Law-Investigasi, Dalam sejumlah kasus mega-korupsi, kerap disebut-sebut keterlibatan partai politik. Setidaknya, diketahui kalau duit korupsi tersebut, sebagian kecil, digunakan untuk kepentingan parpol. Sayangnya, hingga saat ini, penegak hukum belum pernah menjadikan partai politik sebagai subyek hukum korupsi. Ada kendala apa?
Kesulitan pembuktian keterlibatan partai politik dalam kasus korupsi yang menjerat kadernya masih menjadi dalih bagi aparat penegak hukum. Dalam setiap kasus korupsi politik, para penegak hukum beralasan kesulitan menjerat partai politik sebagai pelaku korupsi lantaran tidak dapat membuktikan keterlibatan partai politik sebagai pihak yang turut merancang siasat korupsi atau pihak yang menerima aliran dana bancakan dari kadernya yang menjadi koruptor.
Padahal, hukum di Indonesia memiliki sejumlah beleid hukum yang bisa menjerat partai politik sebagai pelaku korupsi. Yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, termasuk tentunya untuk pelaksanaan UU Tipikor.
Dalam Perma tahun 2016 itu, disebutkan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya jika memenuhi tiga unsur. Pertama, jika korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana atau dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, jika korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Dan ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Senada, dalam UU Tipikor, pengertian diksi korporasi pun berkata demikian. Namun, kedua instrumen hukum tersebut belum secara gamblang merumuskan bahwa partai politik sebagai korporasi yang dapat dipidanakan. Sahel juga dalam posisi instrumen hukum yang ada belum mempunyai daya jerat menjadikan partai politik selaku aktor korupsi.
Menurut pengamat dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, posisi partai politik sebagai subjek hukum pidana korupsi masih problematik. Sehingga sampai sekarang belum pernah ada jeratan hukum menyasar partai politik karena status hukumnya yang masih dalam perdebatan di mata hukum.
“Perdebatan partai politik adalah korporasi atau bukan itu saja belum selesai. Aparat penegak hukum belum berpedapat yang sama sampai saat ini. Jadi, aparat penegak hukum sampai sekarang belum menganggap partai politik itu adalah korporasi,” kata Zaenur kepada Law-Investigasi, Kamis (15/6/2023).
“Jadi, apakah partai politik itu bisa disebut korporasi atau bukan, dari sisi hukum tata negara itu problematik. Kalau dari sisi hukum pidana dalam UU Tipikor, itu clear dijelaskan kumpulan orang atau kekayaan. Kalau begitu jelas bahwa partai politik adalah korporasi. Tapi, kalau dari sisi ketenagaraan tidak ada yang menyebutkan partai politik itu adalah korporasi. Karena partai politik itu adalah badan publik. Kalau korporasi itu kan kumpulan orang atau kekayaan yang bukan bersifat badan publik,” ia menambahkan.
Lain itu, proses penegakan hukum ketika parpol dinyatakan sebagai pelaku korupsi pun masih belum jelas diatur. Dalam UU Partai Politik, hanya disebutkan soal mekanisme penegakan hukum di ranah perselisihan internal parpol dan aturan pembubaran partai yang melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi, memang sampai saat ini belum benar jelas apakah partai politik bisa dijerat sebagai pelaku korupsi dan di mana peradilan yang bisa mengadili partai politik sebagai pelaku korupsi. Karena yang mengadili partai politik bukan kewenangan peradilan umum tapi kewenangan MK kalau berupa pembubaran,” kata Zaenur.
Zaenur berpendapat, problematika hukum yang ada soal posisi parpol dalam pusaran korupsi sebenarya bisa disikapi secara jelas sepanjang ada keberpihakan aparat penegak hukum dalam memposisikan parpol sebagai korporasi. “Hukum itu bisa menjerat mereka (partai politik) sebagai pelaku. Dalam pandangan Pukat, partai politik sebagai kumpulan orang atau kekayaan itu bisa disebut sebagai korporasi sehingga menjadi subjek hukum dari tindak pidana,” katanya.
“Tidak mudah untuk mengkualifikasikan parpol itu sebagai pelaku kalau unsur-unsurnya tidak terpenuhi. Apa saja unsurnya, khususnya apakah partai itu menikmati hasil korupsinya. Maksudnya menikmati itu apakah mereka menerima aliran dana korupsi yang misal digunakan untuk munas, raker dan agenda politik lain,” ujar dia.
“Memang sejauh ini belum ada satupun partai politik yang dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi atau pidana apapun. Karena pertanggungjawaban masih berkisar di perorangan. Tidak mudah memang untuk menunjukkan partai politik itu menerima aliran dana korupsi. Karena biasanya menggunakan nominee, menggunakan pihak lain sebagai cara untuk menghindari jeratan dari aparat penegak hukum,” imbuh dia.
Kasus BTS, Pintu Masuk Garap Parpol?
Menurut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang nyaris mustahil korupsi dilakukan tanpa campur tangan parpol. Sebab, seluruh penganggaran bermula dari parlemen (DPR). “DPR kan isinya parpol semua itu,” ujarnya.
Justru, menurutnya, saat di level perencanaan inilah aksi negoisasi dan saling titip sudah mulai berjalan. Dia mencontohkan dalam kasus e-KTP. Saat di level perencanaan ini antara DPR dan Kemendagri selaku kementerian teknis sudah mulai saling negoisasi. Baik berupa nilai anggaran, hingga ke tingkat teknis pengadaan.
Dalam kasus e-KTP, di DPR negoisasi dan percakapannya dilakukan di lakukan di komisi II. Komisi ini terdiri dari lintas fraksi. Seluruh fraksi terlibat dalam perencanaan kasus yang merugikan negara Rp 2,5 triliun ini.
“Saat di komisi inilah parpol-parpol itu sudah mulai melirik. Tinggal bagaimana komitmen-komitmennya saja,” ujarnya.
Dia menilai, hal serupa semestinya terjadi juga dalam kasus dugaan korupsi proyek BTS, yang menjerat eks Menkominfo sekaligus Sekjen Partai NasDem, Johny Gerard Plate.
Dia menilai, Plate bukanlah tokoh utama dalam pusaran kasus ini. Tak heran, menurutnya, kalau kemudian Plate hendak mengajukan diri menjadi Justice Collaborator (JC). “Salah satu syarat JC adalah bukan aktor utama tindak pidana dan kesaksiannya dapat mengarahkan pada aktor pelaku utamanya,” ujar Saut.
Dalam kasus ini, penyidik Kejagung secara implisit sejak awal menyatakan bakal membidik keterlibatan partai politik Plate bernaung. Akan tetapi hingga kini proses penegakan hukumnya justru masih berkutat pada pelaku-pelaku lapangan, serta belum menyentuh aktor politik.
Menurut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.
Pada perkembangan terbaru penyidikan korupsi BTS tersebut, Kejagung menetapkan tersangka, yakni M. Yusrizki selaku Direktur Utama PT Basis Utama Prima. Korporasi itu merupakan sub-kontraktor dari konsorsium utama proyek.
Dengan penetapan Yusrizki dan Plate, kini tersangka dalam kasus ini menjadi delapan orang. Enam tersangka lainnya adalah Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif (AAL), Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galubang Menak (GMS); Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia Tahun 2020, Yohan Suryanto (YS). Kemudian, Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali (MA), Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan (IH).
Penetapan tersangta terhadap Yusrizki sedikit di luar dugaan publik, bahwa penyidik akan membelejeti keterlibatan Partai Nasdem. Penetapan tersangka ini justru membuka tabir terkait keterlibatan Hapsoro Sukmonohadi atau Happy Hapsoro, suami Ketua DPP PDI-P sekaligus Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Sebelumnya, nama Happy Hapsoro santer disebut-sebut turut terlibat dalam pusaran korupsi yang membikin kerugian keuangan negara hingga Rp8 triliun lebih itu. Dugaan keterlibatannya bisa ditelisik dari kepemilikan PT Basis Utama Prima tersebut. Happy Hapsoro diketahui merupakan pemilk saham mayoritas korporasi itu sebesar 99,9 persen.
Namun, gelagat Kejagung untuk menyasar keterlibatan PDI-P tampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, Kejagung masih berkutat pada dalih pembuktian soal dugaan keterlibatan Happy Hapsoro dan aliran dana korupsi ke partai istrinya bernaung.
“Bahwa kami selalu menulusuri sampai ujung, tetapi kami bertindak berdasarkan ada tidaknya alat bukti,” kata Dirdik Jampidsus Kejagung Kuntadi saat mengekspos penetapan tersangka Direktur Utama PT Basis Utama Prima itu di Kejagung, Kamis, (15/6/2023).
Sebelumnya beredar informasi kalau kasus ini santer melibatkan empat partai politik. Politisi PDIP Bambang Wuryanto menegaskan hal itu perlu dibuktikan, agar tidak sebatas spekulasi belaka. Caranya dengan membawa bukti-bukti ke Kejaksaan Agung (Kejagung) yang sedang mengusut perkara tersebut.
“Jadi kalau ada yang menyatakan ada aliran dana ke partai, ya buktikan. Jangan hanya isu. Kalau ada bukti, bawa ke Kejaksaan. Clear,” kata Bambang Pacul melalui keterangan yang diterima Law-Investigasi, Rabu (14/06/2023).
Menurut Pacul, jika benar adanya dana korupsi yang mengalir ke partai politik, maka itu bukan merupakan hal sepele. “Kalau ada orang partai yang menerima uang korupsi, bahaya sekali karena partai bisa dibubarkan. Kalau dibubarkan bagaimana? Ngeri karena itu adalah lembaga hukum, sama dengan PT PT itu,” kata Pacul.
“Ada partai berani menerima uang hasil korupsi, bubarkan partainya. Bisa. Ada pasalnya,” sambung Pacul.
Sementara itu, Politisi Partai Nasdem sekaligus anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan meminta Kejaksaan Agung membuktikan ke mana saja aliran dana dugaan korupsi BTS ini.
“Dibuktikan dulu, bahwa penyelewengan dana Rp 8 triliun itu aliran dananya ke mana saja? Itu saja Jaksa Agung kemarin belum bisa menjawab. Seberapa banyak aliran dana dari Rp 8 triliun disalahgunakan oleh Pak Johnny Plate,” ujar Farhan ketika dikonfirmasi, Kamis (15/06/2023). Dia menegaskan, bila Partai Nasdem tidak menerima aliran dana korupsi dari Plate.
“Dalam dokumen kontrak BTS itu, nggak ada satupun parpol yang terlibat. Artinya bekerja sama dengan partai politik, tanda tangan begitu, enggak ada,” kata dia.
Lalu, Farhan mengkritik langkah Kejagung yang menyelidiki dugaan aliran dana korupsi Plate ka Nasdem. Dia meminta Jaksa Agung untuk menjawab terlebih dahulu ke mana saja uang korupsi Rp 8 triliun itu mengalir.
Politisi Partai Demokrat Santoso mendukung Johnny G Plate mengajukan justice collaborator alias JC dalam kasus korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kominfo Tahun 2020-2022.
Namun Santoso mengingatkan Johnny bisa mengungkap nama besar dari kasus yang menjeratnya itu. “Untuk jadi JC itu kan ada syarat-syaratnya, dan kalau syaratnya dipenuhi, maka menjadi kewajiban yang bersangkutan untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam korupsi mega skandal BTS ini,” kata Santoso di Gedung DPR, Selasa (13/06/2023).
Santoso mengapresiasi langkah Johnny Plate jika ingin mengungkap nama-nama besar dalam kasus BTS 4G. Sehingga, kasus itu akan terbuka secara terang benderang di hadapan publik.
“Saya kira memang harus terbongkar, ini dananya cukup besar, rakyat juga menginginkan apa yang jadi kendala, sehingga kasus ini belum terbongkar. Yang bersangkutan (Johnny G Plate) jadi JC saya yakin akan disampaikan oleh yang bersangkutan siapa saja yang terlibat mega korupsi BTS ini,” kata Santoso.
Perihal keinginan Plate menjadi JC ini dikuak oleh Achmad Cholidin, Kuasa hukum Johnny G. Plate. Dia mengatakan bahwa bekas Menteri Komunikasi dan Informatika itu berdalih ingin kasus ini dibuka seluas-luasnya nanti di dalam persidangan. Sebelumnya, tersiar kabar bahwa duit yang ditilap dalam proyek BTS tersebut ke sejulah partai politik. Tentunya hal tersebut cukup serius dan patut untuk ditelisik kejaksaan agar pengungkapan hingga ke akar-akarnya.
Kendati demikian, kata Cholidin, belum ada nama yang disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kliennya Johnny G. Plate. Menurut dia, dalam BAP itu baru disebutkan bahwa yang lebih mengetahui proyek BTS 4G ini adalah Anang Achmad Latif (AAL) selaku Direktur Utama (Dirut) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Cholidin beranggapan jangan sampai Johnny G. Plate dizalimi dan orang lain justru menari-menari di atas penderitaan kliennya itu. Maka itu, kliennya bersedia membuka duduk perkara kasus korupsi ini supaya terungkap secara jelas.
“Pastinya kita akan melihat, kita buka selebar-lebarnya, sejelas-jelasnya duduk perkara ini, siapa yang menikmati, siapa yang melakukan, siapa yang menggunakan uang negara dan sebagainya. Itu akan kita lihat,” kata dia.
Sosok Kuat di Kasus BTS
Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Yosef Sampurna Nggarang mengatakan Kejaksaan Agung jangan ragu untuk menetapkan tersangka baru bila ada penambahan jumlah. “Ini sekarang enam atau tujuh tersangka ya kan, ini proyek besar loh. Logika publik mana mungkin pelaku hanya enam orang tersangka saja?” ujar Yosef saat dihubungi, Rabu (14/06/2023).
Yosef menduga ada salah satu pihak yang sudah menjadi saksi, salah satu pihak sudah jadi saksi, namun belum ditetapkan sebagai tersangka yaitu Direktur Utama PT Sansaine Exindo, Jemy Sutjiawan alias JS.
Menurut Yosef, bedasarkan informasi yang terimanya, JS sudah mengembalikan sejumlah dana yang diduga terkait dugaan korupsi dalam proyek BTS BAKTI Kemenkominfo, namun, Yosef menduga ada orang kuat dibalik JS sehingga membuat penyidik sulit untuk mengusutnya.
Yosef menduga bila JS ini dikelilingi oleh orang-orang kuat dan orang ini juga punya keterkaitan dengan kasus lain seperti BLBI jadi yang terjadi hari ini ada keterkaitan dengan kasus lama.
“Saya pribadi punya keyakinan orang yang menerima proyek ini pasti punya akses ke parpol yang diungkap politisinya, JS ini, orang ini bolak balik ke Kejaksaan, Kejaksaan merilis aliran dana ke perusahaan yang bersangkutan (JS) sudah Rp100 miliar dan sudah dikembalikan sebagian. Pertanyaannya itu uang yang dikembalikan apa maknanya?” ungkapnya.
Ihwal pengembalian dana ini pernah terkonfirmasi oleh Kuntadi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung.
“Dari PT Sansaine (Exindo). Ya sekitar 100 miliar lah. Baru Hari Selasa dia menyatakan kesanggupannya,” ujar, Kuntadi sebagaimana dilansir Tribunnews pada Minggu (26/2/2023).
Sementara itu, Pendiri Indonesian Audit Watch Iskandar Sitorus juga menilai ada kejanggalan dalam kasus BTS Bakti. Ia menyebut PT. Sansaine Exindo merupakan perusahaan yang baru terbentuk dan langsung diberikan proyek besar tanpa melihat rekam jejak.
Maka dengan itu, kejanggalan-kejanggalan yang ada, seharusnya meminta Kejagung untuk mengusut aliran dana hingga mengaudit perusahaan itu. “Perusahaan ini (PT Sansaine Exindo) baru disahkan tahun 2022 perusahaan baru lahir ternyata dalam postur PT ada satu perusahaan pemilik modal total, JS diasumsikan nggak punya saham, yang punya saham PT ATM, kita ngasih saran ke Kejagung, dari awal sudah di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Kejaksaan kok (JS) nggak ditahan?” kata Iskandar kepada Law-Investigasi.
Iskandar memberi masukan kepada pihak kejaksaan agung bila perusahaan tersebut baru berdiri pada tahun 2022 dan Kejagung perlu mendalami postur perusahaan itu. “Jadi Kejagung harus cermat untuk menelusuri perusahaan tersebut dan JS ini diasumsikan sebagai Direktur Utama dalam perusahaan tersebut tapi tidak punya saham dan pemilik sahamnya adalah PT Arah Tunggal Mandiri setelah kita dicek,” katanya.
Iskandar memaparkan bila JS ini punya jejak digital yang memang pernah terlibat dalam kasus BLBI. Selain itu, JS ini sudah mengembalikan uang ke Kejaksaan Agung tapi mengapa belum ditetapkan sebagai tersangka.
Jemy Sutjiawan diketahui beberapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk mengungkap kasus korupsi BTS di Kemenkominfo. Diketahui, bila Jemy juga dekat dengan beberapa elit selain itu Presiden RI ke-6 SBY dan Presiden RI ke-7 Jokowi. Bahkan menurut temuan Law-Investigasi, Jemy Sutjiawan ini pernah berfoto bersama kedua Presiden.
Jemy Sutjiawan juga diketahui diduga pernah terlibat dalam kasus BLBI, namun belakangan nama Jemy perlahan menghilang dalam kasus BLBI.
Kejar Aliran Uang dengan Delik TPPU
Kejagung sampai sekarang belum juga menerapkan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU. Padahal, beleid hukum ini fungsinya untuk melacak aliran dana sampai ke kantong-kantong pihak mana saja. Termasuk, mengindentifikasi dugaan aliran bancakan digunakan untuk kepentingan partai, seperti kongres, raker atau hingga pemenangan partai dalam Pemilu 2024 mendatang.
“Sambil jalan kami lihat perkembangan nya ya, penerapan pasal TPPU sebagai predikat crime tidak harus bersamaan dengan perkara pokoknya,” kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana kepada Law-Investigasi, Rabu (14/6/2023).
Mendengar Kejagung yang belum juga menggunakan UU TPPU dalam status hukum Plate, peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Sahel Muzzammil terheran. Menurutnya, agak janggal di saat Kejagung menggemborkan bakal menelusuri aliran dana, namun instrumen hukum yang sesuai seperti UU TPPU tidak diberlakukan sejak awal penyidikan.
“Penegak hukum mau ambil gampangnya saja. Jadi, cuma ingin menebang batangnya, tapi tidak mau sampai menebang ke akarnya. Dan satu hal yang jadi aneh kalau penegak hukum sudah bilang seperti itu, kita jangan lupa bahwa sempat ada suara 3 partai politik yang terima dana dari korupsi ini. Jadi, kalau tidak menggunakan TPPU, ya pasti masalah tidak selesai, kecurigaan publik tidak terjawab. Semakin kental bahwa ada kepentingan politik di balik kasus ini,” kata Sahel kepada Law-Investigasi, Rabu (14/6/2023).
Menyikapi lambannya Kejaksaan menggunakan delik TPPU, pun membuat geram koordinator MAKI Boyamin Saiman. Dia lantas menyatakan, MAKI telah melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2023).
Dalam gugatan tersebut, Jaksa Agung menjadi pihak termohon, sebab memiliki kewenangan dalam penyidikan dan penetapan tersangka perkara BTS Kominfo ini. Sedangkan Komisi III DPR menjadi pihak turut termohon.
“Komisi III DPR RI kan yang mengawasi Kejagung, maksudnya kan bisa ngawasi karena wakil rakyat,” ujarnya.
Gugatan ini dimaksudkan agar Kejaksaan Agung membuka data-data dan fakta terkait perkara ini. Gugatan juga dimaksudkan agar Kejaksaan Agung menjerat para tersangka dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
MAKI menduga bahwa penyidikan TPPU pada korupsi BTS Kominfo bakal segera dihentikan. Padahal masih ada nama-nama yang diduga melakukan TPPU namun belum dijerat.
“Diduga Johnny G Plate belum menjadi tersangka pencucian uang,” kata Boyamin.
Sementara itu, dalam kesempatan berbeda Boyamin Saiman juga menyatakan, sejumlah pihak disawer uang hasil korupsi tersebut. Jumlah sawerannya mencapai ratusan miliar rupiah.
Namun Dia tak membeberkan secara rinci aliran uang korupsi BTS tersebut. MAKI hanya memberikan kisi-kisi lokasi. “Gedung utaranya Kejaksaan Agung diduga 70 miliar dan yang gedung utara agak kanan 50 miliar,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman saat dikonfirmasi, Jumat (16/06/2023).
Uang Rp 70 miliar untuk gedung di sisi utara diserahkan melalui perantara di Depok. Sedangkan Rp 50 miliar untuk di gedung utara kanan diserahkan di Surabaya. Boyamin juga memberi kisi-kisi terkait pihak penerima saweran ini.
Menurutnya, pihak penerima saweran ini semestinya mengawasi pelaksanaan proyek pembangunan tower BTS di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Nyatanya, mereka justru turut menikmati hasil korupsi dari proyek tersebut.
“Yang seharusnya mengawasi tapi tak mengawasi,” ujarnya.
(R. Simangunsong)