“Membongkar Dugaan KKN dan Pelanggaran Kode Etik MK Di Balik Pencawapresan Gibran”
Law-Investigasi, Polemik menguar dari gedung Mahkamah Konstitusi. Sebuah putusan yang memuluskan laju Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres menuai protes. Posisi ayah Gibran, Joko Widodo sebagai Presiden RI dan Ketua MK Anwar Usman selaku pamannya, membuat plesetan MK sebagai Mahkamah Keluarga kembali mengemuka. Ada yang mengatakan ini adalah puncak KKN era Jokowi. Hal paling mengejutkan, jelang akhir, PDI Perjuangan selaku partai utama penopang Jokowi balik kanan, dia turut menghujat beleid ini. Masifnya perlawanan akankah membuat skenario Mahkamah Keluarga bubar jalan dan Gibran batal menjadi cawapres?
Sejarah telah ditorehkan, pada Senin (16/10/2023) Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Putusan ini pun mulai berlaku pada Pemilu 14 Februari 2024. “Sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya,” kata Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah saat membaca putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Mahkamah berpendapat, pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi menghalangi anak-anak muda untuk menjadi pemimpin negara.
“Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang inteloreable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden,” ujar Guntur.
Tampaknya jalan yang bakal ditempuh Gibran untuk menjadi Cawapres tidaklah mudah. Serangkaian perlawanan lantas meluncur. Meskipun sudah mengantongi putusan MK yang memuluskan langkahnya, namun sejumlah upaya untuk mendelegitimasi putusan tersebut terus berlangsung.
Sejatinya, putusan MK itu bersifat final and binding alias final dan mengikat. Bisa diartikan bahwa tidak ada upaya hukum lain untuk membatalkan putusan tersebut. Namun, sejumlah pakar hukum tata negara berpendapat lain.
Setidaknya ada 16 Guru Besar dan/atau Pengajar Hukum Tata Negara di antaranya :
- Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
- Prof. Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum,C.M.C.
- Prof. Muchamad Ali Safaat, S.H, M.H.
- Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D
- Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.
- Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H.
- Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H.
- Dr. Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M.
- Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H, M.H.
- Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D.
- Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D.
- Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A.
- Beni Kurnia Illahi, S.H., M.H.
- Bivitri Susanti, S.H., LL.M.
- Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M.
- Warkhatun Najidah, S.H., M.H.
Mereka tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) dengan didampingi para Kuasa hukum dari YLBHI, PSHK, ICW, IM57 melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H. karena Dugaan Pelanggaran Etik Dan Perilaku Hakim Konsitusi kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Para pelapor melihat bahwa Anwar Usman terlibat konflik kepentingan (conflict of interest) pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 karena perkara terkait erat dengan relasi kekeluargaan Hakim Terlapor dengan pihak yang diuntungkan atas dikabulkannya permohonan, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan kemenakan Hakim Terlapor.
Para Pelapor juga melihat bahwa Rangkaian conflict of interest dan/atau pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim oleh Hakim Terlapor bahkan telah dimulai sebelum putusan dibacakan yaitu tatkala memberikan komentar dengan nuansa mendukung putusan dalam “Kuliah Umum bersama Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H.” pada tanggal 9 September 2023 yang tayang di kanal Youtube Universitas Islam Sultan Agung.
Ahli Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak sah.
Menurutnya, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu tidak sah karena dinilai sarat dengan kecacatan konstitusional yang mendasar. “Putusan (perkara nomor) 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,” kata Denny, Rabu (18/10/2023).
Selain itu, Denny juga menilai ada benturan kepentingan yang nyata. Dia menunjuk Ketua MK Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka, yang pada saat putusan dibacakan telah diwacanakan bakal jadi cawapres Prabowo Subianto.
Denny menjelaskan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, “seorang hakim… wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.”
“Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah putusan dinyatakan tidak sah,” tegas Denny.
Selain UU Kekuasaan Kehakiman, kata Denny, hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf b, yang berbunyi: “Hakim konstitusi… harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara… karena alasan-alasan di bawah ini: b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”.
Dengan begitu, keputusan itu dapat disimpulkan bahwa tidak mundurnya seorang hakim konstitusi dari suatu perkara ketika ada benturan kepentingan yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya adalah tidak sah. “Pandangan dan pendapat saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan putusan (perkara nomor) 90 seharusnya tidak diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka,” tegas dia.
Selain pelanggaran benturan kepentingan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga dinilai mempunyai cacat konstitusional lain. Salah satunya terkait legal standing pemohon “Pemohonnya sebenarnya tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan wajarnya dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan baik dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan juga oleh Direktur Eksekutif PEPS Anthony Budiawan, dia menilai putusan MK ini merupakan manifesasi paling nyata dari krisis konstitusi yang dialami bangsa ini. “Kita menyayangkan putusan ini. Sehingga, ini seolah membuktikan adanya mahkamah keluarga di MK. Istilah ini sebenarnya sudah ada duluan sebelum diputus karena masyarakat sudah menduga bahwa ini akan dikabulkan. Ternyata benar ‘kan?” Ujar Anthony.
Anthony menegaskan, pihaknya dan dia juga yakin oposisi lain sebetulnya mendukung kalau ada anak muda yang bisa menjadi pemimpin nasional. Toh, hari ini juga ada anak muda menjadi pemimpin sebagai bupati dan sebagainya. “Kita semuanya pasti mendukung lahirnya pemimpin muda. Tetapi, sebaiknya diikuti berdasarkan peraturan. Jangan lantas mengubah peraturan itu kepentingan pribadi,” katanya.
Dia juga menilai bahwa ada putusan MK ini berbau KKN. “Adanya relasi antara Ketua MK dengan Gibran dan Jokowi, merupakan bukti nyata adanya nepotisme. Sementara untuk kolusinya kan bisa merujuk apda pengakuan Hakim Konstitusi tentang bagaimana ketua MK turut cawe-cawe agar peutusan ini bisa gol,” katanya.
(R. Simangunsong)