Law-investigasi, Perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sedang dijalankan oleh DPR dan pemerintah. Di antara pengaturan yang patut disorot adalah konsep masa jabatan yang baru dan pengaturan transisi masa jabatan hakim. Secara singkat, pengaturan itu tidak menghadirkan urgensi yang jelas untuk membangun (khususnya independensi peradilan) kelembagaan pengawal konstitusi tersebut.
Dalam Pasal 23 perubahan tersebut, diatur ketentuan mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi selama 10 tahun dan setelah lima tahun menjabat dapat dilakukan evaluasi oleh lembaga pengusung hakim baik DPR, Presiden, maupun MA. Apabila disahkan, ini akan menjadi model ketiga dari masa jabatan (tenure) Hakim Konstitusi di Indonesia. Menariknya, perubahan-perubahan tersebut terjadi di bawah lima tahun.
Upaya revisi masa jabatan ini mengundang tanda tanya besar. Sebab, pada 2020 lalu, perubahan pengaturan masa jabatan dari 5 tahun ditambah satu periode menjadi tanpa periodisasi sudah menimbulkan polemik. Ketika itu yang banyak dipersoalkan adalah bagaimana seorang hakim dapat menjabat dalam waktu yang lama yakni hingga 15 tahun dan lebih bagi hakim-hakim yang tengah menjabat sebelum usia 55 tahun. Adanya kekhawatiran hakim yang buruk bisa menjabat begitu lama; nyatanya dampak buruk dari ketentuan ini tidak tampak namun tetap dilakukan perubahan.
Kaburnya Independensi Peradilan
Di antara maksud utama melakukan amandemen UUD 1945 adalah upaya untuk mewujudkan independensi peradilan. Para perancang amandemen dalam rangka itu berupaya untuk melepaskan kekuasaan kehakiman dari subordinasi kekuasaan eksekutif (departemen kehakiman), membentuk semacam judicial council berupa Komisi Yudisial, dan membentuk Mahkamah Konstitusi. Inilah yang bisa kita tangkap bersama sebagai politik hukum utama dalam pengaturan kekuasaan kehakiman, termasuk Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan sejarah, John Farejon mengungkapkan bahwasanya independensi peradilan dirumuskan agar hakim terbebas dari intervensi cabang kekuasaan lain. Susan S. Lagon menyatakan independensi peradilan berdasarkan komponen dalam memutus perkara (decisional) dan komponen independensi struktural. Lebih rinci lagi, Franken menyatakan independensi peradilan dapat dibedakan dalam empat bentuk yakni: (1) Independensi konstitusional, (2) Independensi fungsional, (3) Independensi personal hakim, dan (4) Independensi praktis yang nyata.
Pada konteks ini, pengaturan masa jabatan berkaitan erat dengan independensi personal hakim dalam kategori Franken, serta dapat berujung kepada terganggunya independensi hakim dalam memutus perkara. Sehingga apabila berpegang teguh kepadanya sebagai politik hukum, setidaknya penataan aspek-aspek rinci terkait masa jabatan hakim harus diarahkan kepada upaya perwujudan independensi.
Perubahan masa jabatan, dalam scope politik hukum, adalah pengaturan yang ambigu. Sebab, itu tampak seperti kesepakatan-kesepakatan politik dan uji coba pengaturan oleh legislator semata. Dengan arah politik hukum untuk “pembangunan sistem hukum nasional”, pengaturan menjadi tiga model masa jabatan yang berbeda-beda dalam waktu yang singkat tidak konstruktif. Setidaknya itu dapat diuji sesederhana bagaimana pengaturan pasal tersebut tidak aplikatif dan teruji dalam jangka waktu yang lama.
Bahkan, maksud pengaturan masa jabatan pada perubahan ketiga UU MK yang menghilangkan periodisasi untuk menjadikan hakim yang lebih negarawan akibat tidak memikirkan periodisasi jabatan dan dapat berfokus menjabat hingga umur 70 tahun sebagaimana dimaksud oleh Prof. Jimly Asshiddiqie belum terwujud dan teruji.
Saya lebih tertarik mengungkapkan ekspresi legislasi masa jabatan ini dengan hasrat politik dan upaya subordinasi MK di bawah institusi lain. Setidaknya tampak dari pelanggaran DPR pada pencopotan Hakim Aswanto di tengah masa jabatan yang bersamaan hari dengan surat DPR yang dikirim kepada Presiden bahwa terdapat upaya untuk melakukan perubahan keempat UU MK. Pencopotan Aswanto sebagai hakim yang diusung DPR juga dibarengi dengan ungkapan penyebab bahwa Aswanto telah membatalkan undang-undang dari DPR.
Tidak mengherankan apabila perubahan masa jabatan ini dibungkus dengan upaya yang serupa. Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang menolak upaya revisi UU MK menyatakan bahwasanya ini merupakan praktik autocratic legalism. Di antara argumennya adalah praktik legislasi ini bermasalah secara prosedural dan substantif. Secara prosedural ini tidak masuk dalam rangkaian Prolegnas, dilakukan dalam masa reses, tidak memenuhi meaningful participation.
Secara substantif ini adalah upaya untuk merombak konfigurasi hakim. Ini tampak dari aturan peralihan dalam Pasal 87 perubahan UU MK yang mengatur bahwa institusi pengusung melakukan persetujuan terhadap Hakim Konstitusi yang telah menjabat 5 sampai 10 tahun agar dapat menjabat kembali sebagai Hakim Konstitusi. Hakim-hakim yang sebelumnya dalam Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) melakukan dissenting opinion seperti Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Arief Hidayat adalah termasuk yang terancam tergeser dengan ketentuan tersebut. Termasuk juga hakim-hakim yang terlibat dissenting maupun concurring opinion dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.
Yudisialisasi Politik menjadi Politisasi Yudisial
Sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, MK melakukan yudisialisasi politik terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam undang-undang. Setidaknya peran ini ditemukan pada kasus-kasus di mana MK harus aktif dan memberikan penilaian, bahkan hingga mengatur ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Namun, perlahan itu bergeser menjadi politisasi yudisial.
Prof. Susi Dwi Harijanti dalam diskusi “Membaca 20 Tahun Mahkamah Konstitusi” oleh Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (PANDEKHA) Fakultas Hukum UGM mengungkapkan skema politisasi yudisial yang dapat melanda Mahkamah Konstitusi. Pertama, itu disebabkan sebagai akibat dari memutus perkara-perkara bernuansa politik. Kedua, bentuk paling nyata adalah pengisian jabatan hakim yang melibatkan badan politik atau proses politik. Ketiga, proses politik dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Saya sepakat bahwa secara konstitusional keterlibatan lembaga politik dalam pengusungan hakim konstitusi tidak dapat terelakkan. Pembuat undang-undang tentu tidak dapat melepas diri sehingga mekanisme rekrutmen hakim MK benar-benar dilakukan oleh profesional dan model independen tanpa lembaga Presiden, DPR, dan MA. Namun, apabila berpegang kepada upaya perwujudan independensi peradilan, mekanisme seleksi tersebut tidak terlalu menjadi persoalan yang buruk. Sebab, pembentuk undang-undang dapat lebih tertib untuk mengubah UU MK pada kepastian syarat dan mekanisme seleksi antara tiga lembaga tersebut sehingga dapat lebih akuntabel yang lebih penting untuk diwujudkan.
Hal yang ditakutkan apabila politisasi yudisial ini tidak dicegah adalah dapat terjadinya abusive judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Singkatnya, menurut David Landau dan Rosalind Dixon, abusive judicial review adalah ketika lembaga peradilan melakukan diantaranya melegitimasi tindakan dan aturan hukum yang undemocratic. Itu dapat terjadi secara strong di mana peradilan berperan aktif, atau secara weak di mana peradilan berperan pasif sebagai stempel bagi tindakan penguasa. Dengan dilakukannya hal tersebut, perlahan regresi demokrasi dapat terus terjadi di Indonesia.
Penyimpangan yang paling mungkin terjadi melalui skema perubahan masa jabatan ini adalah secara weak. Di mana, ketika hakim-hakim tersebut menjabat, mereka dapat menjadi subordinat dari lembaga-lembaga politik pengusung yang mempunyai kepentingan agar peraturan mereka yang dinilai merugikan masyarakat tidak dibatalkan. Ketika hakim berinisiatif untuk membatalkan, maka mereka terancam diberhentikan dalam evaluasi yang terjadi. Sebelum itu, ketika masih dalam masa peralihan hakim (sebagaimana Pasal 87 perubahan), dapat saja dilakukan negosiasi dalam persetujuan bagi hakim-hakim apabila hendak melanjutkan jabatannya.
Yance Arizona mencatat weak abusive judicial review telah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam masa pemerintahan Joko Widodo yang terbukti dalam pengujian UU KPK dan UU Ciptaker. Sementara Susi Dwi Harijanti menyatakan bahwa dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 terjadi praktik strong abusive. Dari praktik-praktik yang demikian tentu dapat saja berkembang apabila independensi kian terganggu.
Sebagai penutup, saya hendak mengungkapkan kekhawatiran dapat terjadinya regresi bahkan kematian demokrasi melalui jalur-jalur yang ditempuh secara demokratis sebagaimana ungkapan Levitsky dan Ziblatt. Langkah itu dimulai dari menangkap wasit (peradilan), dilanjutkan dengan membeli atau melemahkan lawan, dan terakhir adalah mengubah aturan main. Penguasa dan legislator seharusnya terbuka dengan kekhawatiran ini, sebab kemunduran demokrasi tidak hanya berdampak buruk pada masyarakat bawah, namun berdampak juga bagi mereka yang sedang memegang kuasa.
Untuk itu penjagaan terhadap independensi peradilan harus diutamakan, serta revisi UU MK dapat saja dilakukan dalam rancangan perubahan yang lebih ideal, untuk memastikan mekanisme seleksi hakim yang lebih berkepastian hukum, akuntabel, dan transparan.
Fayasy Failaq mahasiswa Magister Fakultas Hukum UGM; pemerhati konstitusi dan pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)