Nuansa Politis Putusan MK di Perpanjangan Jabatan Firli CS

Nuansa Politis Putusan MK di Perpanjangan Jabatan Firli CS

Jakarta, LINews — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun dianggap sejumlah pihak kental nuansa politis.

MK mengabulkan seluruh isi gugatan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Lima dari sembilan hakim MK bersepakat aturan masa jabatan pimpinan KPK yang selama ini berbeda dengan masa jabatan pimpinan atau anggota lembaga independen lainnya telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, dan diskriminatif.

Karena itu, mereka berpandangan masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen lain menjadi lima tahun.

Juru Bicara MK Fajar Laksono menyatakan putusan soal gugatan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun langsung berlaku. Dengan demikian Ketua KPK Firli Bahuri dan kawan-kawan mendapat penambahan masa jabatan selama satu tahun hingga Desember 2024.

“Sebagaimana diatur dalam UU MK, putusan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan,” kata Fajar kepada Law-Investigasi, Jumat (26/5).

Gugatan Nurul Ghufron diajukan sejak Oktober 2022. Semula, ia hanya menggugat batas usia pimpinan KPK. Belakangan, petitum dalam gugatannya ditambah soal perpanjangan masa jabatan. Dengan amar putusan itu, masa jabatan lima pimpinan KPK saat ini akan diperpanjang hingga Desember 2024 dari semula akan habis Desember 2023.

Ghufron menyebut niatnya memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK itu untuk menyesuaikan dengan lembaga-lembaga lain.

Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana memandang Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 itu lebih kental nuansa politis suksesi pemenangan Pilpres 2024. Ia mengkritik dua substansi dalam putusan MK, baik soal perpanjangan masa jabatan maupun batas usia pimpinan pimpinan KPK.

Denny menyebut putusan tersebut akan retroaktif alias langsung berlaku sejak putusan dibacakan. Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK Firli Bahuri Cs diperpanjang hingga Desember 2024.

Denny menduga perpanjangan masa jabatan Firli hanya untuk mengamankan sejumlah kasus di KPK hingga Pilpres 2024 selesai. Sejumlah kasus tersebut diharapkan tidak menyasar kawan koalisi, dan sebaliknya bisa menyasar lawan atau oposisi.

“Jika proses seleksi tetap harus dijalankan saat ini, dan terjadi Pimpinan KPK di Desember 2023, maka strategi menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan, dan memukul lawan itu berpotensi berantakan,” kata Denny dalam keterangannya yang di kutip Law-Investigasi, Kamis (25/5).

Ia turut menyoroti substansi lain dalam amar putusan MK yakni soal batas usia minimal pimpinan KPK 50 tahun. Namun, syarat itu bisa dikecualikan bagi petahana. Sehingga, Nurul Ghufron misalnya, meski belum berusia 50 tahun dalam periode kepemimpinan KPK mendatang, dia tetap bisa kembali maju sebab tengah menjabat saat ini.

Menurut Denny, putusan itu hanya menunjukkan inkonsistensi putusan-putusan MK sebelumnya, bahwa soal syarat usia dibebaskan kepada kepada pembuat undang-undang.

“Masalah batas umur minimal ini, persoalannya lebih sederhana, dan hanya menunjukkan inkonsistensi dari putusan-putusan MK sebelumnya,” kata Denny.

Di sisi lain Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai putusan MK soal masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun tak bisa berlaku bagi Firli Cs.

“Tidak dapat diterapkan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang ada saat ini, karena itu sama saja memberlakukan surut putusan MK, yang tepat adalah menerapkannya pada pimpinan KPK di periode berikutnya, itu prinsip yang berlaku universal, azas yang tidak boleh memberlakukan hukum secara surut,” kata Feri.

Senada dengan Denny, Feri menilai putusan memperpanjang jabatan pimpinan KPK sarat politis jelang Pilpres 2024. Ia khawatir pimpinan KPK hanya menjadi alat untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah.

“Pimpinan KPK memiliki kasus yang relatif berkaitan dengan politik untuk mengkriminalisasi calon-calon politik tertentu demi kepentingan politik kepartaian. Memperpanjang pimpinan saat ini tentu saja memperpanjang rencana untuk mempermasalahkan kasus-kasus tertentu yang sifatnya politis,” ujarnya.

Sementara, Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha mengaku telah mengendus kejanggalan gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sejak awal.

Menurutnya, gugatan Ghufron tak memiliki dimensi kepentingan publik, sebab hanya menyangkut soal batas usia Ghufron yang belum genap 50 tahun.

Terlebih kata dia, belakangan petitum gugatannya berubah dengan penambahan masa jabatan dari empat menjadi lima tahun.

“Permohonan masa jabatan dari empat menjadi lima tahun tidak muncul sejak awal melainkan muncul pada proses perbaikan permohonan. Seakan adanya skenario yang diatur pada proses tersebut,” kata Praswad saat dihubungi, Jumat (26/5).

Sama dengan Denny, Praswad juga khawatir putusan MK berpotensi menjadi alat kepentingan Pemilu 2024. Dugaan itu, menurutnya, tak berlebihan merujuk pada sejumlah alasan pengajuan gugatan dan pertimbangan putusan.

Praswad misalnya menyoroti pertimbangan hukum yang digunakan hakim MK. Menurutnya, MK dalam pertimbangannya menyebut pemilihan komisioner KPK periode selanjutnya dilakukan oleh presiden dan anggota DPR periode 2024-2029.

Menurutnya, jika masa jabatan pimpinan KPK saat ini berakhir pada Desember 2024, pemilihannya tetap akan dilakukan oleh anggota dewan periode 2019-2024.

Praswad menyebut pemilihan komisioner KPK dimulai September 2024, atau sebulan sebelum anggota DPR periode lama berakhir.

“Artinya esensi dari pertimbangan tidak dapat diterapkan,” kata Praswad.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menanggapi soal putusan MK yang dinilai politis untuk menjegal kandidat capres di Pilpres 2024.

“Kita menghormati keputusan hakim MK tersebut. Interpretasi publik itu,” katanya melalui pesan singkat.

Jejak kontroversial Firli Cs

Perubahan aturan soal masa jabatan dan batas usia minimal pimpinan KPK oleh MK hanya menggenapi beberapa catatan krusial komisi antirasuah di bawah era Firli Bahuri atau sejak revisi UU KPK 2019.

Selang enam bulan sejak dilantik, Firli pada Juni 2020 sempat menjadi sorotan karena menggunakan helikopter saat kunjungan kerja ke Sumatera Selatan. Jejak Firli belakangan diikuti oleh bawahannya Lili Pintauli Siregar yang berkomunikasi dengan tersangka kasus korupsi.

Nama terakhir belakangan telah mengundurkan diri sebelum Dewan Pengawas atau Dewas KPK menjatuhkan putusan.

Setahun kemudian, memasuki pertengahan 2021, KPK kian menjadi sorotan lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menganulir sejumlah nama penting di komisi tersebut.

Beberapa nama itu terlibat dalam pengungkapan kasus besar korupsi, seperti Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Rizka Anungnata, Rieswin, hingga Harun Al Rasyid yang sempat dijuluki Raja OTT.

Teranyar, Firli juga terlibat adu tegang dengan beberapa bawahannya dari institusi Polri yang bertugas di KPK. Irjen Karyoto dan Endar Priantoro dipulangkan oleh Firli meski masa jabatan keduanya di komisi antirasuah belum habis.

Rekomendasi pengembalian keduanya ke Polri disebut-sebut terkait dengan penanganan perkara dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E di DKI Jakarta.

Endar dan Karyoto konon kukuh menolak menaikkan status Formula E ke tahap penyidikan karena belum menemukan niat jahat atau mens rea. Dalam perkara itu, eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah sempat diperiksa KPK.

Firli pun dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK soal pemecatan Endar tersebut. Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu juga dilaporkan atas dugaan kebocoran dokumen penyelidikan korupsi di Kementerian ESDM.

(R. Simangunsong)

Tinggalkan Balasan