“Kalau OTT Tidak Berlanjut, Bubar Saja KPK”

“Kalau OTT Tidak Berlanjut, Bubar Saja KPK”

“Saya enggak kenal Anies sampai sekarang”

Law-Investigasi, Kalimat itu yang pertama keluar dari Wakil Ketua KPK terpilih, Fitroh Rohcahyanto, ketika kembali mengingat pengusutan kasus Formula E. Kasus ini menjadi atensi kala KPK menggali keterlibatan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Dinamika internal pimpinan KPK yang saat itu dipimpin Firli Bahuri hendak menaikkan status perkara ke tahap penyidikan, selepas Anies diperiksa pada September 2022.

Di komisi antirasuah, nama tersangka biasanya ditetapkan saat proses penegakan hukum masuk tahap penyidikan. Fitroh yang kala itu berstatus Direktur Penuntutan KPK tak sepaham dengan Firli Bahuri, yang buru-buru ingin penetapan tersangka. Alat bukti yang dipaparkan dalam gelar perkara dianggap Fitroh tak cukup kuat sehingga motif pimpinan KPK menaikkan status perkara patut dipertanyakan. Janggal yang sama juga dirasa penyidik KPK lain.

Di tengah perselisihan internal KPK dalam kasus itu, Fitroh memilih mundur dari jabatannya pada awal 2023. Kepada Law-Investigasi saat berbincang di sebuah cafe, Fitroh mengakui ada tekanan dari pimpinan KPK untuk mengondisikan kasus Formula E. “Ya, ada (tekanan) itu,” ujar dia pada 29 November 2024.

Sambil meminum tehnya, dia berkata fase mangkat dari KPK hanya ‘bumbu’ hidup untuk memulai perjalanan baru. Sekembalinya ke Kejaksaan Agung, dia tak lantas mengisi pos jabatan di gedung bundar. Posisi lain di luar lembaga penegak hukum yang dia dapat: Kepala Litigasi BUMN Antam. “Sudah setahun lebih saya di Antam. Di Jampidsus sedang tidak ada posisi,” katanya.

Di masa-masa menjelang pelantikan, Fitroh lebih banyak berkutat dengan administrasi korporasi. Di ujung obrolan yang berlangsung selama 40 menit lebih itu, datang staf Antam dengan tumpukan berkas. Kata Fitroh, dokumen-dokumen itu seharusnya ia tanda tangan berbulan-bulan lalu. Semua tertunda karena kesibukan semasa seleksi capim KPK sejak pertengahan tahun.

“Enak kan enggak kerja, tapi dapat gaji gede,” kelakar Fitroh yang juga bilang bakal segera mengundurkan diri sebelum pelantikan.

Berikut Wawancara dengan Law-Investigasi:

Dr. Fitroh Rohcahyanto, S.H., M.H. (Wakil Ketua KPK periode 2024-2029)

Bagaimana ceritanya Jaksa Agung beri restu daftar capim KPK?

Bermula dari keprihatinan saya dengan kondisi KPK. Di mana saya bagian dari KPK masa awal sampai saya keluar dari KPK. Harapan saya masuk kembali ke KPK untuk kembalikan marwah KPK. Setidaknya menguatkan moral teman-teman di sana. Karena saya bisa merasakan kejadian akhir-akhir ini cukup memalukan. Sehingga moral dan semangat kerja teman-teman KPK turun. IPK pasti juga turun karena kinerja lembaganya turun.

Saya juga sharing ke para Jaksa Agung Muda, soal rencana saya balik ke KPK. Ya mereka dukung karena saya punya pengalaman. Kebetulan saya juga belum punya jabatan di kejaksaan. Akhirnya saya memberanikan diri menyampaikan keinginan itu ke Pak Jaksa Agung. Dan beliau menyambut positif. Akhirnya keluar rekomendasi dan dengan rekomendasi tersebut saya daftar.

Waktu itu pertemuan empat mata? Ya, saya ke ruang Pal Jaksa Agung sendiri. Itu waktu jam kerja. Kalau saya enggak dapat rekomendasi, ya enggak etis kalau maju daftar. Kemudian dalam perjalanan seleksi, mulai dari 380 orang, administrasi saya lolos, kemudian tes tertulis lolos, bikin makalah lolos hingga akhirnya wawancara dan terpilih 10 orang.

Ini bukan karena saya pintar. Kalau saya melihat karena banyak doa dari orang.

Termasuk ibu Anda?

Itu yang pertama dan utama. Makanya hari Kamis saat saya dinyatakan terpilih jadi pimpinan KPK setelah fit and proper test di DPR itu, saya langsung pulang ke Jepara. Kenapa saya begitu, Karena doa ibu itu sangat luar biasa tanpa tedeng aling-aling.

Saya di kampung itu jadi motivator. Motivasi yang saya kasih ke masyarakat itu cuma tiga. Satu berbagi dengan orang tua. Kedua, jangan pernah lalim sama orang. Ketiga berbagi sama orang, baik materi, pikiran dan ilmu. Makanya kan pahala yang akan kita bawa terus adalah ilmu yang bermanfaat. Makanya saya meyakini dari doa ibu dan semua orang.

Dinamika minta restu kepada Jaksa Agung bagaimana?

Dari awal mulus-mulus saja.

Menurut Anda, Jaksa Agung condong mendukung siapa dari 5 kandidat kejaskaan?

Nah, saya enggak tahu, tapi saya merasa beliau fair menilai seseorang berdasar kemampuan. Karena ketika dikasih rekomendasi, berarti salah satu pasti jadi dan diterima, enggak mungkin enggak. Itu kan bentuk dukungan.

Saat masa seleksi, apakah ada komunikasi dengan Jaksa Agung?

Setiap tahapan, saya selalu meminta restu beliau. Kalau ada kesempatan ketemu langsung, saya ke ruangan. Tapi sering juga via telepon. Saat masuk fit and proper test, saya bilang ke Pak Jaksa Agung ‘Terima kasih sudah memberikan dukungan’.

Jaksa Agung terkejut saat Anda masuk tahap akhir pemilihan?

Ya enggak juga. Sebenarnya enggak bisa diprediksi, apalagi kalau sudah pemilihan di DPR. Makanya saya angkat yang enggak biasa. Kan saya angkat tagline ‘Idola, Gatot Kaca mesra’. Itu kan filosofisnya dalam. Gatot kaca itu saya gambarkan sebagai KPK. Bukan maksud saya Gatot Kaca yang kuat dan pemberani, lalu polisi dan jaksa enggak.

Gatot Kaca itu tokoh pembasmi kejahatan generasi kedua, setelah Pandawa V. Gatot kaca kan anaknya Bima. Artinya sama seperti KPK itu pembasmi korupsi yang lahir di generasi kedua setelah kejaksaan dan kepolisian. Maksudnya KPK jangan merasa paling hebat. Tapi juga kembali ke filosofi lahirnya Undang-undang KPK apa. Mendorong lembaga penegakan hukum yang diberi wewenang membasmi korupsi untuk lebih optimal.

Pas saya wawancara dengan pansel, ada yang bertanya ‘bukankah Kejaksaan sekarang sudah hebat, nah kalau kembali ke konsideran dari UU KPK, lantas buat apa lagi KPK’.

Anda jawab apa? Ya saya menjawab KPK masih sangat dibutuhkan. Karena korupsi masih masif.

Maksudnya, kepolisian dan kejaksaan enggak maksimal?

Bukan, maksud saya apa yang diungkap sekarang ini baru sebatas fenomena gunung es. Masih sedikit. Karena masih banyak perkara besar yang harus diungkap.

Apa saja memang?

Ya, ada lah. Intinya KPK masih perlu ada dan dibutuhkan. Saat dikasih pertanyaan dari pansel itu, saya ditanya apa penyebabnya korupsi masif, saya bilang banyak penyebabnya, tapi faktor signifikan adalah sistem politik.

Anda cukup berani singgung masalah politik jadi pangkal masalah korupsi?

Ya itu saya ungkap juga kan saat di DPR. Sistem politik ini sangat berperan terhadap perilaku koruptif dari pejabat publik atau penyelenggara negara.

Maksudnya bagaimana?

Ya untuk menjadi pejabat publik, dia harus mengeluarkan banyak modal. Pertanyaannya, siapa yang kasih modal itu. Kan pihak ketiga. Lalu apa kompensasinya, ya kan proyek. Ya itulah korupsi. Dan itu yang sering diungkap di KPK.

Ini sama dengan disertasi Anda soal trading in influence…

Ya itu kenapa saya menuliskannya. Jadi memperdagangkan pengaruh, itulah korupsi yang sehari-hari terjadi.

Pintu masuknya lewat konflik kepentingan?

Ya memang melalui konflik kepentingan. Sekarang yang namanya trading in influence, di luar pejabat negara, dia mendapat keuntungan tidak sah dengan cara menjual pengaruh. Pengaruh dari siapa, pengaruh dari pejabat atau pengaruh dari kekuasaan ekonomi, kekuatan politik. Tapi tidak kerja sama dengan pejabat negara.

Misalnya begini, Anda kerja sama dengan saya, Anda kemudian menjual pengaruh saya untuk menerima sesuatu yang enggak sah tanpa pengetahuan saya. Itulah trading in influence, tapi kalau ada kerja sama dengan saya dan ada menjual pengaruh untuk keuntungan tidak sah, ya itu suap karena diatur dari awal.

Tapi bisa melalui skema follow the money? 

Ya itu potensial, makanya di KPK ada kalanya menjerat berdasarkan TPPU.

Tapi selama ini harus ada tindakan pidana asal dulu…

Ya secara norma bisa, karena ada pasal yang bilang tidak wajib dibuktikan terlebih dulu. Tetapi dalam konstruksi dakwaan, asal usul harga itu sebelum dilakukan pencucian uang. Unsur-unsurnya menyembunyikan hingga menyamarkan harta benda yang merujuk UU TPPU. Makanya ada asas pembuktian terbaik. Saya sering pakai itu, tapi harus objektif.

Ketika dalam persidangan terdakwa mampu membuktikan harta bendanya dari hasil sah, maka dalam tuntutan harus dikembalikan miliknya.

Anda sering menyinggung moral hazard sebagai pintu masuk korupsi?

Kalau saya boleh katakan yang mampu djadikan alat untuk menjaga integrtias adalah norma agama. Tapi persoalannya orang yang kemudian beragama itu enggak mengamalkan. Kalau mengamalkan norma, pasti dia menjaga integritas.

Korupsi karena individu atau memang sistem yang bikin celah terbuka?

Ya integritas masyarakat secara umum kan juga rendah. Kalau saya pribadi sistem itu nomor dua. Nomor satu itu moral. Dan kunci ada di penegak hukum.

Di ranah penanggulangan, bukan preventif artinya?

Artinya kalau penegak hukum itu konsisten tegas, tidak bisa disuap, dan berlaku adil untuk semuanya, saya yakin calon koruptor ini enggak akan berani. Tapi kan sekarang penegak hukum gampang disuap. Korupsi itu karena dasar sifat manusia itu rakus. Kalau pendekatan agamannya tidak kuat, dia akan mengikuti nafsunya terus untuk mendapat kekayaan.

Sistem enggak berpengaruh?

Ya sistem memungkinkan untuk itu. Budayanya juga masih membukakan celah. Misal di pengadaan barang dan jasa. Secara sistem kan sebenarnya enggak bisa diatur, tapi kalau manusianya jahat ya bisa aja diakalin. Saya tahu betul tidak ada lelang murni. Itu pemenangnya sudah diatur, kanan kiri sudah dibagi. Makanya saya kesal, dan saya usul diundi saja.

Diundi seperti apa?

Misal, sudah ada proyek yang diikuti oleh peserta lelang yang lengkap persyaratan, lalu diundi saja. Gambling.

Gambling tetap pakai alat sistam dan bisa dimanipulasi…

Iya dan yang bikin manusia dan itulah dunia, sampai kapan pun begitu.

Bicara soal integritas diri, seberapa yakin Anda?

Saya enggak berani mengklaim, karena saya masih merasa kotor. Makanya ketika di level tertentu, seorang itu harus bijak. Wartawan itu kan kacamatanya di dunia ideal. Tapi kan ada dunia realitas yang bertabrakan dengan dunia ideal tadi. Mulai dari realitas politik dan hukum. Kalau pakai kacamata ideal, semua itu salah. Tapi kalau mengakui adanya dunia realitas yang masih belum sempurna, mungkin bisa lebih bijak.

Realitas politik serba pragmatis, apakah ada lobi dari kekuatan politik tertentu saat Anda maju capim KPK?

Enggak ada lobi dari orang partai ke saya. Saya kan profesional. Saya lahir dari KPK ibaratnya. Karir saya di KPK dan di Kejaksaan kan sama lebih dari 10 tahun.

Pendekatan atau deal dari Istana?

Apalagi Istana, saya enggak kenal orang Istana siapa-siapa. Makanya saya cukup lantang sebut masalah politik dan moral jadi akar korupsi. Materi dalam fit and proper test saya bukan dalam posisi menyenangkan politisi. Bahkan saya bilang di DPR, kalau ingin jadi anggota, jangan dipilih karena dia punya uang, tapi pilih berdasar integritasnya.

Marwah KPK sedang ambruk, apa respons Anda?

Saya mengakui bahwa KPK memang terpuruk. Ya sesungguhnya penanganan perkara ya relatif turun, tapi kepercayaan publik turun itu lebih kepada perilaku insan KPK. Itu sangat berpengaruh. Dimulai dari penyidik terima suap, beberapa pimpinan terlibat kasus kode etik dan suap di rutan masif.

Di satu sisi kejaksaan luar biasa mengungkap perkara besar.

(Remond)

Tinggalkan Balasan