Jakarta, LINews – Qatar layak mendapat acungan jempol atas prestasinya menyelenggarakan Piala Dunia untuk pertama kalinya di jazirah Arab. Ketika Qatar diumumkan terpilih sebagai tuan rumah menyingkirkan Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, pers Barat ramai-ramai mengkritik keputusan FIFA. Bagi para pengkritik, penyelenggaraan turnamen sepakbola terbesar di dunia tidak layak diselenggarakan di Timur Tengah karena kondisi alam dan ketersediaan infrastruktur.
Namun, pihak Qatar mengerahkan segenap energi untuk memastikan penyelenggaraan Piala Dunia berjalan lancar. Untuk mencapai target, Qatar mengerahkan 26.000 pekerja untuk membangun tujuh stadium baru dengan standar internasional. Qatar bekerja sama dengan negara tetangga seperti Uni Emirates Arab dan Saudi Arabia untuk menyediakan akomodasi jika Qatar mengalami kekurangan tempat penginapan. Bagi Qatar, menjadi tuan rumah adalah bagian dari membangun reputasi internasional.
Dalam perjalanannya, rencana Qatar tidak berjalan mulus. Ada banyak aral melintang yang berpotensi mengganggu persiapan mereka. Mulai dari kampanye negatif terkait kapasitas Qatar menyelenggarakan turnamen olahraga, konflik politik dengan negara tetangga, hingga pandemi Covid-19.
Ketika Presiden FIFA, kala itu Sepp Blatter, mengumumkan Qatar keluar sebagai pemenang menyebutnya sebagai “perkembangan sepakbola di daratan yang baru”, sebagian kalangan tidak menerima keputusan FIFA. Jaksa Amerika Serikat sempat melakukan investigasi seputar kemungkinan adanya korupsi dalam proses bidding. Qatar dibombardir oleh isu seputar pelanggaran hak asasi manusia para pekerja yang diupah dengan harga murah. Bahkan, Eric Cantona, seorang legenda sepakbola Prancis yang juga mantan pemain Manchester United pada awal 2022 menyatakan tidak akan menonton Piala Dunia 2022. Ia menyebut penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar “hanya urusan uang”, sebagai bentuk kritiknya terhadap persiapan infrastruktur pertandingan yang menyebabkan korban jiwa dari kalangan pekerja (Middle East Eye).
Belum selesai urusan kampanye hubungan masyarakat, Qatar diisolasi oleh negara tetangganya. Di tengah-tengah persiapan membangun infrastruktur, pada 2017 negara-negara Teluk yang dipimpin oleh Saudi Arabia menjatuhkan sanksi kepada Qatar. Negara tetangga mengisolasi Qatar karena dianggap bersekutu dengan Iran. Saudi Arabia dan asosiasi negara Teluk menjatuhkan kebijakan isolasi berupa pelarangan terbang maskapai Qatar ke wilayah negara Teluk, pembatasan akses terhadap stasiun Aljazeera, penghentian ekspor bahan pokok ke Qatar serta pengusiran diplomat Qatar dari negara Teluk. Isolasi ini memberi dampak langsung terhadap persiapan Piala Dunia.
Dan, tentu saja faktor pandemi Covid-19 menjadi variabel yang tidak boleh dinegasikan. Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Turnamen olahraga seperti Liga Champions sempat dihentikan. Olimpiade 2020 Jepang yang semestinya berlangsung pada 2020 digeser menjadi 2021. Kondisi inilah yang membawa keraguan bagi pihak Qatar tentang ekspektasi dan realitas yang dihadapi. Sebagai negara yang mengandalkan sektor jasa, pandemi menjadi pukulan telak bagi mereka.
Bertahan di Tengah Badai
Di tengah banyaknya rintangan, Qatar bisa bertahan. Peristiwa demi peristiwa dilewati oleh Qatar. Krisis politik kawasan mampu diatasi setelah disepakati normalisasi hubungan dengan negara-negara Teluk pada 2021 di bawah supervisi Amerika Serikat. Sejak 2021 hingga sekarang hubungan baik Qatar dengan negara tetangga menjadi kunci suksesnya Piala Dunia tahun ini.
Saat prosesi pembukaan, Qatar berhasil meyakinkan para pemimpin negara-negara kunci untuk hadir secara langsung untuk mengirim pesan kepada dunia bahwa Qatar dan negara tetangga telah berdamai. Kehadiran Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Pangeran Saudi Mohammed bin Salman, serta Presiden Mesir Jendral Sisi saat acara pembukaan Piala Dunia menegaskan pesan itu.
Kunci lainnya, keberhasilan Qatar mengambil hati para petinggi FIFA. Presiden FIFA Gianni Infantino bahkan secara khusus menggelar jumpa pers satu arah di hadapan media internasional sehari sebelum pembukaan. Orang nomor satu di FIFA itu menyinggung isu politik yang selama ini dihindari oleh otoritas olahraga. Infantino menyebut secara tegas adanya “kemunafikan” yang membayangi masyarakat internasional: “Apa yang kita (orang Eropa) telah lakukan selama 3,000 tahun silam, kita semestinya meminta maaf untuk 3,000 tahun mendatang sebelum memberikan pelajaran moral…Reformasi dan perubahan butuh waktu. Ia membutuhkan ratusan tahun di negara-negara kita di Eropa. Ia butuh waktu di mana pun itu, caranya adalah dengan melibatkan mereka…bukan dengan membentak.”.
Pada akhirnya, Piala Dunia kini memasuki tahap akhir. Final akan berlangsung pada 18 Desember di Lusail Iconic Stadium. Sebuah stadion dengan kapasitas 89.000 penonton. Qatar menutup 2022 dengan sempurna. Keberhasilan menggelar event olahraga terbesar di dunia menjadi kebanggaan tersendiri buat Syekh Tamim bin Hamad At-Tsani. Menjadi kebanggaan buat Timur Tengah dan Jazirah Arab. Andai Maroko juara dunia, maka kebahagiaan Timur Tengah kian sempurna.
(Red)