Jakarta, LINews – Revisi Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), berpotensi cacat formil dan dapat dibatalkan MK nantinya. Hal itu disampaikan ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Udayana) Bali, Jimmy Z. Usfunan. Sejumlah argumen dibeberkan.
“UU P3 berpotensi cacat formil, hati-hati dibatalkan MK,” kata Dr Jimmy Z. Usfunan, Minggu (24/4/2022).
Untuk menguatkan argumennya, Jimmy Z. Usfunan mengajukan sejumlah argumen. Pertama, kementerian yang mengambil peran memimpin pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Pemerintah terhadap Perubahan UU P3 yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Sementara, Undang-Undang nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sudah membagi tugas dan fungsi Kementerian masing-masing, yang diatur lebih lanjut oleh Peraturan Presiden No. 37 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang dalam Pasal 2 ayat (1), menyatakan:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
Kedua, kedudukan UU P3, merupakan tindak lanjut dari Pasal 22A UUD 1945, yang berbunyi:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
“Sehingga Pembentukan UU tersebut, merupakan urusan hukum, yang jadi kompetensi dari Kementerian yang membidangi urusan hukum atau setidak-tidaknya Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, bukan Kementerian Perekonomian. Jangan salahkan publik jika menilai, undang-undang urusan hukum, seakan-akan dilakukan dengan pendekatan ekonomi,” beber Jimmy Z. Usfunan.
Ketiga, pembahasan DIM yang dipimpin oleh Kemenko Perekonomian, rupanya dilakukan oleh Staf Ahli Menteri Perekonomian. Hal ini dapat menimbulkan anggapan negatif.
“Seolah-olah pembahasan RUU PPP sebagai bentuk formalitas semata dan seakan ‘main-main’,” ucapnya.
Keempat, RUU Perubahan UU P3, memisahkan kementerian yang melakukan Pengundangan, yakni Setneg dan Kemenkumham. Padahal, hakekat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimulai dari merencanakan hadirnya regulasi sampai dengan berlakunya suatu regulasi, sehingga dari Perencanaan sampai dengan Pengundangan merupakan satu kesatuan tahapan, yang tidak dapat dipisah-pisah penyelenggaranya.
“Justru dengan dipisah, mengingkari kehendak Presiden yang memiliki misi membuat kebijakan one gate system dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Seharusnya dibentuk badan regulasi nasional, yang merupakan janji Presiden, bukan malah memecah prosedur pembentukan,” cetus.Jimmy Z. Usfunan.
Kelima, adanya desas-desus bahwa pemindahan kewenangan pengundangan tidak lagi di Kementerian Hukum HAM, bukan murni masalah hukum yang dikaitkan dengan program penataan regulasi di Indonesia. Melainkan imbas persoalan beberapa waktu lalu perihal Rancangan Peraturan Presiden tentang BRIN yang sempat dikembalikan Kementerian Hukum dan HAM sebelum diundangkan untuk dilakukan perbaikan, karena cacat prosedur tidak melibatkan Kemenkumham dan lembaga terkait dalam pembahasannya.
“Padahal UU P3 mengamanatkan keterlibatan tersebut, selain itu juga pertimbangan dengan adanya beberapa Menteri yang tidak menandatangani RanPerpres tersebut sebelum ditetapkan sebagai imbas tidak dilibatkan oleh kementerian pemrakarsa. Niat Kementerian Hukum dan HAM untuk menjaga Presiden melalui produk hukum yang dibentuknya ternyata disalahtafsirkan beberapa pihak lainnya,” kata Jimmy Z. Usfunan menguraikan.
Sebaiknya, kata Jimmy, DPR jangan dulu menyetujui RUU P3 ini, dalam pembahasan tingkat II. Karena jangan sampai kesan publik yang baik terhadap DPR yang baru-baru ini menghasilkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), tercoreng karena memaksakan kehendak karena menyetujui RUU P3 yang sarat dengan cacat formil.
“DPR bisa mengembalikan ke Pemerintah dan memberikan waktu untuk memperbaiki kembali prosedur penyusunan DIM RUU P3 di Internal Pemerintah agar dipimpin kementerian yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan, sekaligus internal Pemerintah bisa konsolidasi kembali atas beberapa materi yang di internal pemerintah belum ada kesepakatan sehingga tidak muncul kesan yang memalukan di publik yakni kericuhan di internal pemerintah dalam rebutan kewenangan,” pungkas Jimmy Z. Usfunan.
Sebagaimana diketahui, pada 7 April 2022, Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat kerja bersama Pemerintah, membahas RUU Perubahan Kedua atas UU P3. Badan Legislasi DPR menargetkan pembahasan revisi UU P3 selesai sebelum masa persidangan DPR saat ini berakhir, 14 April 2022.
“Kita berharap, kalau memungkinkan bisa selesai sebelum masa sidang ini ditutup, kita upayakan. Kita akan meminta kesediaan teman-teman fraksi nanti untuk kita segera mungkin kirim panja dan kita segera mungkin melakukan pembahasan,” kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dalam rapat bersama pemerintah, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/4/2022). Merujuk agenda kerja DPR seperti dilihat di situs dpr.go.id, reses bakal dimulai pada 15 April hingga 16 Mei 2022. (Red/Vhe)