Korupsi Rp46 M, Dua Petinggi Amarta Karta Dituntut 8-11 Tahun Bui

Korupsi Rp46 M, Dua Petinggi Amarta Karta Dituntut 8-11 Tahun Bui

Bandung, LINews – Persidangan kasus korupsi proyek fiktif di BUMN Amarta Karya telah memasuki babak baru. Dua terdakwanya, yaitu Direktur dan Direktur Keuangan PT Amarta Karya (AMKA) Catur Prabowo serta Trisna Sutisna, telah dituntut hukuman penjara selama 8 hingga 11 tahun kurungan penjara.

Sekedar diketahui, Catur dan Trisna didakwa menilap uang negara hingga Rp 46 miliar. Kedua petinggi BUMN tersebut disinyalir memperkaya diri mereka dengan cara melakukan pembayaran pekerjaan fiktif untuk proyek konstruksi di PT AMKA selama tahun 2018-2020.

JPU KPK pun menuntut Trisna dengan hukuman penjara selama 8 tahun dengan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan. Sementara Catur, dituntut lebih tinggi dengan hukuman penjara selama 11 tahun kurungan penjara, dengan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan penjara.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Trisna Sutisna dengan pidana penjara selam 8 tahun…,” demikian bunyi tuntutan yang telah dijatuhkan JPU KPK kepada Trisna Sutisna sebagaimana dilihat di laman SIPP PN Bandung, Jumat (2/2/2024).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Catur Prabowo berupa pidana penjara selama 11 tahun…,” tulis bunyi tuntutan terhadap Catur Prabowo tersebut.

Tuntutan untuk keduanya telah dibacakan JPU KPK pada 15 Januari 2024. Trisna dituntut bersalah melanggar Pasa 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama.

Sementara Catur, dituntut bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan komulatif kesatu alternatif pertama. Catur juga dituntut bersalah melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan komulatif kedua.

Setelah tuntutan tersebut, Catur dan Trisna telah membacakan pembelaannya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung pada 24 Januari 2024. Berdasarkan agenda selanjutnya, kedua petinggi BUMN Amarta Karya itu akan menghadapi sidang putusan pada Rabu (5/2/2024) mendatang.

Sebagaimana diketahui, Catur dan Trisna terseret kasus korupsi di BUMN Amarta Karya yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 46 miliar. Keduanya didakwa telah memanipulasi sejumlah dokumen untuk proyek fiktif di BUMN tersebut.

Adapun modusnya, dilakukan dengan cara menunjuk 3 perusahaan, yaitu CV Perjuangan, CV Cahaya Gemilang dan CV Guntur Gemilang yang sudah keduanya rekayasa untuk menampung uang proyek fiktif tersebut. Catur dan Trisna turut dibantu sejumlah koleganya seperti Pandhit Seno Aji dan stafnya, Deden Prayoga.

Dari hasil proyek fiktif yang telah dijalankan, CV Guntur Gemilang lalu tercatat menyetorkan uang sebesar Rp 17.460.348.357 atau Rp 17,4 miliar. CV Cahaya Gemilang Rp 13.844.907.543 atau Rp 13,8 miliar dan CV Perjuangan Rp 12.760.002.423 atau Rp 12,7 miliar.

Selain itu, Catur dan Trisna juga mengatur transfer kepada sejumlah kerabat Deden Prayoga yang seolah-olah ditunjuk menjadi vendor penyedia alat proyek konstruksi. Mulai dari Abdul Kadir Rp 146 juta, Desi Hariyanti Rp 730 juta, Fajar Bagus Setio Rp 103 juta, M Bangkit Hutama Rp 316 juta dan Triani Arista Rp 490 juta.

Dari setoran proyek fiktif itu, Catur mendapat jatah hingga Rp 30 miliar dan Trisna Rp 1,3 miliar. Sedangkan sisanya yaitu Rp 14,2 miliar, dibagi untuk Royaldi Rp 938 juta, I Wayan Rp 8,4 miliar, Firman Sri Sugiharto selaku Kepala Divisi Operasi I Rp 870 juta, Runsa Reinaldi Rp 273 juta, dan dipergunakan Pandit serta Deden hingga Rp 4,1 miliar.

Keduanya pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahhun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.

Serta Pasal Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.

Khusus untuk Catur, JPU KPK mendakwa Direktur PT AMKA itu dengan pasal pencucian uang sebesar Rp 10 miliar. Dalam salinan dakwaan tersebut, Catur disinyalir menggelapkan duit hasil korupsinya dengan cara membeli sejumlah aset hingga membawanya kabur ke luar negeri.

Di antaranya untuk membeli tanah seluas 307,4 meter persegi di Perumahan Serenia Hils, Lebak Bulus, Jakarta Selatan Rp 8 miliar, 2 unit apartemen di Grand Taman Melati Margonda dan di Sky House BSD Tower senilai Rp 710 juta dan Rp 1,1 miliar, serta sepeda merk brompton 129 juta. Hingga menempatkan harta kekayaannya di saham Indo Premiere Sekuritas sebesar Rp 394 juta.

Catur pun didakwa bersama melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kedua.

(Nasikin)

Tinggalkan Balasan