Jakarta, LINews – Ketentuan hukum acara pidana koneksitas yang diatur dalam Pasal 89 s.d. Pasal 94 KUHAP maupun Pasal 198 s.d. Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dapat dipergunakan KPK untuk menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU KPK, serta tidak terdapat kekosongan hukum bagi KPK dalam pelaksanaan kewenangannya.
Demikian keterangan yang disampaikan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Dhahana Putra selaku kuasa Pemerintah/Presiden dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945, pada Rabu 6 Desember 2023.
Sidang Pleno terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi tujuh hakim konstitusi.
Lebih jelas Dhahana menguraikan bahwa peradilan koneksitas merupakan mekanisme yang diterapkan terhadap tindak pidana yang melibatkan pelaku sipil dan militer, termasuk pada penanganan perkara koneksitas tindak pidana korupsi. Dalam kaitannya dengan kewenangan KPK dalam mengkoordinasi dan mengendalikan penuntutan tindak pidana korupsi koneksitas pada ketentuan Pasal 42 UU 30/2002, tidak dapat menegasikan kedudukan sentral Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Sejalan dengan Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, prinsip Single Prosecution System (sistem penuntutan tunggal) yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.
“Oleh karena itu, frasa “Penuntut Umum” pada ketentuan pasal-pasal permohonan yang diajukan Pemohon sudah mencakup pula Jaksa yang menjadi penuntut umum di KPK, dalam pelaksanaan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 42 KPK. Sehingga, norma-norma tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” sampai Dhahana pada sidang yang dihadirinya secara langsung dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Penanganan Perkara Koneksitas
Lebih lanjut Dhahana mengatakan bahwa Prinsip Single Prosecution System dalam pelaksanaan tugas penuntutan tindak pidana korupsi oleh KPK sesungguhnya telah dimuat dalam ketentuan Pasal 12A UU 19/2019 (UU KPK), di mana KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, ketentuan tersebut juga merefleksikan kewenangan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia, seperti ditetapkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021 (UU Kejaksaan). Dalam hal ini, Jaksa Agung dapat mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan sebagaimana ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf j UU Kejaksaan.
Sementara itu untuk penanganan tindak pidana yang diperiksa melalui koneksitas diatur dalam beberapa norma, di antaranya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU PM). Bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama tersebut, termasuk pada lingkungan peradilan umum dan peradilan militer sejatinya diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, kecuali menurut Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, sehingga perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan militer.
Sehubungan dengan kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi koneksitas ini, Dhahana menyebutkan bahwa kewenangan tersebut juga mengikuti ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dalam beberapa norma di antaranya KUHAP; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan untuk hukum acaranya secara khusus dimuat dalam UU KPK.
Berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan ditegaskan lagi dalam ketentuan Pasal 17 PP KUHAP, KPK adalah badan yang memiliki kewenangan sebagai penyidik sesuai ketentuan Pasal 38, Pasal 39, Pasal 62 dan penjelasannya serta penjelasan UU KPK. Sehingga dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 89 ayat (3) KUHAP dan Pasal 198 ayat (3) sudah mencakup KPK. Sebagai penyidik lainnya, keberadaan KPK telah pula sesuai dengan ketentuan Pasal 7 SKB Menhankam dan Menkeh Nomor K.10/M/XII/1993 dan Nomor: M.57.PR.09.03/1983 dapat diikutsertakan dalam Tim Tetap perkara koneksitas.
“Sehingga saat ini, belum terdapat urgensi dan landasan yuridis untuk membentuk subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK, yang terefleksi dalam pencapaian KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi. Dengan demikian ketentuan Pasal 26 UU KPK saat ini sudah sejalan dengan Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” sebut Dhahana.
MK Tunda Sidang Uji Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Koneksitas
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 87/PUUXX/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada Rabu (30/8/2023), Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidak profesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP.
(Andri)