MK Tolak Pemisahan Ditjen Pajak dengan Kemenkeu

MK Tolak Pemisahan Ditjen Pajak dengan Kemenkeu

Jakarta, LINews – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pemisahan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Ditjen Pajak. Hal itu diputuskan atas permohonan yang diajukan oleh konsultan pajak, Sangap Tua Ritonga.

Sangap Tua Ritonga menguji Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU KN).

Menurut Pemohon, penempatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai subordinasi atau di bawah Kementerian Keuangan sebagaimana dimuat dalam norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU Kementerian Negara dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU KN, bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Pemohon, perlu dibentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kementerian Keuangan.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom, Kamis (1/2/2024).

Putusan itu dibacakan oleh 9 hakim konstitusi pada Rabu (31/1/2024). MK menyatakan pemisahan Ditjen Pajak dengan Kemenkeu menjadi kewenangan DPR.

“Hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 17 ayat (4) dan Pasal 23A UUD 1945, dan hal dimaksud, sewaktu- waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review,” ujar MK.

Terlebih, terkait dengan pembentukan kementerian negara serta ketentuan mengenai pajak yang diatur dalam undang- undang, justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan negara, in casu Presiden secara kelembagaan oleh DPR. Terlebih lagi, Mahkamah sebagai pengawal UUD 1945, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, serta tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan apalagi merupakan mandat dari rumusan norma pasal UUD 1945 maka, tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU 39/2008 dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU 17/2003 sebagaimana petitum Pemohon dalam permohonan a quo.

“Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan penempatan DJP sebagai subordinasi atau di bawah Kementerian Keuangan sebagaimana dimuat dalam norma Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU 39/2008 dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU 17/2003 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga adanya kepentingan untuk membentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kementerian Keuangan adalah tidak beralasan menurut hukum,” beber MK.

Lalu apa alasan Sangap Tua Ritonga meminta Ditjen Pajak dipisahkan dari Kemenkeu?

Sangap Tua Ritonga merujuk UUD 1945 telah secara tegas dibunyikan tentang nomenklatur Pajak (In Casu Pasal 23A) yang dipisah dari nomenklatur Keuangan (In Casu Pasal 23 UUD 1945). Menurut Sangap Tua Ritonga, Pasal 23A tersebut jelas dinyatakan ‘Pajak Bersifat Memaksa’, dan karena Nomenklatur Pajak terpisah dari Keuangan serta mengingat Pajak bersifat memaksa, maka sesuai Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan Pasal 7 Undang-undang Kementerian Negara, seharusnya ‘Pajak sebagai urusan tertentu’ dikelola setingkat Kementerian Negara.

“Namun karena dalam kenyataannya ‘terjadi penyelundupan hukum dan kekeliruan penafsiran hukum atas norma dalam Konstitusi’, sehingga Pajak hanya dibuat sebagai Subordinasi dari Kementerian Keuangan, dan secara keliru hanya dijadikan sebagai pelaksana tugas pokok setingkat Direktorat Jenderal Pajak yang berakibat rendahnya Tax Ratio Indonesia dibandingkan berbagai negara lain,” ucap Sangap menguraikan alasannya.

(Adrian)

Tinggalkan Balasan