MAKASSAR, LINews – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) terus menyelidiki kasus dugaan mafia atas pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Terbaru, Tim Penyidik Kejati Sulsel melakukan penggeledahan di dua tempat.
Pertama di Kantor Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Provinsi Sulawesi Selatan dan lokasi kedua di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, dari penggeledahan di kantor SNVT Pembangunan BBWS Pompengan Provinsi Sulsel didapat berupa 89 bundel dokumen.
“89 bundel dokumen yang terdiri dari dokumen tahapan persiapan perencanaan pengadaan tanah, dokumen perencanaan pengadaan tanah, dokumen pelaksanaan pengadaan tanah,” kata Leonard Rabu (2/8/2023) malam.
“Daftar nominatif pengadaan tanah Bendungan Paselloreng, laporan penilaian pengadaan jasa penilai (appraisal) pengadaan tanah Bendungan Paselloreng sampai dengan dokumen kuitansi penerimaan ganti rugi,” sambungnya.
Sementara, di Kantor BPN Kabupaten Wajo Tim Penyidik juga mengamankan dokumen ataupun barang bukti berupa 13 bundel dokumen.
“13 bundel dokumen yang terdiri dari dokumen eks kawasan hutan nomor urut 1 sampai 200, daftar nominatif pengadaan tanah Bendungan Paselloreng, kuintansi penerimaan ganti kerugian pengadaan tanah proyek strategis nasional pembangunan bendungan Paselloreng, validasi pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dan peta bidang tanah,” bebernya.
Selain itu, kata Loenard, di BPN Kabupaten Wajo dilakukan juga penyitaan terhadap 4 unit CPU, 1 unit laptop dan 4 unit handphone.
Dia juga mengatakan penggeledahan itu berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor : Print-128/P.4.5/Fd.1/08/2023 tanggal 02 Agustus 2023 dan Penetapan Penggeledahan Nomor: 2/PenPid.Sus-TPK-GLD/2023.
“Penggeledahan di kedua tempat tersebut berlangsung secara serentar mulai pukul 13.00 Wita,” tuturnya.
Selanjutnya, terhadap dokumen-dokumen maupun barang bukti tersebut akan dilakukan penelitian dan akan diajukan penyitaan sebagai barang bukti yang akan digunakan untuk pembuktian dugaan mafia tanah pada kegiatan pembayaran ganti rugi lahan pada proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun 2021.
Leonard menegaskan, seluruh saksi maupun pihak lainnya diminta untuk tidak merintangi atau mengagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan.
“Tim penyidik Kejati Sulsel tidak ragu menindak tegas para pelaku sesuai pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegasnya.
Dia juga mengimbau pihak-pihak terkait lainnya untuk tidak mempercayai oknum-oknum yang mengatasnamakan kejaksaan ataupun mencoba mengurus atau menawarkan penanganan tindak pidana korupsi ini.
Sebelumnya diberitakan, Tim Penyelidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) menemukan adanya praktik mafia tanah atas pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Kejati Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan terjadi kerugian keuangan negara Rp75,6 miliar akibat adanya praktik mafia pada proyek strategis nasional pembangunan itu.
Dia juga mengungkapkan, perkara ini sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tim penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana.
“Selanjutnya pada tahap penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana,” kata Leonard dalam keterangannya, Rabu (26/7/2023).
Leonard menjelaskan, berdasarkan penelusuran penyidik dalam kasus ini, pada awal 2015, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo.
Menindaklanjuti hal tersebut, Gubernur Sulsel mengeluarkan keputusan penetapan lokasi pengadaan tanah pembangunan bendungan tersebut.
“Untuk lokasi pengadaan tanah pembangunan Bendungan Paselloreng memerlukan lahan atau tanah terdiri lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Passeloreng, Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan hutan HPT,” ujarnya.
“Pada 28 Mei 2019 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan. Kawasan hutan seluas 91.337 ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 ha di Sulsel,” jelasnya.
Modus dalam kasus ini, kata Leonard, diduga ada oknum memerintahkan beberapa honorer di Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Wajo membuat surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau Sporadik kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021.
Setelah itu, sporadik tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang serta Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan sporadik tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut, padahal diketahui bersama bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan.
“Sebanyak 246 bidang tanah ini belakangan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh Satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum. Selanjutnya, diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah dan tanaman,” ungkapnya.
Namun, berdasar pada foto citra satelit dikeluarkan tahun 2015 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) nampak eks kawasan hutan yang dimaksud tersebut di tahun itu masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.
“Dengan demikian lahan tersebut tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan,” ujarnya.
Loenard mengatakan, dari penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan meminta Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Kementerian Keuangan sebagai Lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut untuk membayar sebanyak 241 bidang tanah seluas 70,958 ha dengan total pembayaran sebesar Rp75,6 miliar lebih.
Oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan.
“Maka pembayaran tanah itu telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75,6 miliar lebih, karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan,” pungkas dia.
Dalam kasus ini sebelumnya dikeluarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejati Sulsel Nomor: Print- 92/P.4/Fd.1/ 01/2023 per tanggal 31 Januari 2023. Selanjutnya, perkara ini ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tim penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana.
Pada tahap penyidikan itu akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti agar membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggung jawab secara pidana. Penyidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print – 664/P.4/Fd.1/07/2023 per tanggal 20 Juli 2023.
(Paul)