Membongkar Jejak Auditor Negara di Kasus Agensi Iklan BJB

Membongkar Jejak Auditor Negara di Kasus Agensi Iklan BJB

Duit Promosi Bank BJB Senilai Rp820.615.975.948,00 Rawan Jadi Bancakan

Law-Investigasi – Lagi-lagi dugaan korupsi membelit Bank BJB. Tak main-main, ratusan miliar duit promosi BPD terbesar di Indonesia ini ditengarai jadi bahan bancakan. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan lebih dari separuh dana tersebut tidak jelas peruntukannya. Tak mau kalah set, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun segera melakukan penyelidikan. Uniknya, dari penyelidikan KPK justru muncul dugaan adanya campur tangan eks Anggota BPK dalam kasus ini. Auditor negara ini mengintervensi proses penyusunan hasil audit, sehingga hasil audit menjadi ‘lebih lunak dan aman’.

Terdapat paradoks dalam penanganan kasus ini. Sebab, meskipun diduga menyenggol salah satu anggota BPK, ternyata kasus dugaan korupsi justru datang dari Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam laporan hasil pemeriksaan Nomor: 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 Tanggal: 06 Maret 2024, terdapat sejumlah temuan auditor negara dalam kegiatan operasional Bank BJB tahun 2021-2023.

Auditor membagi temuan tersebut dalam tiga aspek. Aspek kredit, aspek dana pihak ketiga dan aspek beban. Di aspek kredit, terdapat 19 temuan. Aspek pihak ketiga disebutkan hanya ada satu temuan. Sementara, aspek beban ada empat temuan. Di aspek beban terdapat poin Mekanisme Pengadaan Jasa Agensi Belum Menjamin Terciptanya Harga yang Paling Menguntungkan bank bjb. Temuan ini rupanya menarik minat Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bank BJB pada Tahun 2021, 2022 dan Semester 1 2023 telah merealisasikan Beban Promosi sesuai Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten seluruhnya sebesar Rp1.159.546.184.272,00. Realisasi tersebut antara lain berupa Beban Promosi Umum dan Produk bank sebesar Rp820.615.975.948,00.

Dari realisasi beban promosi umum dan produk bank tersebut, diantaranya sebesar Rp801.534.054.232,00 dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec). Pemeriksaan secara uji petik dilaksanakan secara terbatas atas biaya penayangan iklan di media televisi, media cetak dan media online melalui kerjasama dengan enam agensi seluruhnya sebesar Rp341.889.544.020,00.

KPK disebut-sebut fokus pada penggunaan dana Rp341.889.544.020,00. yang disalurkan melalui agensi. Memang terdapat sejumlah kejanggalan dalam laporan audit BPK ini. Sebab, audit menggunakann sub judul Mekanisme Pengadaan Jasa Agensi Belum Menjamin Terciptanya Harga yang Paling Menguntungkan bank bjb dalam laporannya. Padahal, di dalam laporan justru sangat kuat terekam indikasi adanya kerugian negara dan pelanggaran terhadap aturan pengadaan.

Bahkan, dalam laporan yang sama, secara eksplisit disebutkan, sudah berulang kali auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta dokumen bukti bayar penayangan iklan dari agensi iklan ke manajemen Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), tapi tak kunjung dipenuhi. Hasil nihil juga didapati auditor negara saat meminta bukti kepada agensi.

KPK Ungkap Peran eks Anggota BPK: Poles Laporan

Pengusutan kasus korupsi ini berawal dari laporan yang diterima KPK pada Juli 2024. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan periode anggaran yang diduga menjadi lahan bancakan terjadi sejak 2021 hingga semester awal 2023. Anggaran yang dimaksud adalah dana iklan BJB untuk promosi di sejumlah media massa. Bank pelat merah itu menggunakan jasa agensi sebagai perantara pemasangan iklan di media. Pihak bank mematok sekian anggaran, tetapi dalam praktiknya diduga ada patgulipat antara BJB dan agensi untuk menggelembungkan harga. “(Kasus) BJB ini sedang ngantri (ke proses penyidikan) dan sudah beres penyelidikan,” kata Asep kepada Law-investigasi.

Meski belum masuk penyidikan, KPK disebut-sebut sudah mengantongi sejumlah calon tersangka. Satu di antaranya mengarah kepada nama Ahmadi Noor Supit. Dia adalah Anggota V BPK yang dilantik pada Oktober 2022, menggantikan Harry Azhar. Ahmadi memasuki masa pensiun pada 2024 dan melepas jabatannya per Agustus 2024. Sama dengan Harry, sebelum menjabat pimpinan BPK, Ahmadi tercatat sebagai anggota DPR dari Partai Golkar. Berdasarkan informasi yang diterima, KPK telah dua kali memanggil Supit sebagai saksi di tigkat penyelidikan. Namun, Supit diketahui tak pernah menunjukkan batang hidungnya ke KPK.

Ahmadi diduga melakukan intervensi kepada auditor BPK Perwakilan Jawa Barat agar temuan penyimpangan tidak berisiko bagi manajemen BJB. Hasil audit sebenarnya diarahkan untuk tidak seluruhnya dimunculkan sehingga menguntungkan bagi pihak yang menyimpangkan angggaran.

“Kenapa BPK? Kan BPK itu mengaudit kementetian/lembaga negara dan bank BUMN/BUMD. Jadi, saat audit itu lah (diduga memoles isi laporan),” ujar Asep.

Terkait dengan dugaan keterlibatan mantan Anggota BPK RI Ahmad Noor Supit, Law-Investigasi telah mencoba menghubungi yang bersangkutan terkait hal tersebut. Namun hingga saat ini, Ahmad Noor Supit belum memberikan tanggapan terkait hal tersebut.

Bongkar Modus Gangsir Duit Iklan via Agensi

Modus dugaan gangsir duit promosi dan iklan melalui agensi ini sebenarnya telah terang benderang disebutkan dalam laporan BPK, meskipun kemudian dalam judul dan isinya tidak disebutkan frasa kerugian negara dan pelanggaran hukum. Dalam laporan bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024, diungkap potensi aliran dana dengan nilai mencapai Rp260 miliar yang tidak jelas. Hasil itu didapat auditor negara melalui serangkaian investigasi dan uji petik.

Pihak BJB dan enam agensi iklan memilih tertutup tutup mulut kepada auditor tentang besaran uang yang dibayar ke media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).

Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa. Laporan BPK menyebutkan sebanyak Rp 341,88 miliar telah digelontorkan kepada enam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.

Tabel 3.6 Laporan Hasil Pemeriksaan Nomor: 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 Tanggal: 06 Maret 2024.

Namun, dalam perjanjian kerjasama, agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti pembayaran kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi kepada bank. Hal ini yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga. Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.

Semisal iklan di TV saja, terdapat 17 media arus utama yang dipasang iklan BJB. Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta. Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar. Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.

Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk belasan TV sebesar Rp37,93 dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar. Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’. Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh akses transaksi dari agensi yang membayar jasa iklan ke media. Para agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan.

“Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” petik laporan BPK.

Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaanjuga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1% yang diatur dalam kontrak dengan BJB. Pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan ini, pun mengatakan, perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.

Lain itu, jumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media. Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu, yang sebenarnya tidak tercantum dalam proposal agensi ke BJB.

“Hubungan kerjasama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” petik laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.

Masih dalam pengkondisian iklan di TV, pihak BJB ternyata tidak mewajibkan penawaran harga pasang iklan yang dipatok media. Sehingga bank mengeluarkan estimasi anggaran semaksimal mungkin, alih-alih menekan anggaran demi efisiensi keuangan di sektor bisnis lain.

Promosi di media online pun tak kalah gelap transparansinya. Pihak PT BSCA disebut BPK mengalihkan kerja promosi iklan ke PT WSBE tanpa pemberitahuan ke BJB. Padahal, kedua perusahaan sudah mendapat dana promosi iklan sebesar Rp50 miliar lebih. Akibat pengalihan kerja tanpa izin ini, BPK melaporkan bahwa anggaran menjadi sia-sia lantaran panjanganya rantai jasa iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sementara itu, BJB sudah membayar jasa agensi ke PT BSCA sebesar Rp29,86 miliar.

“Potensi pemborosan atas pekerjaan penayangan iklan media online yang dialihkan PT BSCA ke PT WSBE,” petik laporan BPK.

Dalam lingkup iklan yang melibatkan institusi berpusat di Bandung, Jawa Barat, sejumlah PT di atas kerap menang proyek promosi. Semisal PT AM yang mendapat proyek iklan media online dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung pada 2023. Proyek iklan medium serupa didapat juga PT CKM. Perusahaan yang terdaftar di Bandung ini menang proyek senilai Rp200 juta. Juga, PT WSBE yang mendapat proyek iklan media online dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai pagu Rp505 juta. Semua proyek yang dimenangkan itu melalui mekanisme pengadaan langsung atau tanpa tender.

Untuk dua perusahaan terakhir yang disebut tidak asing dalam industri media massa di Bandung dan Jawa Barat. Media bernama Jabar Ekspres (dulu Bandung Ekspres) di bawah naungan PT WSBE. Sedangkan PT CKM dimiliki oleh Ikin Asikin Dulmatin, yang merupakan pimpinan PT Ayo Media Network. Anak Ikin juga pemilik saham PT AM yang dalam proyek iklan dari BJB ini mendapat anggara Rp88,75 miliar. Afiliasi perusahaan juga terlihat antara PT CKMB dan PT CKSB. Saham dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta ini dipegang oleh satu orang.

Tabel 3.59 Laporan Hasil Pemeriksaan Nomor: 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 Tanggal: 06 Maret 2024.

Keterlibatan auditor dan Anggota BPK dalam sejumlah dugaan korupsi sangat memprihatinkan. Sebagai benteng penjaga keuanga negara yang diharapkan mampu menjga pundi-pundi negara, justru menyembunyikan hasil temuannya dan memoles menjadi laporan yang `baik-baik` saja. Kisah jual-beli status pemeriksaan semestinya menjadi fokus dari penegak hukum, terutama KPK.

Persoalannya, penegak hukum pun tampaknya ada ewuh-pekewuh dengan BPK. Mungkin saja karena risih juga, sebab BPK pun mengerti isi dapur penegak hukum. Sebab, penegak hukum pun merupakan obyek pemeriksaan BPK. Namun, dalam kasus dugaan korupsi di BJB ini, ternyata tampak jejak auditor-auditor yang masih memiliki integritas. Sehingga, dalam laporannya—meskipun menurut KPK diduga sudah dipoles, ternyata masih menunjukkan jejak-jejak yang signifikan untuk membongkar kasus dugaan korupsi di BJB.

Setidaknya terdapat 24 temuan dalam laporan audit BPK di Bank BJB. Sementara penegak hukum baru menindaklanjuti satu temuan saja. Mestinya, KPK melakukan asessmen terhadap temuan BPK tersebut. Dengan kewenangan koordinasinya, KPK bisa membagi penanganan dugaan korupsi ke penegak hukum lain. Apalagi, secara samar-samar disebut-sebut terdapat aliran dana dari Bank BJB ke sejumlah aktor politik. Bahkan dana yang dikelola oleh Sekper ini diduga digunakan sebagai `dana taktis` untuk menangani `faktor eksternal yang berkepentingan`.

(Remond)

Tinggalkan Balasan