Jakarta, LINews – Hasil sigi elektabilitas kandidat di Pilpres 2024 yang dirilis sejumlah lembaga cenderung bervariasi. Ganjar dan Prabowo bergantian unggul dan Anies tertinggal.
Ketua DPP Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi jengah saat ditanya mengenai tren lemahnya elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) di beragam survei yang dirilis lembaga-lembaga. Dengan ketus, ia menyebut lembaga-lembaga survei di Indonesia tak bisa dipercaya.
“Survei di Indonesia itu bukan seperti survei di Amerika Serikat. Survei di Amerika itu sangat independen dan dengan tingkat error-nya adalah hanya 1%. Kalau di Indonesia itu tidak jelas dan tidak independen,” kata Taufiqulhadi kepada pers belum lama ini.
Hingga pertengahan Oktober, semua lembaga survei “sepakat” menempatkan pasangan AMIN yang diusung NasDem, PKS, dan PKB sebagai pasangan dengan elektabilitas terendah di Pilpres 2024. Mayoritas survei menemukan elektabilitas pasangan itu di bawah 20%.
Namun demikian, survei teranyar Ipsos Public Affairs yang digelar pada 17-19 Oktober 2023 menemukan tingkat keterpilihan pasangan AMIN mencapai 28,91%. Dalam sigi lpsos, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD unggul dengan elektabilitas sebesar 31,98%, diekor Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan 31,32%.
Di papan survei sejumlah lembaga, dua kandidat teratas memang rutin bergantian unggul. Digelar pada periode 18-20 September 2023, LSI Denny JA, misalnya, mengunggulkan Prabowo dengan tingkat keterpilihan mencapai 34%, diikuti Ganjar 30,4%, dan Anies sebesar 22%.
Dalam survei teranyar yang digelar pada periode 16-18 Oktober, LSI Denny JA menjagokan pasangan Prabowo-Gibran dengan elektabilitas mencapai 35,9%. Pasangan Ganjar-Mahfud tertinggal cukup jauh dengan elektabilitas 26,1%, diekor Anies-Muhaimin dengan 19,6%.
Hasil survei berbeda juga ditunjukkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Poltracking. Survei Poltracking yang dirilis belum lama ini mengunggulkan Prabowo dengan elektabilitas hingga 38,9%. Ganjar mengekor dengan elektabilitas 37% dan Anies dengan elektabilitas 19,9%.
Adapun survei SMRC dalam bentuk simulasi tiga paslon yang digelar September lalu menjagokan Ganjar-Ridwan Kamil dengan raihan elektabilitas sebesar 35,4%. Pasangan itu diekor Prabowo-Erick Thohir dengan tingkat keterpilihan sebesar 31,7% dan Anies-Cak Imin dengan elektabilitas 16,5%.
Taufiqulhadi mengklaim elektabilitas pasangan AMIN jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei yang ditemukan SMRC dan kawan-kawan. Sebagai gambaran, ia mencontohkan kunjungan-kunjungan Anies di berbagai daerah yang selalu ramai didatangi warga.
“Itu (banyaknya orang yang datang) menunjukkan bahwa elektabilitas Anies tinggi… Survei di Indonesia itulah survei yang dibayar, survei masuk dari bagian perang opini. Jadi, demikian. Survei itu merubah opini orang, bukan ingin menunjukkan fakta,” kata dia.
Peneliti SMRC Saidiman Ahmad menganggap wajar jika hasil survei lembaganya sedikit berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya. Ia merinci sejumlah faktor yang memungkinkan hasil survei yang kontras antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.
Pertama, berbedanya periode survei. Kedua, metodologi dalam menggelar survei tak sama. Ketiga, margin of error atau batas galat. Selama elektabilitas paslon masih dalam batas galat, menurut Saidiman, sangat mungkin pemenang di survei satu lembaga berbeda dengan jawara di lembaga lain.
“Misalnya, margin of error-nya 3% dan sementara selisih antara satu lembaga dengan lembaga survei yang lain itu di bawah 3%. Itu artinya kan masih di dalam margin of error. Jadi, sebenarnya (hasil surveinya) itu tidak berbeda,” kata Saidiman.
Elektabilitas paslon, kata Saidiman, masih cenderung dinamis. Namun, jika dilihat dalam jangka dua tahun, terlihat ada pola pada elektabilitas tiga capres. Dalam sigi SMRC pada Mei 2021, Prabowo misalnya, punya elektabilitas hingga 34,1%. Pada sigi Agustus 2023, elektabilitas mantan Danjen Kopassus itu sebesar 33,6%.
“Sementara Anies Baswedan itu di dua tahun lalu elektabilitasnya 23,5%. Sekarang 20,4% di survei bulan Agustus lalu. Itu artinya suaranya juga stagnan sebenarnya. Tidak terlalu mengalami banyak perubahan. Sementara Ganjar Pranowo itu pada Mei 2021 itu 25,5%. Di survei awal Agustus sebesar 35,9%,” kata dia.
Berkaca pada pola itu, Saidiman berpendapat, Ganjar jadi kandidat yang potensial terus mengerek elektabitasnya. Pasalnya, Ganjar baru sekali ikut pilpres. Berbeda dengan Prabowo yang sudah ikut tiga kali kontestasi pilpres. Artinya, tingkat pengetahuan publik pada Prabowo sudah hampir 100%.
“Jadi, kalau dia (Ganjar) semakin diketahui banyak oleh publik, kemungkinan untuk menaikkan elektabilitas itu jauh lebih besar dibandingkan Prabowo. Prabowo tidak bisa lagi meningkatkan keterkenalannya karena sudah mentok,” ujar dia.
Permainan sampel
Direktur Eksekutif Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menyebut tak ada lembaga survei yang lepas dari konflik kepentingan saat ini. Pasalnya, mayoritas lembaga survei tidak punya kemandirian untuk menggelar riset sendiri. Sebagian survei masih didanai oleh klien-klien politik.
“Mereka diperbolehkan mengambil sumber dananya itu dari kontestan pemilu baik itu partai ataupun calon presiden. Realitanya, kita bisa katakan bahwa lembaga survei ini saat ini tidak ada yang terlepas dari konflik kepentingan,” kata Achmad.
Achmad menilai hasil-hasil survei yang dirilis juga kini semakin sulit dipercaya publik lantaran banyak lembaga survei yang nyambi sebagai konsultan politik para kandidat. Walhasil, hasil survei lembaga semacam itu kerap didesain untuk menggiring opini publik. “Agar opini dari masyarakat itu terbentuk untuk memilih kandidat tertentu,” imbuhnya.
Ia merinci sejumlah cara yang bisa dilakukan lembaga survei untuk mendongkrak elektabilitas kandidat di papan survei. Salah satunya dengan merekayasa sampel responden. Dalam sampel, proporsi pendukung kandidat tertentu diperbesar demi memastikan tingkat keterpilihan kandidat tinggi.
“Anda bisa bayangkan kalau yang di sampel populasinya tidak terarah. Ia menyampel kategori ‘cebong’ sebesar 60%. Kemudian, 30% itu adalah ‘kampret’ dan 10% netral. Secerdas apa pun pertanyaannya, maka kalau sampelnya seperti itu, ya saya katakan kalangan ‘kampret’ tidak akan menang,” ujar dia.
Supaya survei tak jadi alat pemenangan, Achmad menilai, perlu ada regulasi yang mengantur industri survei dan lembaga-lembaga survei. Secara khusus, regulasi itu harus mewajibkan lembaga survei membuka semua data terkait survei, semisal metodologi, sampel, dan pendananya.
“Kedua, regulasi yang harus dibuat atau diperkuat adalah memfungsikan batasan-batasan sehingga pertanyaan pertanyaan yang seputar menggiring opini itu dilarang. Misalkan, ‘Siapa kandidat, yang menurut Anda, sangat cinta pada anak muda?’ Itu kan kalimatnya sudah menggiring. Nah, pertanyaan pertanyaan seperti itu harus di-filter,” jelas dia.
Terakhir, pembatasan terhadap jumlah lembaga survei. Menjelang pemilu, sebaiknya hanya lembaga survei yang punya rekam jejak merilis survei dalam kontestasi politik selama lima atau sepuluh tahun sebelumnya yang boleh menjalankan survei.
“Yang tidak punya track record, maka dia dilarang untuk menyampaikan paparan hasilnya kepada publik. Ini untuk menjaga kredibilitas atau pun mencegah muncul lembaga-lembaga survei baru yang jadi-jadian, yang dibayar untuk momen tertentu saja,” kata dia.
Regulasi ketat
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro sepakat perlu aturan khusus untuk memastikan survei tak digelar untuk menggiring opini publik. Ia berkaca pada buruknya demokrasi politik dalam Pilpres 2019 yang mempertemukan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.
Ketika itu, menurut Zuhro, ada banyak lembaga survei turut meruncingkan polarisasi di masyarakat lantaran menghasilkan survei dan quick count yang tak akurat. Puncaknya, hasil Pilpres 2019 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Demo besar-besaran pun sempat digelar di depan Gedung Bawaslu RI.
“Karena dia, lembaga-lembaga survei ini kan sebenarnya masuk ke ranah publik dan publik punya hak untuk diberikan hasil-hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Harusnya seperti itu,” kata Zuhro kepada Alinea.id.
Saat ini, sebagian besar lembaga survei yang beroperasi di Indonesia bernaung di bawah Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) dan Asosiasi Survei Opini Publik Indonesia (ASOPI). Pada 2022, enam lembaga survei anyar membentuk Asosiasi Peneliti Persepsi Publik Indonesia (Aspeppi) untuk mewadahi aktivitas survei mereka.
Zuhro menilai pengawasan dari asosiasi lembaga survei saja tidak cukup. Pasalnya, hingga saat ini asosiasi tidak punya kewenangan untuk memaksa lembaga survei transparan saat menyampaikan data hasil survei ke publik.
“Lembaga-lembaga survei ini harus menyampaikan apa adanya kepada publik. Tidak hanya metodologinya, tidak hanya hasil akhirnya, tapi juga pendananya itu siapa. Sehingga publik itu mendapatkan hasil survei yang betul-betul bisa dipercaya,” kata dia.
Lebih jauh, Zuhro menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu RI juga perlu aktif mengawasi lembaga survei. Dalam hal ini, lembaga survei atau petinggi lembaga survei harus dipastikan tak bisa seenaknya menafikan hasil kerja penyelenggara pemilu berbasis hasil survei yang tak kredibel.
“Itu seolah-olah (hasil pemilu yang diumumkan KPU) tidak benar. Maka pemilu curang seperti 2019 itu tidak boleh lagi. Jadi, tahapan itu tidak dibiarkan begitu saja, yakni kecurangan sampai menimbun, menumpuk sehingga terjadi sengketa pemilu. Pengawasan yang dilakukan kepada lembaga-lembaga survei itu harus rigid betul,” ujar dia. (Kebijakan Publik)
(Red)