Jakarta, LINews – Jaksa Agung ST Burhanuddin menginginkan keadilan restoratif digunakan dalam pidana korupsi kerugian di bawah Rp50 Juta. Contonya pungutan liar yang terjadi di Pontianak dengan nilai Rp2,2 juta.
Menurutnya, pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kecil, justru menambah pengeluaran negara dalam menyelesaikan perkara. Sehingga hal ini tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku.
“Penanganan tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya ratusan juta rupiah untuk menuntaskan seluruh perkara tindakan pidana korupsi,” kata Burhanuddin dalam diskusi yang disiarkan secara daring, Selasa(5/4/2022).
Apalagi jika sang pelaku terpaksa mendekam di penjara, otomatis negara menambah biaya pengeluaran lapas untuk pelaku tersebut. Sehingga, kejadian ini mengakibatkan lapas over kapasitas.
“Ibarat peribahasa besar pasak daripada tiang,” tuturnya.
Dia mengatakan, masyarakat juga berpandangan terhadap penegak hukum hanya menangani kasus korupsi level ikan teri. Masyarakat disebut menilai penegak hukum tidak mampu melawan koruptor berskala besar.
“Perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan bahkan terkadang tidak ada pentingnya oleh masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum itu juga dapat menurun,” ujarnya.
Menurut dia, pelaku korupsi dibawah Rp50 juta juga disanksi denda dan perampasan barang tertentu.
“Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi ikan teri misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu atau perampasan barang tertentu,” katanya. (PJI)