Jakarta, LINews – Pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) yang langsung ditunjuk oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) menuai kontra di kalangan masyarakat. Ketiadaan peran aktif masyarakat dalam memilih pemimpin IKN menyebabkan enam orang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung mengajukan perkara yang menguji secara materiil UU IKN.
Sidang perdana Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (27/6/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri secara daring oleh para Pemohon. Para Pemohon, yakni M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi (Pemohon I); Hurriyah Ainaa Mardiyah (Pemohon II); Ackas Depry Aryando (Pemohon III); Rafi Muhammad (Pemohon IV); Dea Karisna (Pemohon V); dan Nanda Trisua Hardianto (Pemohon VI). Para Pemohon mendalilkan sebagian frasa dan kata dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon menguji Pasal 5 ayat (4) UU IKN, “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, di angkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR”. Juga Pasal 9 ayat (1) UU IKN, “Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditunjuk, diangkat, dan ditunjuk langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.”
Selain itu para Pemohon menguji Pasal 13 ayat (1) UU IKN, “Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, dan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPD.”
Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagai pribadi, kelompok, dan masyarakat atas berlakunya Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) UU IKN. Menurut para Pemohon pasal-pasal tersebut telah menciderai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa, menimbulkan kerugian nyata bagi para Pemohon khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang pada dasarnya memiliki hak politik, hak ikut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memilih/dipilih.
Menurut para Pemohon, penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat dan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Asas demokrasi menjamin semua warga negara memiliki hak yang setara untuk menentukan keputusan yang diambil dalam pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup masing-masing warga negara.
Para Pemohon beranggapan, masyarakat atau warga negara secara bebas harus dapat menentukan sendiri pilihan mereka terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang akan memimpin mereka dan berpartisipasi aktif baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan atas pengambilan kebijakan pemerintah. Dengan adanya Pasal 9 ayat (1) dalam UU IKN, hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri yang kemudian bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
“Keunikan dan kekhasan IKN Nusantara itu menurut tim pembentuk UU IKN dimaksudkan sebagai pemerintahan daerah khusus sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Namun bila ditelaah lebih lanjut bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan satuan pemerintahan daerah khusus yang dimaksud pembentuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Dalam Buku ke IV Jilid 2 Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, awalnya yang dimaksud dengan pemerintahan daerah khusus dan istimewa dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 adalah pemerintahan asli Indonesia. Pemerintahan asli Indonesia kemudian merujuk pada pendapat Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 dalam rapat besar yang berlangsung pada 15 Juli 1945,” ujar salah seorang Pemohon, M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut dan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (Red)