Jakarta, LINews – Sudah berulang kali auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta dokumen bukti bayar penayangan iklan kepada manajemen Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), tapi tak kunjung dipenuhi. Hasil nihil juga didapati auditor negara saat meminta bukti kepada agensi. Tidak terbukanya BJB dan agensi iklan lantas memantik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan rasuah dalam dana iklan ini.
Pengusutan kasus korupsi ini berawal dari laporan yang diterima KPK pada Juli 2024. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan periode anggaran yang diduga terjadinya laku korupsi adalah 2021 hingga semester awal 2023. Anggaran yang dimaksud adalah dana iklan BJB untuk promosi di sejumlah media massa. Bank pelat merah itu menggunakan jasa agensi sebagai perantara pemasangan iklan. Pihak bank mematok sekian anggaran, tetapi dalam praktiknya diduga ada patgulipat antara BJB dan agensi untuk menggelembungkan harga.
“(Kasus) BJB ini sedang ngantre (ke proses penyidikan) dan sudah beres penyelidikan,” kata Asep kepada Law-Investigasi.
Meski belum masuk penyidikan, KPK sudah mengantongi sejumlah calon tersangka. Satu di antaranya merujuk ke Ahmadi Noor Supit. Dia adalah Anggota V BPK yang dilantik pada Oktober 2022. Saat itu, dia menggantikan Harry Azhar yang meninggal dunia. Ahmadi memasuki masa pensiun pada 2024 dan melepas jabatannya per Agustus lalu. Sama dengan Harry, sebelum menjabat pimpinan BPK, Ahmadi tercatat sebagai politisi partai Golkar yang berstatus anggota DPR.
Ahmadi diduga melakukan intervensi kepada auditor BPK Perwakilan Jawa Barat demi temuan penyimpangan tidak berisiko bagi manajemen BJB dan pihak lain yang terkait. Hasil audit yang sebenarnya diarahkan untuk tidak seluruhnya dimunculkan sehingga menguntungkan pihak yang membancak angggaran.
“Kenapa BPK? Kan BPK itu mengaudit kementetian/lembaga negara dan bank BUMN/BUMD. Jadi, saat audit itu lah (diduga memoles isi laporan),” ujar Asep.
Laporan BPK dimaksud adalah laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 yang terbit Maret. Dalam laporan itu, potensi tidak jelasnya aliran dana mencapai Rp260 miliar. Jumlah itu didapat auditor negara dari sebagian dokumen pembayaran pihak agensi iklan ke sejumlah media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa. Laporan BPK menyebutkan sebanyak Rp341,88 miliar telah digelontorkan keenam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.
Namun, dalam perjanjian kerjasama, agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti bayar kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi ke bank. Hal ini pula yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga. Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.
Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta. Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar. Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.
Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk 17 TV arus utama sebesar Rp37,93 miliar dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar. Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’.
Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh nilai transaksi keseluruhan dari agensi yang membayar jasa iklan ke media. Para agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
“Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” petik laporan BPK.
Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaan juga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1-2% yang diatur dalam kontrak dengan BJB. Di sisi BJB, pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan, pun mengatakan perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.
Lain itu, jumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media. Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama pemasangan iklan. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu. Padahal iklan itu tidak termuat dalam proposal agensi yang diajukan ke BJB. “Hubungan kerja sama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” petik laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.
(Reymond)