Law-Investigasi, Senada, pakar hukum tata negara, Feri Amsari juga menitikberatkan muatan konflik kepentingan di balik putusan soal batas usia presiden dan capres. Ia berkata bahwa argumentasi legal yang dibangun dalam putusan MK bisa diperdebatkan dan berpotensi membatalkan putusan gugutan. Ia merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam beleid itu, nepotisme adalah tindakan penyelenggara negara menyalahkan wewenangnya untuk kepentingan keluarga dan kroninnya.
“MK setelah memutus legal ya putusannya. Tapi apakah putusan itu punya argumentasi legal, tunggu dulu. Kita ketahui bahwa perkara ini ada aspek nepotismenya-konflik kepentingannya,” kata Feri saat ditemui, Kamis (26/10/2023).
Lalu dari UU Kehakiman, katanya, Anwar Usman tidak boleh menyidangkan perkara yang berkaitan dengan keluarganya, baik secara relasi vertikal maupun horizontal. Semestinya ada tanggung jawab Anwar berdasar regulasi untuk mundur.
“Yang menjadi salah satu pemohon adalah partai yang ketuanya adik Gibran. Lalu dia sendiri adalah paman Gibran. Dan penggugatnya adalah fans Gibran. Dan termohon DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU adalah pemerintah dari ayahnya Gibran. Jadi relasi kekeluargaan sangat tinggi yang harusnya dihindari hakim,” ucapnya.
Sehingga, ia mengungkapkan putusan MK ini tidak bisa dianggap putusan yang wajar karena mengabaikan nilai-nilai kemerdekaan kekuasan kehakiman. Lain itu, katanya, MK seharusnya mengetahui bahwa perubahan dalam UU Pemilu tidak bisa berdasarkan putusan di MK. “Tapi diputus oleh pembuat UU. Dan jelas pasal 6 UUD 45 bahwa syarat-syarat menjadi calon presiden diatur lebih lanjut oleh UU. Artinya ini open legal policy. Aneh kalau kemudian MK lupa putusan-putusan terdahulu. Jadi putusan ini janggal, bermasalah dan cacat hukum,” kata dia.
Putusan ini janggal lantaran hanya menguntungkan satu orang saja, meski menyebutkan kepala daerah yang berpengalaman dapat maju kontestasi pilpres. Feri lantas mewanti-wanti Anwar Usman tidak hanya bisa dilapor karena pelanggaran etik, melainkan juga secara pidana.
Etik itu tidak selalu melanggar hukum. Tetapi sesuatu yang tindak pidana dipastikan langgar etik. Karena etik, ada code of conduct hakim MK, berdasarkan itu hakim yang mengabaikan nilai-nilai relasi kekeluargaan itu melanggar etik terang benderang. Untuk aspek pidana, dibutukan bukti permulaan dan kalau ada 2 alat bukti yang cukup berarti bisa ditindalanjuti untuk penyelidikan.
“Ada penyelanggara negara yaitu Anwar Usman menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan putusan yang menguntungkan keluarganya, yaitu Gibran. Itu sudah cukup untuk dilaporkan ke KPK,” ia menambahkan.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddique mengatakan rapat tersebut harus dilaksanakan secepatnya karena isu yang diangkat serius. “Ini juga untuk memastikan respons yang cepat karena isu ini isu yang berat, isu serius dan sangat terkait dengan jadwal waktu pendaftaran capres dan jadwal waktu verifikasi oleh KPU dan penetapan final dari pasangan capres. Sedangkan di materi laporan ada yang menuntut supaya putusan MK dibatalkan,” kata Jimly.
Dia juga menguraikan potensi adanya perubahan putusan batas usia capres-cawapres yang juga menjadi tuntutan pelapor. Ia mengatakan semua pembuktian akan diteliti lebih lanjut. “Jadi sidangnya itu mulai Selasa (31/10/2023). Dia (pelapor) buktikan dulu bahwa pendapat dia benar, nanti argumennya apa. Yakin bisa dibatalin itu gimana? Apa alasannya? Nanti dicari dulu,” kata Jimly kepada wartawan di gedung MK, Kamis (26/10/2023).
Menurutnya, para pelapor dapat membawa ahli dalam sidang atas dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi itu. Selain itu, para anggota MKMK akan mendengar argumentasi dari para saksi. “Jadi si pemohon itu bisa bawa ahli. Cari ahli yang paling ahli. Silakan. Terus saksi juga, nanti argumennya kita dengar, kenapa dia minta begitu,”ungkapnya.
Lantas wacana politik dinasti pun semakin meruncing. Analis politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubeidillah Badrun berpandangan bahwa didapuknya Gibran Rakabuming sebagai cawapres Prabowo Subianto berkat putusan gugatan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penyempurnaan dari politik dinasti yang dirancang Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan tahun ini.
Dinasti politik Jokowi kini terbangun paripurna setelah sempat hanya menancapkan kekuasannya di level daerah melalui menantunya Bobby Nasution selaku Wali Kota Medan dan Gibran sebagai Wali Kota Solo. Dinasti politik semakin kentara seusai di level yudikatif, ada Anwar Usman sebagai Hakim MK yang dilantik pada Maret 2023 dan di level elite politik, bertengger anak bungsu Jokowi Kaesang—yang secara instan menjadi Ketua Umum PSI.
Awal karier Gibran sendiri tidak terlepas dari polemik. Saat ia hendak maju jadi orang nomor satu di Solo, PDI-P dihadapkan pada dinamika politik yang cukup pelik. Sebab akar rumput partai banteng di Solo tidak menaruh dukungannya kepada Gibran. Namun, dengan restu Megawati, putra sulung Jokowi itu bisa melenggang mulus ke kursi walikota.
Celakanya, Prabowo yang meminang Gibran justru tidak mempermasalahkan isu dinasti politik Jokowi. Orang-orang di sekeliling Ketum Gerindra itu pun satu suara menepis realitas dinasti politik. “Kita sedang memasuki suatu episode demoralisasi politik karena itu dipertontonkan oleh elite politik. Pertimbangan-pertimbangan moral, kepatutan publik, itu mulai secara vulgar diabaikan. Saya ingin katakan bahwa Jokowi adalah dinasti politik yang dalam makna negatif,” kata Ubeid saat ditemui, Rabu (25/10/2023).
Sedangkan, Kaesang lebih canggih lagi, karena hanya selang beberapa hari mendapat kartu anggota partai, ia ditunjuk sebagai ketum partai berlogo mawar merah itu. Kata Ubeid, posisi politik itu justru melabrak seluruh aturan internal partai yang mewajibkan kandidat ketum mesti melalui proses kaderisasi yang panjang. “Saya harus katakan anak-anak Jokowi ini masuk ke ranah politik itu merusak dan mengabaikan aturan secara prosedural, de jure, dan sekaligus secara etik,” katanya.
Ia mewanti-wanti jika politik hari ini dikuasai oleh segelintir elite dan dinasti politik yang dibangun Jokowi, maka lambat-laun bakal merusak tatanan demokrasi. Proses demokrasi di partai politik yang terkenal memiliki kultur atau tradisi panjang dalam hal kaderisasi bakal digerus sepenuhnya. “Karena konsolidasi demokrasi, proses kualitatif konsolidasi demokrasi itu menjadi terputus oleh dinasti politik. Kemudian proses kaderisasi atau perekrutan di-by pass,” ujarnya.
Adapun implikasinya bagi publik adalah menciptakan ruang demokrasi yang semu. Demokrasi yang sejatinya untuk keadilan, justru bakal terjadi sebaliknya. Bahwa politik dapat menanggalkan demokrasi demi meraih kekuasaan.
“Logika berpikir publik dikonstruksi oleh narasi-narasi mereka yang permisif terhadap kepatutuan publik dalam berpolitik. Bahwa itu semua boleh dilakukan. Akhirnya kita jadi bangsa yang permisif dan rapuh secara idealisme moral politik,” tuturnya.
Ubeid menitikberatkan politik dinasti yang dirangkai Jokowi memiliki motif kepentingan. Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa Jokowi memiliki hasrat dinasti atau hasrat berkuasanya sanggat tinggi sebelum akhirnya seolah menimbulkan konflik dengan Megawati. “Misalnya, isu tentang 3 periode. Itu dimunculkan oleh menteri kesayangan Jokowi. Ada Bahlil, Luhut, Zulhas dan Airlangga. Dari situ tanda bahwa itu adalah narasi Jokowi untuk kepentingan Jokowi. Setelah 3 periode ditolak, kemudian muncul penundaan pemilu, tapi ditolak juga dan sekarang berujung di perkara MK ini,” katanya.
“Jokowi sekarang sedang menikmati dinasti politik. Kalau ini benar-benar natural, ini genderang perang terhadap Megawati,” imbuhnya.
Ia juga mengatakan motif lain Jokowi mencoba langgengkan dinasti politiknya demi mengamankan diri dari jeratan hukum. Jokowi dinilai takut akan terbongkar perkara hukumnya semasa menjabat presiden dua periode. “Kedua, karena mereka menikmati kekuasaan sebagai cara untuk memperkaya,” ucapnya.
(R. Simangunsong)