Keadilan Restoratif Wujudkan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum

Keadilan Restoratif Wujudkan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum

Oleh : ST Burhanuddin

(Kepala Kejaksaan Agung RI)

Penegakan hukum humanis Kejaksaan lewat penerapan Keadilan Restoratif terus di gelorakan. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap seluruh satuan kerja, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri mampu menghadirkan wajah penegakan hukum humanis Kejaksaan yang memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

Keadilan Restoratif salah satunya adalah solusi atas kebuntuan masyarakat selama ini dalam berurusan dengan penegakan hukum Kejaksaan. Penanganan tindak pidana ringan selama ini dianggap kurang memberikan ruang perdamaian, kesetaraan, merajut silaturahmi antara korban dengan pelaku, bahkan kesempatan berubah dan memperbaiki diri bagi pelaku pidana.

Penerapan Keadilan Restoratif dalam penghentian penuntutan perkara-perkara pidana yang dilakukan Kejaksaan diartikan sebagai sikap korps Adhyaksa yang peduli terhadap kehidupan masyarakat, agar terciptanya kebersamaan, solidaritas, saling menghargai, saling memaafkan dan timbulnya toleransi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Sehingga Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, terlebih lagi diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf b dan c yang pada pokoknya mengatur turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban, serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya

Oleh karena itu, sebagai seorang Jaksa harus mampu menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum mampu beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab Jaksa bukan cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku. Sehingga Jaksa Agung sering mengimbau para Jaksa untuk menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum, karena hati nurani tidak ada dalam buku.

Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum memandang penerapan RJ sebagai salah satu edukasi bagi rakyat agar ke depannya dapat menghindari perilaku-perilaku yang berujung adanya penindakan hukum. RJ diharapkan adanya efek jera dan mampu meminimalisir tindak pidana di tengah kehidupan bermasyaraka.

Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan. Kemanusiaan diatur sejak zaman Hindia Belanda yakni sejak bayi dalam kandungan sudah mengenal hak untuk hidup dan waris, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie diatur dalam Staatblad 1847 No. 23.

Selanjutnya dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana pada Pasal 53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28A yaitu “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Hal ini menunjukkan bagaimana hak-hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi oleh negara. Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus memahami dahulu konteks kemanusiaannya.

Dalam konteks kemasyarakatan dan kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’ yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Pandangan-pandangan diataslah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis.

Dalam falsafah hukum, hukum ada untuk manusia, bukan untuk diputarbalikkan. Hal ini berarti penegakan hukum dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial.

Lalu seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Kemanfaatan. Sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau Nilai Keadilan. Hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.

Hukum moderen saat ini juga tidak terlepas dari nilai kemanusiaan yang ada. Oleh karenanya, penegakan hukum humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali rasa keadilan dalam masyarakat (living law). Meski demikian, hukum positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana, prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki sanksi.

Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di negara tersebut berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila dilihat lembaga pemasyarakatan dalam keadaan penuh, ini menunjukkan tingginya kasus tindak pidana dan kriminalitas yang ditangani. Selain itu, keadaan lembaga pemasyarakatan yang penuh menandakan bahwa penegakan hukum belum menimbulkan efek jera dan memanusiakan manusia, serta negara belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya.

Harapannya, agar kedepannya peraturan mengenai Keadilan Restoratif didorong menjadi Undang-Undang. Sebab hal ini sangat penting dalam rangka penegakan hukum humanis dan kita menjadi salah satu barometernya di dunia, sehingga kita mendapatkan legitimasi secara formil dalam pelaksanaannya. Kejaksaan Hebat, Kejaksaan Humanis!

Tinggalkan Balasan