Low-Investigasi, Proyek digitalisasi pendidikan yang diramu dengan karya anak bangsa, sekilas tampak proyek yang ideal demi kemajuan generasi emas. Pengadaan laptop yang digadang-gadang harus dikerjakan anak bangsa dengan komponen dalam negeri, mestinya akan menjadi mercusuar industri teknologi informatika nasional. Sayangnya, ternyata itu hanya modus untuk menggangsir dana pendidikan.
Dugaan rasuah dalam proyek tersebut kini tengah digarap oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Penanganan perkara kasus dugaan korupsi laptop senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di era Menteri Nadiem Makarim ini telah ditingkatkan ke level penyidikan.
Dalam proyek yang dinamakan digitalisasi pendidikan ini, pemerintah melalui Kementerian mengadakan laptop untuk siswa. Kasus itu terjadi pada rentang waktu 2019-2023. Adapun tim penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengungkapkan harga satuan laptop itu cuma Rp 5 sampai 7 juta per unit. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, tim penyidikan menemukan adanya penggelembungan nilai Rp 10 juta lebih setiap unitnya.
Kata Harli, dalam penganggaran chromebook itu, pun bermasalah karena didapati program digitalisasi pendidikan oleh kementerian itu total Rp 9,9 triliun. Termasuk di dalamnya untuk pengadaan laptop chromebook tersebut. Adapun sumber anggaran itu Rp 3,82 triliun dari DSP dan Rp 6,39 triliun yang bersumber dari DAK yang semestinya menjadi pintu keuangan pemerintah pusat ke pemerintah level daerah.
“Ini yang jadi masalah karena ada konflik kepentingan dengan penyedia atau vendor sejak awal sehingga dana-dana itu gampang sekali keluar,” kata Harli.
Harli bilang bahwa penentuan vendor itu menjadi pangkal utama tindak pidana korupsi dalam program dan pengadaan laptop ini. Sebab, ada kesepakatan-kesepakatan yang sengaja dilakukan untuk mengarahkan dan menguntungkan segelintir orang. Adapun penyidik, kata Harli, memeriksa sedikitnya lima vendor yang menjadi penyedia dalam proyek ini. Ini terlepas dari puluhan saksi yang sudah diperiksa, termasuk tiga mantan staf ahli mantan Menteri Kemendikbud, Nadiem Makarim.
“Yang pasti kami bakal melacak siapa pemegang kekuasaan dan kemana aliran dana itu mengalir,” ujar Harli.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengakui baru mengetahui pengadaan Chromebook di 2023 tersebut setelah selesai dibelanjakan. Menurutnya, ia hanya bisa menerima laporan dari Nadiem dan anak buahnya karena tak bisa mengintervensi proses penganggaran di pejabat tingkat III. “Jadi, BPK yang melakukan pemeriksaan, jadi walaupun kami melakukan pengawasan itu berbasis LHP dari BPK,” kata Ledia ketika dikonfirmasi, Kamis (05/06/2025).
Ledia menuturkan bila ia bersama anggota Komisi X lainnya mengkritik program kerja dari Nadiem karena dinilai tidak efisien. Dalam kasus ini, pengadaan laptop Chromebook hanya bisa diakses di area yang memiliki sinyal baik. Sementara menurutnya akses internet di luar Pulau Jawa yang masih tidak lancar, ditambah akses infrastruktur dan peralatan mengajar para guru yang masih belum memadai.
“Apa sih sebenarnya yang lebih tepat untuk sekolah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)? Apakah harus dengan teknologi tinggi? Kalau tidak tersupport listrik (memadai), itu alat rusak. Kalau yang mati lampu –mati-nyala, mati-nyala– itu kan akhirnya rusak alat juga,” ungkapnya.
Untuk itu, Politisi PKS tersebut meminta Kementerian Pendidikan Dasar Menengah untuk lebih memprioritaskan renovasi sekolah. Ia meminta tidak perlu ada pemaksaan penggunakan teknologi jika kemampuan fiskal negara dan tenaga pengajar yang ada belum mumpuni.
“Jangan dipaksakan, jadi mana yang prioritas dulu, itu harus disiapin dulu,” ungkapnya.
Selain itu, Ledia juga menyebut bila ia pernah memberikan sejumlah catatan terkait pengadaan laptop Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ledia menuturkan bila Komisi X DPR tak membahas anggaran hingga satuan tiga dengan kementerian atau lembaga mitra. Untuk pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tersebut, kata Ledia, DPR hanya menyetujui anggaran secara gelondongan, tidak sampai pada pembahasan ihwal jenis maupun spesifikasi barang.
“Tentang selisih harga, karena Komisi X tidak sampai spesifikasi dan harga satuan maka kami juga tidak tahu persis,” tuturnya.
Melacak Jejak Opung dan Nadiem
Sayup-sayup nama mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim berhembus di antara berita tentang rasuah ini. Sebagai pucuk pimpinan, founder aplikasi ojek online Go-Jek ini tak bisa berlepas dari skandal bernilai triliunan rupiah ini. Jaksa Agung didesak untuk melakukan pemeriksaan terhadap Nadiem. Pengamat Hukum Azmi Syahputra menyatakan sangat perlu bagi Kejaksaan Agung untuk segera memeriksa Nadiem Makarim supaya kasus ini tidak menjadi bola liar di publik.
“Ya untuk Nadiem, harus dilakukan pemanggilan segera guna meminta pertanggungjawaban hukum tanpa pengecualian agar tidak disangka publik ada tebang pilih dalam dugaan kasus ini,” kata Azmi ketika dikonfirmasi, Jumat (06/06/2025).
Azmi menjelaskan, jika Nadiem tak memenuhi panggilan penyidik nantinya, jajaran Jampidsus dapat menempuh langkah-langkah hukum terukur lebih lanjut, termasuk memanggil jemput paksa. Sebab pemeriksaan terhadap saksi maupun tersangka harus dilakukan sesuai mekanisme dan prosedur hukum agar prosesnya adil dan transparan.
Lebih lanjut, ia mengatakan prinsip supremasi hukum harus dijaga oleh Kejagung agar kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum tidak tergerus. Oleh karenanya, pengusutan kasus dugaan korupsi itu tak perlu menunggu perintah Presiden Prabowo Subianto.
Sementara itu, dugaan adanya campur tangan mantan Menko marves Luhut Binsar Panjaitan dalam kasus ini, diungkap oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Dewi Anggraini. Dari temuan ICW, setidaknya ada enam korporasi yang terlibat proyek. Mereka adalah: PT Zyrexindo Mandiri Buana, PT Acer Indonesia, PT Bangga Teknologi Indonesia, PT Evercross Technology Indonesia, PT Tera Data Indonusa dan PT Supertone.
Untuk nama yang pertama disebut diduga terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan yang kini menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional. “Kalau bicara Luhut seperti bicara perusahaan energi Luhut yang diajak kerjasama oleh Kementerian ESDM. Tapi saat itu belum terlacak nama Luhut. Bicara soal potensi konflik kepentingan itu pasti. Bisa saja dugaan adanya pertukaran informasi bawah meja sehingga bisa memilih Zyrex yang mana salah satu pemiliknya Luhut,” ujar Dewi.
Luhut sendiri sebenarnya sudah terekam namanya dalam proyek ini, saat dia dengan gencar mempromosikan proyek pengembangan laptop lokal. Dia juga menyatakan pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 17 triliun untuk pengembangan laptop lokal kemudian disebut laptop merah putih dan produk teknologi informasi lokal lainnya hingga 2024. Hal itu disampaikan saat dia masih menjabat Menteri Koordinator Maritim dan Investasi pada 22 Juli 2021. Bahkan, saat itu mantan anggota DPR Komisi III Djoko Edhi Abdurahman sempat menuding LBP ada konflik kepentingan karena telah mengakuisisi saham Zyrex.
Tudingan ini lantas dibantah pihak Kemaritiman dan Investasi melalui Jodi Mahardi. “Terkait tuduhan Saudara Djoko Edhi Abdurahman bahwa Pak Luhut membeli saham Zyrex 51 persen dan mengaitkannya dengan program laptop dalam negeri Kemendikbud, kami mohon Saudara Djoko dapat segera memberikan bukti sebagai back up tuduhannya,” kata Juru bicara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi, Sabtu, (7/8/2021) silam.
Menurut Jodi, tuduhan tersebut adalah fitnah dan hal itu sudah menyebar luas di sosial media. Dia menyatakan Kemenko Maritim menunggu penjelasan segera dari mantan anggota DPR Komisi III itu.
Kembali ke kasus yang kini tengah ditangani penyidik Jampidsus ini, Dewi menambahkan, potensi korupsi bisa terjadi lantaran spesifikasi perangkat hanya untuk satu sistem operasi, alih-alih membuka sistem operasi lain. Spesifikasi laptop dengan mekanisme TKDN dan OS Chromebook ini semakin membuat penyedia yang ada menjadi tersisih menjadi segelintir. Bahkan juga mungkin ada intervensi soal pemilihan OS,” kata Dewi kepada Law-Investigasi, Rabu (4/6/2025).
Padahal, uji coba terkait sistem operasi Chromebook ini dinilai tidak tepat dengan akses internet yang ada di seluruh Indonesia. Sebab, sistem OS ini mengharuskan akses internet dalam operasional perangkatnya.
“Jadi kenapa harus memaksakan OS itu, kenapa tidak memasukkan OS lain yang lebih kompatibel,” ujar Dewi.
Lain itu, proyek ini dianggap janggal karena Kemendikbudristek tidak memiliki rencana pengadaan laptop sejak awal. Anggaran triliunan yang keluar tanpa melalui proses perencanaan dan uji kepatutan. “Kami cari dan tanya juga (ke Kemendikbudreistek) ada atau tidak rencana pengadaan laptop. Kami juga tidak bisa temukan rencana pengadaan terkait laptop di sumber terbuka pengadaan. Tapi programnya tetap dijalankan,” kata Dewi.
Pengadaan, termasuk dengan mekanisme e-katalog, wajib diumumkan dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Namun, perencanaan pengadaan perangkat TIK oleh Kemendikbud ristek yang saat ini disebut telah berjalan belum terdapat dalam SiRUP. Dalam SiRUP LKPP, untuk tahun anggaran 2021 yang direncanakan oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Kemendikbud ristek hanya ada 4 rencana pengadaan laptop dengan metode e-purchasing. Total anggaran dari 4 rencana pengadaan laptop sebesar Rp 1.442.000.000,-23. Tidak ditemukan rencana pengadaan laptop untuk 12.674 sekolah dengan alokasi APBN 2021 sebesar Rp 1,3 triliun.
Padahal, kata Dewi, dana yang dikeluarkan tidak sedikit dan mengunakan Dana Alokasi Khusus dan Dana Satuan Pendidikan. Terdapat tiga catatan mengenai regulasi yang mendasari pengadaan laptop Rp 3,7 triliun ini perlu dicermati lebih jauh. Pertama, pengadaan laptop yang juga bersumber dari DAK fisik berpotensi menyalahi Perpres No. 123 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik dan Permendikbud No. 5 tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional DAK Fisik Reguler Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021.
Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo, juga sepakat soal pengusutan kasus yang membutuhkan waktu tidak segera. Terlebih KPK pernah melempar wacana akan memeriksa kasus ini pada periode 2021 dan 2022, tapi gagal. Menurutnya, KPK tidak bisa melanjutkan penyelidikan jika belum menemukan dua alat bukti permulaan. “Intinya kasus ini penting dibongkar sampai ke aktor utamanya. Penyidikan yang dilakukan Kejagung bisa menjadi pemantik bagi KPK membongkar kasus besar di kementerian,” ujar Yudi kepada Law-Investigasi, Jumat (6/5/2025).
Adapun terkait isu bahwa Jokowi mengetahui kasus tersebut, tapi memilih tidak mengusutnya dengan dalih tidak ingin menimbulkan kekisruhan, Azmi mengatakan hal itu dapat menjadi klaim yang sangat serius. Atas klaim itu, ia mengatakan perlunya dukungan bukti yang kuat.
“Dalam sistem hukum Indonesia, penegakan hukum harus bebas dari intervensi politik agar tidak menimbulkan preseden buruk atau sembarangan menuduh sesuatu,” ujarnya.
Kami sudah mencoba menghubungi Nadiem dan stafnya melalui pesan elektronik, namun tak kunjung berbalas.
(Vhe/Rey)