Mafia Listrik Dalam Bisnis Tower PLN #3

Mafia Listrik Dalam Bisnis Tower PLN #3

PT Bukaka Buka Suara

PT Bukaka Teknik Utama memasok 1.200 tower transmisi jalur tol listrik Sumatera bagian timur dengan kapasitas 500 kilo Volt 4 sirkit.

Transmisi tersebut di bangun di jalur New Aur Duri-Peranap-Perawang sepanjang 400 kilometer.

Kebutuhan investasi pembangunan jalur transmisi tersebut diperikaran mencapai Rp1 triliun. Disamping itu, sebagai perusahaan nasional, pihaknya berkomitmen mendukung pembangunan transmisi nasional dalam rangka mensukseskan program kelistrikan 35.000 MW.

PT Bukaka Teknik Utama Tbk buka suara terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan menara (tower) transmisi tahun 2016 pada PT PLN (Persero).

Dalam pengadaan tower kerja sama PLN dan PT Bukaka dan 13 penyedia pengadaan tower lainnya, Kejaksaan Agung menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.

Namun, Presiden Direktur PT Bukaka Irsal Kamaruddin mengatakan pihaknya telah mengikuti aturan terkait pengadaan tower tersebut. Ia pun membantah PT Bukaka mengatur PLN untuk mengakomodasi permintaannya.

“Kalau menurut kami, kami berjalan sesuai alurnya. Kami enggak bisa mendikte PLN dan seterusnya,” ujar Irsal di pabrik PT Bukaka, Bogor, Rabu (3/8) seperti dikutip.

Irsal pun mengatakan pihaknya akan mengikuti proses hukum terkait kasus ini. Diketahui, Kejagung telah menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tersebut ke tahap penyidikan.

“Ini kan proses masih berjalan. Kami serahkan ke Kejagung,” ujar Irsal.

Dalam keterangan terpisah, perusahaan menerangkan, pada 2016 lalu, PLN melakukan pengadaan tower listrik sebanyak 9.085 set dari kebutuhan 120 ribu set untuk 46 ribu km transmisi, dalam rangka proyek listrik 35.000 MW.

“Karena tower PLN standar dan bahan baku baja harus dari Krakatau Steel dengan harga yang sudah ditentukan, maka Kementerian Perindustrian dengan konsultasi PLN, BPKP dan Asosiasi menetapkan harga jual per unit sesuai standar dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian No.15/M.Ind/Per/3/2016,” jelas perusahaan.

Proyek 35 ribu MW sendiri adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai Perpres No. 3 tahun 2016, dan Perpres No. 4 tahun 2016 tentang Infrastruktur Ketenagalistrikan, maka harus dipercepat dan sesuai dengan Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah No. 54 tahun 2010 pasal 38 ayat 5a, tidak perlu tender apabila ada harga standar dari pemerintah.

Dalam penunjukan awal, pengadaan PLN mengundang 14 perusahaan rekanan. Dari kebutuhan 9.085 set, Bukaka mendapat 1.044 set atau 11,5 persen.

“Artinya Bukaka tidak melakukan monopoli, walaupun Ketua Asosiasi adalah salah satu Direksi Bukaka, karena prosentase pekerjaan untuk Bukaka tidak sebesar yang dibayangkan,” terangnya.

Menurut perusahaan, dari semua proses pengadaan tersebut dapat dinilai baik PLN dan rekanan telah bekerja sesuai aturan yang ada. Selain itu, tidak ada kerugian negara, karena bahan baku dan harga jual sudah ditentukan harganya sehingga pemasok hanya seperti tukang jahit.

PT PLN Rawan Korupsi, Pengawasan Internal Mandul

Berulang kali PT PLN terseret kasus korupsi. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya, bagaimana dengan pengawasan perusahaan plat merah tersebut?

Sejauh ini fungsi pengawasan salah satunya dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan pemeriksaan terhadan PT PLN secara berkala.

Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Menurut hasil pemantauan ICW terhadap hasil pemeriksaan BPK RI terhadap PT PLN, pada periode 2014 hingga 2020, sedikitnya ditemukan 79 masalah yang berkaitan dengan kelistrikan dan pengelolaan batu bara.

“Permasalahan tersebut apabila diklasifikasikan meliputi 7 isu besar, yakni masalah-masalah yang meliputi harga, stok, pasokan, kualitas batu bara, kontrak dan perjanjian jual beli, dan kerja sama PLN dengan pihak ke tiga,” kata peneliti ICW, Egi Primayogha.

Namun menurut mantan konsultan PT PLN, Farid Fathur, pengawasan melalui audit yang dilakukan BPK RI terhadap PT PLN tidak ada gunanya.

Mengapa begitu? Sebab menurut dia, pengawasan yang dilakukan BPK RI terhadap PT PLN hanya sebatas di atas kertas. Dia mengibaratkan BPK RI Hanya mencocokkan neraca pemasukan dan pengeluaran saja.

Sementara BPK RI tidak sampai mengecek bagaimana penerapannya di lapangan, apakah sama dengan yang tertuang di atas kertas.

“Ibaratnya kita dikasih uang 100 juta, BPK cuma mengecek kita belanja apa saja, benar ngga belanjaannya? Perkara belanjaan ada atau tidak, itu tidak dicek,” kata Fathur menganalogikan.

Sekalipun ditemukan adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian antara yang tertulis di atas kertas dengan realitanya, lanjut Fathur, temuan BPK tersebut hanya berakhir menjadi sebuah rekomendasi.

“Pernah ngga BPK memeriksa hasil pembakaran batu bara, apakah sesuai dengan kalori yang dibeli atau yang tidak? itu harusnya ketahuan,” sambungnya.

Salah satu komponen perusahaan yang bisa diandalkan dalam proses pengawasan internal di PLN, menurut Fathur adalah jajaran komisaris. Namun lagi-lagi, harapan tersebut ibarat layu sebelum berkembang.

Ini disebabkan jabatan komisaris di BUMN, termasuk PLN, diberikan sebagai kompensasi politik untuk orang-orang dekat atau pendukung calon yang akhirnya menang dalam kontestasi pilpres.

Hal inilah yang membuat fungsi mengawasan internal tidak berjalan maksimal, sebab menurut Fathur, jajaran komisaris itu diisi oleh orang-orang yang belum tentu memahami fungsi dan kerja PT PLN.

“Kadang komisarisnya ngga ngerti, jangan-jangan titipan semua,” pungkas Fathur.

(Tim Investigasi)