Kisruh Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

Kisruh Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

Jakarta, LINews – Nama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mencuat usai gelaran MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, pada Maret 2022 silam.

Ia disebut-sebut menerima fasilitas dan akomodasi menonton balap MotoGP tersebut yang diduga dari PT Pertamina. Lili disebut-sebut menerima fasilitas hotel dan tiket menonton MotoGP dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua KPK.

Alhasil Dewan Pengawas KPK pun turun tangan, mereka menduga ada pelanggaran etik disana. Dan hingga kini pemeriksaan dewas dalam kasus ini masih berjalan.

Beberapa pihak seperti ICW, MAKI hingga Pakar Hukum bahkan memberikan catatan keras kepada Lili.

Kinerja KPK juga kini sudah berbeda dengan yang dulu dimana saat ini banyaknya persoalan yang melanda lembaga anti rasuah tersebut.

Pakar Hukum Bivitri Susanti, menyatakan permasalahan yang saat ini banyak terjadi di KPK merupakan hasil dari usaha pelemahan KPK yang sudah berlangsung sejak 2019.

Upaya pelemahan itu meliputi perubahan-perubahan UU KPK, perubahan total desain kelembagaan KPK, upaya-upaya penyingkiran pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), hingga pelanggaran etik.

Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar

“Tidak hanya itu, pada tahun yang 2019 lalu kita juga mendapatkan komisioner yang rekam jejaknya sangat buruk, dan terbukti sampai sekarang”, kata Bivitri.

Bivitri menyebut tidak sedikit para pegiat anti korupsi dan media yang mendapati ambiguitas terhadap kinerja KPK. Kendati demikian, ia meminta agar upaya pemberantasan korupsi tetap didorong meski tanpa mendukung KPK.

Bivitri juga mengatakan masalah yang terjadi di KPK merupakan bentuk permasalahan struktural. Menurutnya, berbagai persoalan yang terjadi di komisi antirasuah merupakan satu rangkaian masalah yang saling berhubungan.

“Jangan diisolasi, dirangkai jadi satu. Coba kita lihat dengan jernih bahwa semua ini adalah upaya untuk membuat KPK betul-betul hanya ada gedungnya (saja)”, katanya.

Bivitri bahkan menduga kalau KPK kini telah menjadi `mesin politik` yang dimanfaatkan oleh banyak pihak yang terlibat didalamnya.

Misal salah satunya seperti dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu pimpinan KPK yang mencoreng citra KPK.

“Bisa jadi (KPK) betul-betul menjadi permainan (kotor) dari para politisi dan oligarki yang akan melibas orang-orang yang tidak sepandangan dengannya, ataupun melindungi orang-orang yang ada dalam jejaringnya”, ungkapnya.

“KPK sudah berubah total dari desain awalnya pada 2002, sudah kehilangan independensi yang selama ini menjadi kekuatannya,” sambungnya.

Ini bukan pertama kalinya Lili Pintauli Siregar berurusan dengan Dewan Pengawas KPK dalam hal pelanggaran etik.

Sebelumnya, pada Oktober 2021 lalu, mantan penyidik KPK Novel baswedan dan Rizka Anungnata melaporkan Lili ke Dewas KPK.

Lili dilaporkan terkait penanganan perkara du Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Novel menduga Lili berkomunikasi dengan salah satu kontestan Pilkada Kabupaten Labuhanbatu Utara yaitu Darno.

Dalam komunikasi itu, ada permintaan dari Darno kepada Lili untuk mempercepat eksekusi penahanan tersangka Khairuddin Syah Sitorus selaku Bupati Labuhanbatu Utara sebelum Pilkada serentak 2020 dimulai.

Menurut Novel, Khairuddin juga menyampaikan bahwa dirinya memiliki bukti berupa foto-foto pertemuan antara Lili dengan Darno.

“Tujuannya menjatuhkan suara dari anak tersangka Bupati Labura Khairuddin Syah yang saat itu juga menjadi salah satu kontestan Pilkada, di mana fakta ini disampaikan tersangka Khairuddin Syah kepada pelapor saat itu,” ucap Novel kala itu.

Namun Dewan Pengawas KPK tidak melanjutkan laporan tersebut. Dewas menilai laporan kedua mantan penyidik KPK tersebut masih sumir.

“Semua laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik yang masih sumir tentu tidak akan ditindaklanjuti oleh Dewas,” ujar Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, kepada wartawan, Jumat, 22 Oktober 2021.

Perkara lain yang pernah membuat Lili Pintauli Siregar diadukan ke Dewan Pengwas KPK adalah terkait dugaan penyebaran berita bohong ke publik.

Karena itu, pada 20 September 2021 lalu, empat mantan pegawai KPK yang dipecat dengan alasan tida lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), melaporkan Lili ke Dewas KPK.

Salah satu perwakilan mantan pegawai KPK, Tri Anung Artining Putri mengatakan, dugaan pembohongan publik ini terkait konferensi pers yang dilakukan Lili pada 30 April 2021. Saat itu, kata Tri, Lili menyangkal telah berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial.

Padahal sebelumnya, Dewas KPK menyatakan Lili telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah berkomunikasi dengan M. Syahrial, yang merupakan tersangka KPK.

Dalam putusan tersebut, Dewas juga menyatakan bahwa Lili telah menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.

“Pelanggaran ini melanggar ketentuan kode etik dan juga ketentuan pidana dalam Undang-undang KPK,” terang Tri.

Alhasil, pada 30 Agustus 2021, majelis Etik Dewan Pengawas KPK menghukum Lili dengan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Selain terbukti melakukan komunikasi langsung dengan pihak berperkara di KPK yaitu Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial, Lili juga terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.

Hal itu terkait dengan pembayaran uang jasa pengabdian Ruri sejumlah Rp53.334.640,00.

Lili Pintauli juga pernah terseret suap yang melibatkan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju.

Dalam persidangan, Robin menyebut Lili berperan dalam perkara suap yang ia terima dari M. Syahrial. Untuk membongkar peran Lili, Robin kemudian menawarkan diri menjadi justice collaborator.

Namun pimpinan KPK tak merespons niat Robin. Alasannya, keterangan terdakwa belum dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Apakah sepak terjang Lili hanya itu? Salah satu mantan pegawai KPK yang tidak ingin disebutkan namanya, menjawab tidak.

Menurut dia, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili Pintauli tak hanya yang terendus oleh media. Di balik itu ada sejumlah “ulah” Lili Pintauli yang mengarah pada pelanggaran etik, namun belum diketahui banyak pihak.

Ia bercerita, salah satunya mengenai perjalanan dinas. Menurut informasi yang ia terima, jika Lili Pintauli ditugaskan ke luar daerah, ia pernah memperpanjang waktu penugasannya hingga beberapa hari, untuk kepentingan pribadinya.

Misalnya, penugasan yang terkait agenda KPK hanya satu hari. Namun Lili mengupayakan agar waktu perjalanan dinasnya bisa melebihi satu hari.

Sisanya ia gunakan untuk kepentingan pribadinya, seperti rekreasi. Dan semua itu dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan pimpinan KPK, dan tentunya menggunakan dana dari KPK.

“Kalau dulu (ada kegiatan) ke daerah misalnya hanya sehari, perjalanan dinas bisa di extend sampai beberapa hari,” ungkap mantan pegawai KPK tersebut.

Hal senada diutarakan oleh mantan penyidik KPK, Novel Baswedan. Meski tidak menjelaskan secara rinci, ia menyebut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli lebih banyak daripada yang terungkap di media massa selama ini. (Vhe)