka tanam, mereka akan tanam.
Nenek moyang masyarakat adat Pakel terbiasa berladang nomaden. Salah satu pemuda adat Pekal Lobian mengatakan, setiap lahan yang sudah dipakai, diberi waktu barang beberapa bulan untuk tak ditanami apapun.
“Biar bernapas,” kata Lobian membeberkan alasan yang sebelumnya dia ketahui dari para tokoh adat di kampungnya.
Adapun hutan adat yang sempat penduduk Malin Deman punya berada di Desa Lubuk Talang. Hutan Adat itu dulunya dikenal bernama Hutan Adat Benuang Sakti. Berdasarkan cerita yang Lobian dapat, perkiraan luas hutan itu mencapai 80 sampai 800 hektare (ha). Tak ada angka yang pasti karena masyarakat adat Pekal saat itu tak melakukan pengukuran.
Hutan adat itu merupakan salah satu sumber penghidupan warga. Sebab, berbagai tanaman ada di sana.
“Untuk kebutuhan sehari-hari ya dari situ,” ujarnya.
Pohon sawit adalah barang yang baru dikenal oleh masyarakat adat Pekal di Malin Deman pada tahun 2005. Sawit muncul di tanah mereka saat PT Daria Dharma Pratama (DDP) datang.
PT DDP menduduki lahan hak guna usaha (HGU) yang awalnya dipegang oleh PT Bina Bumi Sejahtera (BBS). Berdasarkan cerita masyarakat adat Pekal Zarkawi, PT BBS datang ke Malin Deman pada 1988 silam dan menggusur lahan milik beberapa warga.
Lahan kelola warga yang dikuasai yakni atas nama Harmadi, Nazar, Amin, Ujang, Anasri, Hendri, Zainul, dan Ismidi. Saat itu, bukan sawit yang pertama ditanam, melainkan kelapa hibrida. Izin HGU Nomor 34 untuk PT BBS diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bengkulu Utara tahun 1995 dengan luasan lahan mencapai 1.889 ha.
Semula, lahan itu hanya untuk ditanam kakao seluas 350 ha dan kelapa hibrida 28 ha. Sisanya, masih menjadi lahan garapan masyarakat. Tahun 1996-1997, terjadi kebakaran di lahan kelola masyarakat yang merupakan perkebunan karet. Masyarakat menduga kebakaran itu berkaitan dengan aktivitas PT BBS.
Masyarakat lalu melakukan demonstrasi. Akhirnya PT BBS pun meninggalkan lahan yang ditanam kakao dan kelapa hibrida. Setelah ditinggalkan oleh PT BBS, masyarakat adat kembali menggarap lahan yang dari dulu dimiliki oleh mereka. Namun, tahun 2005 tiba-tiba PT DDP muncul mengklaim memiliki hak kelola di HGU itu.
Masyarakat adat Pekal bukan orang-orang yang pasrah. Mereka mengaku melakukan perlawanan atas penguasaan lahan itu. Lahan kelola warga yang dikuasai seluas 15 ha, salah satunya milik Zarkawi.
“Dari dulu kami di sini. Kami pernah cegah PT DPP, tapi mereka bilangnya, ‘ini tanah negara, bukan bapak’. Ya, kami masyarakat bisa apa,” kata Zarkawi.
“Dari awal masih jadi hutan kami yang garap. Kami tidak tahu kalau bakal diambil orang. Hingga pada akhirnya digusur,” imbuhnya.
Namun, PT DDP terus menanam sawit di lahan kelola masyarakat. Pada Agustus 2012, PT DDP menggusur paksa petani yang menolak ganti rugi.
Penguasaan lahan kelola itu tak berlangsung lama. PT DDP meninggalkan lahan itu dan menelantarkan sawit yang ditanamnya. Tahun 2016, warga dan Forum Kepala Desa (Kades) melayangkan somasi PT DDP terkait penguasaan HGU terlantar milik PT BBS.
Sementara itu, sebagian warga merawat sawit yang sudah kadung ditanam oleh PT DDP selama sengketa itu. Berdasarkan hasil pengukuran kadestral BPN Provinsi Bengkulu yang dilakukan pada April 2020, PT DDP menanam sawit pada lahan seluas 935,7357 ha dari 1889 ha izin HGU nomor 34 milik PT BBS.
Tiga bulan setelah pengukuran, yakni pada Juli 2020, PT DDP tiba-tiba datang kembali dan memanen sawit yang dirawat oleh warga. Saat itu, kata Zarkawi, warga dan pihak perusahaan sempat adu mulut.
“Hasil panen dibawa mereka,” ujarnya.
Pada 20 Juli 2020, para petani di lahan berkonflik pun menyurati Gubernur Bengkulu untuk meminta kejelasan status lahan terlantar HGU PT BBS. Mereka juga mendesak Gubernur Bengkulu mengakui keberadaan petani untuk mengelola lahan tersebut.
Selama proses menunggu tanggapan dari gubernur, para petani dan pemuda di Malin Deman membentuk perkumpulan petani pejuang bumi sejahtera (P3BS). Beberapa anggotanya adalah Zarkawi dan Lobian. Mereka disatukan oleh keluhan yang sama yakni tak terima lahannya diambil begitu saja.
Dikonfirmasi terpisah, PT DDP mengklaim tidak menelantarkan lahan HGU milik PT BBS.
“Dari dulu aktif, enggak diterlantarkan. Sampai sekarang masih aktivitas,” kata pekerja PT DDP.
(Singgih)