Jakarta, LINews – Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu meluapkan kemarahannya kepada perwakilan Kementerian Perhubungan saat Rapat Kerja DPR dengan Kemenhub yang membahas transparansi transaksi dan potongan biaya layanan ojek online (ojol).
Ia menilai adanya pungutan tidak berdasar dalam transaksi ojol sebagai bentuk pungutan liar (pungli) yang dibiarkan negara selama bertahun-tahun.
Adian menolak anggapan bahwa perusahaan aplikator merupakan pencipta lapangan kerja. Ia menegaskan bahwa keberadaan ojek sudah ada jauh sebelum platform digital hadir.
“Aplikator tidak menciptakan lapangan pekerjaan, jangan kerbau punya susu, sapi punya nama. Ojek itu sudah ada dari tahun 60–70-an, buka saja sejarah ojek. Ojek tidak tiba-tiba lahir karena adanya aplikasi,” tegas Adian, di kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Ia menilai narasi yang menyebut aplikator sebagai pahlawan adalah sesat dan manipulatif. Menurutnya, aplikator hanyalah penyedia jasa teknologi, bukan penyelamat ekonomi rakyat.
“Menurut saya, maaf Pak Wamen, maaf Pak Dirjen, pernyataan Bapak sesat, manipulatif, dan membuat kemudian orang salah sangka seolah-olah aplikator itu pahlawan. Bukan, dia pebisnis, bukan pahlawan,”lanjutnya.
Ketegangan memuncak ketika Adian memaparkan bukti rincian transaksi ojol senilai Rp81 ribu yang menurutnya mencakup potongan tidak wajar sebesar Rp29 ribu. Rincian potongan itu terdiri atas biaya jasa aplikasi sebesar Rp10 ribu, biaya lokasi Rp18 ribu, dan biaya perjalanan aman Rp1.000.
“Ada paling tidak di data ini Rp29 ribu dipungut dari driver dan konsumen tanpa dasar hukum apa pun,” ujarnya sambil mengangkat bukti transaksi.
Adian juga mengungkapkan bahwa biaya jasa aplikasi dikenakan berbeda untuk roda dua dan roda empat—masing-masing sebesar Rp2 ribu dan Rp10 ribu. Ketika ditanyakan apakah pemungutan ini diatur pemerintah, perwakilan Kementerian Perhubungan menyatakan tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut.
“Ini tidak diatur ini,” ujar salah satu perwakilan kementerian saat menjawab pertanyaan Adian.
Dalam forum tersebut, Adian menyebut bahwa negara telah membiarkan praktik pungutan tidak berdasar ini berlangsung dalam waktu yang lama dan melibatkan nominal triliunan rupiah.
“Bisa kita sebut pungli? Dan kalau kita bisa sebut pungli, bagaimana kalau saya katakan, negara bertahun-tahun membiarkan pungli bertriliun-triliun terjadi di depan mata kita,” tandasnya.
(Roy)