Jakarta, Law-Investigasi – Persoalan mengenai sistem pendidikan di Indonesia memang tak pernah usai. Kali ini kembali muncul kontroversi dalam dunia pendidikan Indonesia, tepatnya terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Gubernur NTT Victor Laiskodat membuat rumusan kebijakan baru dengan mengubah jam masuk sekolah lebih awal pada pukul 05.00 WITA.
Sebagaimana dilaporkan LINews (2023), hal ini disampaikan oleh Victor dalam rapat bersama para guru SMA dan SMK di Kota Kupang, Rabu, 23 Februari 2023. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Nusi, kebijakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan yang layak di NTT.
Melalui kebijakan ini, siswa SMA dan SMK diharuskan bangun pada pukul empat subuh. Victor mempertimbangkan bahwa tidur selama 6 jam bagi para siswa sudah lebih dari cukup untuk beristirahat. Mereka harus sudah sampai di sekolah sebelum jam pelajaran di mulai pukul 05.00 WITA. Harapannya, mereka menjadi lebih fresh dan lebih bersemangat.
Kebijakan ini menuai kontroversi publik, apalagi setelah informasi tersebut viral di media sosial. Banyak pihak yang tidak sepakat atas kebijakan baru tersebut. Alhasil jam masuk sekolah diundur menjadi jam 05.30 WITA. Kendatipun demikian, tidak sedikit yang menyambut positif kebijakan tersebut, termasuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy. Ia menilai kebijakan baru tersebut sebagai manifestasi revolusi mental untuk menuju kualitas pendidikan yang lebih baik.
Keberatan-keberatan atas kebijakan ini didasarkan kepada kondisi siswa itu sendiri. Dengan kebijakan ini, siswa harus mengurangi jam istirahat mereka. Berangkat ke sekolah pagi buta juga membuat para siswa mengalami kendala transportasi. Jarang sekali transportasi publik yang beroperasi sepagi itu.
Ada satu hal mencolok bagi saya dalam penerapan kebijakan baru ini. Terdapat kekeliruan mendasar dalam mengelola pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah NTT. Kita tentu tahu bahwa kualitas serta mutu pendidikan yang dimaksud adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menerima ilmu pengetahuan di dalam kelas. Namun, mengubah jam sekolah lebih awal atau memperpanjang durasi bukanlah jawaban untuk itu.
Kualitas pendidikan yang berorientasi kepada siswa tidak bergantung kepada waktu atau durasi belajar, melainkan efisiensi. Hal ini didukung oleh beberapa hasil studi pendidikan yang menunjukkan jika efisiensi jam belajar di sekolah dengan metode pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kualitas siswa.
Tanpa efisiensi tersebut, yang terjadi justru sebaliknya. Sepanjang apapun jam belajar di sekolah diberlakukan atau sepagi apapun jam belajar dilakukan, tidak akan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas pendidikan, utamanya terhadap semangat dan pengembangan kapasitas siswa jika tidak dibarengi dengan metode pembelajaran yang tepat.
Sebagaimana diungkapkan Paulo Freire, metode pembelajaran menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas siswa, alih-alih durasi pendidikan dan pergeseran lebih awal waktu belajar. Tanpa metode yang tepat, tidak ada efisiensi. Bisa jadi siswa malah menjadi jenuh dan kehilangan semangat belajar.
Membuat siswa harus bersiap lebih awal, merelakan jam istirahatnya, dan mencari jalan terbaik untuk datang ke sekolah tepat waktu di pagi buta hanya akan menambah beban siswa. Alih-alih mempermudah siswa dalam belajar di sekolah, kebijakan yang dibuat justru relatif memberatkan dan menyulitkan.
Kita perlu menengok sedikit ke belakang untuk menyimpulkan jika kebijakan tersebut tidak selaras di filosofi sekolah itu sendiri. Roem Topatimasang, aktivis sosial dan pendidikan Indonesia, menuliskan dalam buku fenomenalnya Sekolah Itu Candu bahwa sekolah dalam sejarahnya adalah salah satu upaya pelembagaan pendidikan.
Sekolah ditujukan sebagai wadah siswa untuk mengembangkan diri dan bersenang-senang. Artinya, sekolah adalah tempat bebas yang menyenangkan untuk belajar bagi para siswa dan bukan sebaliknya. Hal ini tentu ditunjang dengan metode belajar yang tepat dan harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan siswa. Inilah yang harus terus mendapatkan perhatian, selain problem struktural pendidikan yang lain seperti korupsi, akses, dan kualitas SDM.
Hendaknya sebuah kebijakan memang harus dirumuskan berbasiskan riset akademik, apalagi ini menyangkut pengelolaan lembaga akademik yang vital bagi negara. Untuk itu, perubahan tidak bisa disandarkan kepada harapan semata-mata. Lebih dari itu, perubahan harus dilandaskan kepada analisa mendalam.
Mencetuskan kebijakan hanya bermodalkan harapan tanpa dilandasi basis riset yang kuat justru mencerminkan adanya sikap anti-intelektualisme dalam mengelola lembaga pendidikan itu sendiri. Lembaga yang ironisnya digadang-gadang dapat mencetak, dalam istilah Gramsci, para intelektual organik yang dapat bermanfaat bagi “bangsa dan negara.”
(Vhe)