Law-Investigasi, Terminologi dana komando kembali mengemuka. Istilah ini lazim digunakan di era Orde Baru untuk dana non-bujeter yang digunakan untuk membiayai sebuah operasi. Setelah era reformasi dana komando ini perlahan memudar, seiring dengan kebijakan reformasi TNI dan juga reformasi sistem keuangan nasional. Sehingga, tidak hanya di TNI, namun dana-dana non-bujeter di seluruh lembaga pemerintahan secara resmi ditutup. Seluruh anggaran harus tercatat.
Seiring perjalanan waktu, terminologi ini menjadi memudar dan bersulih arti. Dia menjadi percakapan di ruang-ruang gelap sektor pengadaan yang berelasi dengan militer. Dana komando lantas menjadi kode alias sandi untuk setoran dalam lingkup pengadaan. Dako pun menjadi pasword untuk bermain lancung dalam pengadaan di lingkungan yang berbau militeristik.
Istilah dako alias dana komando masuk dalam terma pemberantasan korupsi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Dalam perkara ini, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh Majelis didakwa memberikan dana komando. Hal yang kemudian terbukti di persidangan. Majelis hakim menyatakan terbukti adanya pemberian dana komando oleh Irfan Kurnia Saleh dalam perkara dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 pada 2016. Dana komando tersebut diberikan oleh Irfan kepada Wisnu Wicaksono selaku Kepala Pemegang Kas Markas Besar TNI Angkatan Udara periode 2015-Februari 2017.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (22/2/2023). Djuyamto didampingi Rianto Adam Pontoh dan Ida Ayu Mustikawati selaku hakim anggota. Hadir juga jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi dan Irfan yang didampingi penasihat hukumnya.
”Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh alias Irfan Kurnia berupa pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Djuyamto.
Kini, dana komando kembali mengemuka saat Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI, Marsekal Madya Henri Alfiandi menerima suap senilai Rp 88,3 miliar. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, suap itu diterima melalui orang kepercayaannya, Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Alfri Budi Cahyanto.
Adapun suap itu diberikan oleh sejumlah pihak swasta terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas RI. “Henri bersama dan melalui Alfri diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas pada 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).
Berdasarkan hasil gelar perkara atau ekspose, KPK memutuskan menetapkan lima orang tersangka terkait kasus dugaan korupsi suap menyuap pada pengadaan tahun anggaran 2021-2023 di Basarnas.
Mereka ialah Kabasarnas periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koorsmin Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil. Belakangan, Henri dan Afri penanganannya dialihkan ke Puspom TNI.
Namun, istilah dako justru terlontar dari Juniver Girsang. Pengacara kampiun ini mewakili kepentingan kliennya Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan. Gunawan merupakan salah satu tersangka dalam kasus Basarnas dengan peran sebagai pemberi suap.
Juniver mengatakan setoran yang disampaikan oleh kliennya merupakan imbauan yang disebut dana komando. Duit itu dikutip sebesar 10 persen jika proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) telah selesai. Imbauan dana komando itu disebut datang dari pihak Basarnas.
Menurut Juniver, imbauan dana komando sebesar 10 persen sudah lazim dilakukan, hingga kliennya tidak merasakan ada sesuatu di balik fee tersebut. Sehingga kemudian kliennya mengatakan kepada karyawannya selama masih ada keuntungan, ikuti saja imbauan tersebut. Dia pun meminta KPK juga membongkar kebiasaan fee 10 persen di Basarnas yang diduga melibatkan banyak rekanan atau kontraktor.
“Jadi, kesimpulannya sebetulnya kalau ini kelak kebiasaan, ya udah periksa saja itu kontraktor semua yang ada di Basarnas. Kenapa harus ini yang dikejar-kejar,” kata Juniver, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2023).
Henri Alfiandi tak membantah sangkaan bahwa dia menerima uang dari rekanan. Namun, ia menegaskan dana tersebut dia gunakan untuk keperluan opersional kantornya. “Saya pimpinan lembaga yang mengatur dana operasional. Jadi bukan unit kepentingan pribadi. Kan sudah dinyatakan tercatat semua penggunaan dana tersebut oleh KPK. Dan catatan itu rapi, karena bentuk dari pertanggung jawaban saya,” kata Henri, Kamis (27/7/2023).
“Sistem itu, dana ops (operasional) kantor. Kalau misal mau sembunyi-sembunyi, ngapain saya perintahkan catat rapi. Tanya ke mitra deh. Kalau yang mau terbuka dan jujur sistem kebijakan saya ini. Saya tahu ini salah, tapi baik hasil output-nya,” papar Henri.
Dia menegaskan, apa yang disangkakan dengan dana tersebut benar adanya. Tapi dia menyangkal penggunaannya yang seolah-olah masuk kantung pribadi.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku tak tahu soal istilah `Dana Komando` yang muncul dalam kasus suap proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas.
“Saya enggak tahu masalah yang itu,” kata Yudo di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Yudo lantas menyinggung selama ini internal TNI selalu diawasi oleh inspektorat jendral (Itjen) sebagai pengawas. Kemudian, TNI juga diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama enam bulan sekali. Ia juga memastikan TNI tak akan melindungi para personelnya yang melakukan pidana apapun.
“Itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae menyatakan memang terdapat kurangnya alokasi anggaran pemerintah untuk Basarnas. Ridwan mengatakan hal tersebut masih menjadi batu sandungan dalam mendukung kinerja Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas). Menurutnya hal ini bisa berdampak pada kurangnya sarana dan prasarana serta SDM yang mendukung kerja Basarnas.
(R. Simangunsong)