Jakarta, LINews – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan ada indikasi korupsi pada kasus pagar laut di perairan Tangerang. Kejagung kemudian menyarankan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri mengusutnya.
Hal itu disampaikan oleh Direktur A Jampidum Kejagung, Nanang Ibrahim Soleh, setelah mengembalikan lagi berkas perkara kasus pagar laut Tangerang ke penyidik Bareskrim Polri. Pengembalian berkas untuk kedua kalinya itu telah dilakukan pada Senin (14/4) lalu.
“Bahwa petunjuk kita, bahwa perkara tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi. Karena menyangkut di situ ada suap, ada pemalsuannya juga ada, penyalahgunaan kewenangan juga ada semua,” kata Nanang di gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (16/4/2025).
“Jadi sesuai dengan Pasal 25 UU 31/99, apabila perkara tersebut, dari banyak perkara yang didahulukan adalah perkara yang khususnya lex specialis-nya itu perkara tindak pidana korupsi,” lanjutnya.
Menurut Nanang, penanganan perkaranya didasari asas lex specialis. Lex specialis derogat legi generalia adalah asas hukum yang menyatakan hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
“Jadi intinya kita kembalikan untuk diteruskan ke Kortas Tipikor (Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri). Apalagi Kortas Tipikor disampaikan kan, bahwa dia sedang menangani,” jelas Nanang.
Dia menuturkan kasus pemalsuan dokumen dan tindak pidana korupsi harus diusut bersama, tidak boleh terpisah. Sebab, berdasarkan asas ne bis in idem yang melarang perkara yang sama diadili dua kali.
“Itu nanti kan ini jadi perkara yang sama tidak bisa diadili dua kali. Nah makanya kalau lebih ininya, tadi kan saya bilang lex specialis-nya kan. Nah makanya dijadikan satu perkaranya,” terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim Peneliti Berkas Jampidum Kejagung, Sunarwan, menjelaskan alasan perkara itu masuk dugaan korupsi. Sebab, adanya perubahan status kepemilikan.
“Menurut penilaian kita ada (unsur tindak pidana korupsi), karena ada fakta yang didukung dengan alat bukti adanya laut, yang kemudian berubah statusnya menjadi milik perorangan dan kemudian menjadi milik perusahaan,” jelas Sunarwan.
“Sehingga lepaslah kepemilikan negara atas laut tersebut. Nah, itulah yang merupakan titik poin kita, kenapa kita menyampaikan bahwa itu ada perbuatan melawan hukum berubahnya status itu,” urainya.
Selain itu, Sunarwan menjelaskan ada dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara negara dalam perkara pagar laut di perairan Tangerang itu. Penyalahgunaan wewenang itu dilakukan mulai dari tingkat kepala desa.
“Dilakukan oleh siapa? Penyelenggara negara. Sejak tingkat kepala desa sampai dengan proses keluarnya SHGB. Di situ ada perbuatan dan semua dilakukan oleh penyelenggara negara. Sehingga di sini ada perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara,” ucap Sunarwan.
Dia pun menegaskan perkara pagar laut Tangerang adalah tindak pidana korupsi.
“Maka dari itu, kita sampaikan bahwa petunjuk kita adalah ini adalah perkara tindak pidana korupsi,” imbuhnya.
Terkait kerugian negara, Sunarwan mengatakan memang tidak ada keterangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kerugian negara. Namun, ada ahli yang menduga adanya kerugian negara.
“Jadi tidak ada di dalam berkas perkara itu yang saksi dari BPK, dari mana, tidak ada. Tetapi ada dari ahli, tetapi bukan ahli tentang korupsi, bukan,” ucap Sunarwan.
Sebelumnya, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan pihaknya telah melengkapi berkas perkara kasus pagar laut di perairan Tangerang.
“Kami tetap dari penyidik Polri khususnya melihat bahwa tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 KUHP. Menurut penyidik yang berkas yang kami kirimkan itu sudah terpenuhi unsur secara formil maupun materiil,” kata Djuhandhani di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025).
Dia menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi ahli, termasuk pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas pengembangan kasus dokumen SHGB dan SHM di wilayah pagar laut Tangerang, belum ditemukan indikasi kerugian negara.
(Adr)