Komisioner Baru KPK di Pusaran Krisis Kepercayaan Publik

Komisioner Baru KPK di Pusaran Krisis Kepercayaan Publik

Law-Investigasi, DPR baru saja memilih pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Paket pimpinan kali ini tergolong istimewa, untuk pertama kali, tidak ada perwakilan masyarakat sipil di komisioner. Selain itu, pertama kali pula ada dua jaksa di komisioner. Lebih istimewa lagi Ketua Komisioner dan Ketua Dewan Pengawas sama-sama dari Kepolisian. Bagaimana masa depan pemberantasan korupsi dalam kendali pimpinan baru ini?

Trauma publik tampaknya belum hilang saat Komisi Pembernatasn Korupsi (KPK) dipimpin oleh Firli Bahuri. Firli menorehkan sejarah, dengan menjadi pimpinan KPK pertama yang harus lengser akibat skandal korupsi. Firli Bahuri resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Plda Metro Jaya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan pada 22 November 2023. Ia diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, saat menangani kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian.

Kasus ini menjadi drama yang berkepanjangan, sebab hingga kini status tersangka masih melekat, namun penanganan seoalh jalan di tempat. Selama setahun ini, tidak banyak progres dalam penanganan perkara ini oleh penyidik Polda Metro Jaya. Sementara, Syahrul sudah menjalani hukuman. Pekan lalu, Firli bahkan masih mangkir dari panggilan penyidik. Penyidik seolah tidak berdaya menghadapi Firli, hingga kasus yang mestinya sederhana ini medti terkatung-katung. Kasus ini selain mencoreng korps seragam cokelat, juga menjadi catatan khusus publik terhadap KPK.

Sayangnya kecemasan publik ini tampaknya tidak menjadi konsideran bagi wakil rakyat dalam menentukan komisioner KPK. Komisi III DPR RI menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, (21/11/2024). Hasilnya, parlemen menetapkan lima nama pimpinan dan lima nama dewan pengawas KPK periode 2024-2029. Nama-nama ini dipilih berdasarkan pemungutan suara dari seluruh fraksi, yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pengesahan lima Pimpinan KPK dan lima Dewas KPK periode 2024-2029 akan digelar pada pekan depan. Menurutnya, pengesahan Pimpinan KPK dan Dewas KPK akan dilakukan dalam rapat paripurna kamis pekan depan. Sebelumnya, dikabarkan bila pengesahan Pimpinan KPK dan Dewas KPK akan dilakukan pada hari Selasa (26/11/2024) dalam rapat paripurna DPR RI.

“Kemungkinan tanggal 5 Desember, sekalian penutupan masa sidang,” kata Dasco melalui keterangan yang diterima, Selasa (26/11/2024).

Dalam rapat pleno, yang dihadiri sebanyak 44 dari 47 anggota itu, mereka memutuskan Irjen Kementerian Pertanian Komjen Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK. Dia menang pemilihan seusai memperoleh 45 suara. Perolehan suara Setyo mengalahkan Johanis Tanak dan Fitroh Rohcahyanto, dengan masing-masing dua suara dan satu suara. Adapun Setyo terpilih menjadi pimpinan KPK setelah mengantongi 46 suara. Sedangkan Fitroh Rohcahyanto mendulang 48 suara. Kemudian, Ibnu Basuki Widodo mengantongi 33 suara. Lalu, Johanis Tanak memperoleh 48 suara dan 39 suara menjadi milik Agus Joko Pramono.

Di perolehan suara pemilihan lima dewan pengawas KPK 2024-2029, muncul nama Benny Joshua Mamoto dan Chisca Mirawati, yang mengantongi suara terbanyak, yakni 46 suara. Sisanya yang terpilih adalah Wisnu Baroto dengan perolehan 43 suara, dan Gusrizal serta Sumpeno yang meraup masing-masing 40 suara.

Dari lima pimpinan KPK terpilih, semuanya adalah aparat penegak hukum, kecuali Agus Pramono yang berstatus eks auditor di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dimulai dari Setyo Budiyanto, yang merupakan perwira tinggi Polri. Sebelumnya, Setyo menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK dan Inspektur Jenderal di Kementerian Pertanian. Kemudian, ada Fitroh, seorang jaksa senior yang pernah menjabat sebagai Direktur Penuntutan KPK. Baik Fitroh dan Setyo pernah bekerja bersama di KPK pada periode 2019-2021. Belakangan, Fitroh mengaku sudah lama tak bertugas di Kejagung lantaran diperbantukan di BUMN Antam sebagai Kepala Divisi Litigasi.

Sedangkan, Tanak adalah pimpinan KPK era Firli Bahuri, yang berstatus eks jaksa. Adapun, Ibnu adalah hakim yang juga sempat bertugas di Pengadilan Tipikor. Satu-satunya yang bukan penegak hukum, namun penyelenggara negara adalah Agus Joko, yang berstatus Wakil Ketua BPK (2019-2023).

Dengan komposisi ini, untuk pertama kali sejak KPK berdiri, tidak ada perwakilan masyarakat sipil di dalam komisioner KPK. Meskipun tidak dijabarkan secara tertulis dalam UU KPK, keberadaan semestinya menjadi faktor penyeimbang yang harus ada dalam struktur komisioner. Keberadaan perwakilan masyarakat sipil sebagai komisioner di KPK juga semestinya menjadi pembeda antara KPK dengan penegak hukum sektor korupsi lainnya.

Selain itu, sepanjang perjalanan KPK, punm baru kali ini terdapat dua unsur jaksa dalam komisioner KPK. Johanis Tanak yang juga merupakan komisioner 2019-2024, sebelumnya adalah jaksa aktif yang betugas di Kejaksaan Agung. Kini, Tanak juga bakal ditemani Fitroh Rochayanto. Fitroh dikenal sebagai jaksa yang lebih banyak mengabdi sebagai jaksa di KPK. Posisi terakhirnya di KPK adalah direktur penuntutan, sebelum dikembalikan ke Kejaksaan Agung karena terlibat konflik dengan atasannya di KPK.

Antara Harapan dan Kecemasan

Komposisi komisioner KPK yang diisi oleh APH aktif ini menjadi perhatian sendiri dari sejumlah kalangan, terutama kalangan penggiat anti korupsi. Umunya ada kecemasan terhadap masa depan pemberantasan korupsi jika menilik komposisi ini. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mempertanyakan latar belakang status pimpinan KPK. Baginya, lima pimpinan KPK terpilh bukan menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola kelembagaan. Bukan juga pula harapan untuk mengembalikan citra KPK dan kepercayaan publik, tapi sebaliknya.

Diky menitikberatkan kepada nama pimpinan KPK yang enggan menanggalkan statusnya sebagai APH, seperti Setyo Budi yang masih di bawah naungan Polri, Fitroh sebagai jaksa untuk Jampidsus Kejagung dan Ibnu yang berstatus hakim di bawah Mahkamah Agung. Tidak cukup bagi mereka berhenti dari jabatannya, tetapi terpenting adalah keluar dari institusi.

“Pimpinan KPK sekarang ini pasti berkelindan dengan konflik kepentingan dengan masing-masing lembaganya. Kita lihat saja,” ujar Diky pada Selasa (26/11/2024).

Menurutnya, apabila Setyo, Fitroh dan Ibnu hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, maka bisa menjadi potensi mereka memiliki loyalitas ganda. Kerja-kerja pemberantasan korupsi akan menjadi tidak objektif berdasarkan fakta dan bukti kasus. Sementara itu, UU KPK menjelaskan APH merupakan bagian dari subjek hukum yang ditangani KPK dalam kasus korupsi.

“Nah, apakah mereka bisa bekerja secara independen, jika ada polisi, jaksa dan hakim yang terlibat bancakan,” ujar Diky.

Diky mewanti-wanti preseden buruk soal jiwa korsa antar APH yang kerap kali mengaburkan kasus korupsi. Penegak hukum yang sedang diusut peranannya sebagai pelaku korupsi, bisa saja dibebaskan dari statusnya. Atau bahkan vonis yang dijatuhkan kepada APH yang berperkara bakal ringan, alih-alih memaksimalkan hukuman.

“Kalau sudah berpihak atas alasan tidak enak sesama penegak hukum atau dulu mantan rekan kerjanya, lantas apa jadinya KPK memberantas korupsi,” katanya.

Diky juga menyoroti pemilihan pimpinan komisi antirasuah yang terkesan mengabaikan faktor kompetensi dan rekam jejak. Baginya, lima pimpinan KPK terpilih dipilih berdasarkan faktor subjektif anggota DPR, yang sarat kepentingan dengan kekuasaan.

Rekam jejak beberapa pimpinan KPK pun tak kalah peliknya. Seperti Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik pada 2023. Dia melakukan pertemuan dengan tersangka kasus suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, yakni mantan Komisaris PT Wika Beton Tbk. Lain itu, dia terlibat komunikasi dengan salah satu pihak yang terlibat kasus korupsi di Kementerian ESDM.

Rekam jejak buruk juga didapati dari Agus Joko Pramono, yang diduga pernah menerima transaksi mencurigakan sejumlah Rp 115 Miliar terkait proyek di Kebumen, Jawa Tengah. Temuan ini pernah menjadi atensi PPATK dan menganggap transaksi itu sebagai transaksi mencurigakan. Di hadapanKomisi III, Agus membantah adanya transaksi Rp 115 miliar seperti yang dituduhkan tersebut.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2023, total harta Agus mencapai Rp 18,6 miliar. Harta tersebut terdiri dari empat bidang tanah di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Sumedang dengan nilai Rp 4,3 miliar, empat unit kendaraan roda empat senilai Rp 882 juta, harta bergerak lainnya Rp 2,5 miliar, surat berharga Rp 5,74 miliar, kas/setara kas Rp 4,5 miliar, dan harta lainya Rp 620 juta.

Dengan kekayaan tersebut, Agus menjadi pimpinan KPK dengan harta yang dilaporkan di LHKPN terbesar. Ketua KPK Setyo Budiyanto melaporkan memiliki kekayaan senilai Rp 9,6 miliar, Fitroh Rohcahyanto Rp 5,05 miliar, Ibnu Basuki Widodo Rp 4,2 miliar, dan Johanis Tanak Rp 11,2 miliar.

Di sisi lain, ada Ibnu Basuki Widodo, yang dalam jabatannya sebagai hakim pernah memvonis bebas terdakwa korupsi bernama Ida Bagus Mahendra. Adapun Ida terlibat kasus pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama tahun 2010, yang merugikan keuangan negara. Tak hanya itu, Ibnu Basuki pada Desember 2017 saat menjabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tercatat pernah melarang peliputan media massa dalam siaran langsung persidangan kasus mega korupsi E-KTP. Saat itu, duduk sebagai terdakwa adalah Setya Novanto.

Fokus Pada Kerja

Maraknya tone negatif terhadap proses pemilihan pimpinan KPK, ditanggapi datar oleh Ketua KPK terpilih Setya Budyanto. Dia menuturkan proses seleksi telah dilakukan melalu mekanisme yang transparan. “Sejak awal (peoses seleksi) menurut saya sangat terbuka, Pansel & pihak ketiga (asesor) sangat profesional. Tahap demi tahap dilalui dengan ketat. Di tahap wawancara juga kualitas pertanyaan sangat berbobot serta melibatkan pihak eksternal,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (28/11/2024).

Menurut eks Dirdik KPK ini, pengalamannya saat bertugas di KPK sebagai koordinator korsup dan direktur Penyidikan akan menjadi modal awal untuk berinteraksi dengan internal KPK, terutama kepada seluruh pegawai KPK. Pengalamannya yang cu,up lama di dua bidang tadi, menurutnya, akam meudahkannya dalam memetakan pekerjaannya nanti. “Pengalaman itu akan modal awal untuk berinteraksi dengan seluruh pegawai dan juga memperbaiki kekurangan atau kelemahan yang ada khususnya di 2 tempat itu, pastinya saya akan berusaha sangat terbuka,” ujarnya.

Menanggpi reaksi negatif di masyarakat, dia menatakan akan mnegedepankan pendekatan program. Dia akan mendorong pimpinan KPK secara bersama-sama merumuskan program yang sesuai dengan kondisi saat ini, semoga pimpinan yang lain setuju untuk melakukan perbaikan sistem menjadi pilihan utama dan upaya lainnya.

Saat ditanya tentang program quick wins di seratus hari kepemimpinannya, Setyo mengaku akan berembug dengan pimpinan yang lain. Dia menegaskan posisi pimpinan adalah kolektif dan kolegial, dia tidak mau ada yang mendominasi. “Nanti akan dibahas bersama pimpinan lainnya, kami kolektif kolegial, kami ingin kompak. Tidak ingin saling mendominasi tapi saling mengisi,” ujanrya.

Sementara itu, Fitroh Rohcahyanto selaku wakil ketua KPK yang baru saja terpilih, mengaku tidak ambil pusing soal keraguan publik yang melihat komposisi pimpinan KPK berpotensi tidak independen dalam bertindak. Baginya, tidak ada loyalitas ganda, meski dirinya masih berstatus penegak hukum pula di Kejagung.

“Bagi saya, saya mengabdi untuk negara, untuk kepentingan nasional,” ujar Fitroh pada Jumat.

Kendati begitu, dia tidak memungkiri citra KPK memang sedang tidak baik, terlebih saat masa kepemimpinan Firli Bahuri. Kasus pelanggaran etik oleh pimpinan KPK, mulai dari Johanis Tanak dan Nurul Ghufron, bagi Fitroh, merupakan preseden buruk yang telah merusak marwah komisi antirasuah.

Selama berkarier di KPK lebih dari 11 tahun, dia tidak menyangkal bahwa dekadensi KPK terjadi di masa Firli Bahuri. Tekanan-tekanan yang beraroma politis dirasakan betul. Integritas menjadi taruhan setiap insan KPK di bawah kepemimpinan seorang Firli. Itu yang membuatnya mundur dari KPK, tepatnya saat dia terlibat selisih prinsip dengan pimpinananya dalam kasus Formula E. “(Tekanan) itu ada untuk (mentersangkakan Anies), tapi saya punya sikap,” katanya.

(Remond)

Tinggalkan Balasan