Denpasar, LINews – Indonesia sudah memasuki usia 78 tahun. Dalam rentang waktu yang panjang, Ketua Umum Perkumpulan Pemerhati Pertanahan dan Agrarian Terpadu Indonesia (P3ATI), Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M.Hum mengaku prihatin melihat kekacauan keagraraian nasional kita, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak lagi dikuasai seutuhnya oleh negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tanah, hutan, daerah pesisir, dan pulau-pulau kecil sudah dikapling-kapling dan dikuasai segelintir pemodal besar, domistik maupun asing. Dan isi perut bumi banyak diekploitasi perusahaan tambang baik perusahaan asing maupun domistik. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada tahun 2022 lalu, setidaknya ditemukan ada 164 ijin tambang di 55 pulau-pulau kecil di Indonesia (Kompas.id/9/9/23). Sejumlah pulai kecil itu sekarang mengalami kerusakan akibat ekploitasi tambang. Pulai kecil itu misalnya Pulau Obi, Pulau Pakal, Pulau Gebe dan Pulau Mabuli di Maluku Utara, Pulau Wawoni di Sulawesi Tenggara dan Pulau Sangihe Sulawesi Utara.
Menurut P3ATI praktik eksploitasi pulau kecil untuk tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Apalagi, saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah aturan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil. Adapun aturan yang dimaksud adalah UU No 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 23 Ayat 2 dalam UU itu dengan tegas menyebutkan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Tidak ada sama sekali klausul tentang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil. Dan ada larangan untuk semua bentuk penambangan juga disebutkan di Pasal 35, yaitu penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral.
Fakta lainnya, P3ATI mengamati juga soal ancaman alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, lihat saja data BPS tahun 2021 silam sangat bervariasi antara 60 ribu sampai dengan 80 ribu hektar pertahaun. Dengan asumsi, jika indeks panen padi yang beralih fungsi anatara 2,5 sampai dengan 3, persen dengan produktivtas rata-rata 6 ton gabah kering per hektar, maka dalam lima tahun, lahan sawah yang beralih fungsi antara 300 ribu hektar sampai dengan 400 ribu hektar dengan kehilangan hasil padi mencapai 1,8 juta sampai dengan 2,4 juta ton GKG. Pertanyaan mendasar, mengapa alih fungsi lahan semakin massif dan bagaimana langkah mitigasinya.
Menurut P3ATI, kekacauan akibat salah urus sumber daya alam itu bisa membawa implikasi yang sangat luas dan dalam bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat bangsa. Konflik agraria bisa meledak dimana-mana yang akan menjadi bom waktu. Dan yang terbaru P3ATI ingin menanggapi belied hak guna usaha atau HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun bagi investor di Ibukota Negara atau IKN Nusantara. Aturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara atau IKN yang baru saja disahkan oleh DPR RI pada 3 Oktober 2023 lalu. Dan P3ATI melihat politik pertanahan kita teLah terjebak dalam perangkap globalisasi yang digerkan kapitalisasi global. Coba saja kita tengok regulasi Pada Pasal 16 A, dimana investor diberi waktu perpanjangan 190 tahun. Dan masing-masing paling lama 95 tahun dan untuk siklus pertama dan kedua. Sedangkan konsesi hak atas tanah dalam bentuk hak pakai diberikan waktu 80 tahun. Dan hebatnya lagi, konsesi ini dapat diperpanjang 80 tahun lagi. Sehingga keseluruhannya 160 tahun.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara atau IKN ini menurut P3ATI, sepertinya dimaksudkan untuk memperkuat Peraturan Pemerintah No 12/2023 tentang Pemberian Perijinan Berusaha yang diteken Presiden pada 6 Maret 2023 lalu. Dan sejatinya UU IKN ini mendapta penolakan banyak pihak, dan pemerintah kemudian mengaju revisi pada Agustus 2023 lalu. Dengan pemberian HGU dn HGB sekaligus perpanjangan didepan 190 th , sebagai upaya menarik investor jelas sangat bertentangan dengan UUPA dan put MK nomor 21-22 /PUU- VIII / 2007 dalam pengujian UU 25 th 2007 tentang UU Penanaman Modal
P3ATI menilai regulasi HGU dan HGB ratusan tahun jelas-jelas bertentangan dengan prinsip hak menguasai negara terhadap Bumi, Air dan Ruang Angkasa serta prinsip kedaulatan rakyat dibidang ekonomi sepertimyang diatur Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, P3ATI menilai politik pertanahan sudah seharusnya berorientasi pada kesejahteraan selruh rakyat. Demikian juga politik pertanahan, seharusnya menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Keduanya bertemu disatu titik, yaitu tujuan NKRI yang termaktub dalam UUD 1945. Dan seharusnya, lanjut P3ATI, kebijakan manajemen pertanahan senantiasa diarahkan demi meningkatkan pemanfaatan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang dalam koridor peraturan perundang-perundangan yang berlaku berlandasakan system administrasi public yang dapat dipertanggungjawabkan.
P3ATI berpandangan UU IKN tersebut semesti di tinjau ulang, karena lebih berpihak kepada investasi semata. bagaimana tidak, perpanjangan HG dan HGB dari 90 tahun bisa diperpanjang 95 tahun dan bisa diperpanjang, menurut P3ATI akan memotang dua generasi yang tentunya akan sangat merugikan masyarakat sekitar.P3ATI berpendapat seharusnya kebijakan dan manajemen pertanahan mencakup semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya tanah dan alam yang diperlukan untuk memenuhi tujuan politik dan sosila guna mencapai pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan manajemen tanah merupakan kunci satu-satunya dalam mencegah dan mengatasi kompleksitas masalah pertanahan dikemudian hari.
I Made Pria Dharsana
(Ketua Umum P3ATI)