Oleh : Denny Indra Sukmawan
Jakarta – Pragmatis hakikatnya berorientasi pada kepraktisan dan kemanfaatan. Sikap pragmatis tidak seratus persen salah, ketika harus berhadapan dengan realitas yang menuntut kita harus mengambil tindakan dengan cepat dan tepat. Apalagi opsi-opsi tindakan terbatas karena realitas tadi kompleks. Dalam banyak situasi, suatu tindakan tidak bisa didasarkan pada diktat-diktat, teori atau konsep yang kaku.
Di tengah perubahan lingkungan strategis, saya melihat hanya pemimpin-pemimpin pragmatis yang berorientasi pluralis, berwawasan geopolitik dan berjiwa revisionis yang bisa menjembatani upaya menuju tatanan dunia baru –Bangsa Indonesia menerjemahkannya dalam visi “Indonesia Emas 2045“– di era pasca-pandemi dan pra-resesi. Harapannya, saat memimpin nanti, mereka tidak “gagap” membaca dinamika lingkungan strategis dan (paling penting) mampu mendekati peluang dan menjauhi ancaman yang ada.
Berorientasi Pluralisme
Hari ini, kepemimpinan global bukan lagi dominan oleh populisme, namun elitisme dan pluralisme. Era populisme sudah runtuh. Biarkan rekam jejak dan catatan-catatan mengenai populisme menjadi konsumsi ilmuwan sosial-humaniora untuk menjadi kebijaksanaan, tentu agar populisme tidak bangkit lagi. Kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat dan Boris Johnson di Inggris sudah tidak ada. Lainnya seperti Vladimir Putin di Rusia dan Jail Bolsonero di Brazil sedang mengalami goncangan politik yang kuat di dalam negeri, dan konsekuensi turun dari pucuk pimpinan diproyeksikan cukup besar.
Bagi calon-calon pemimpin yang akan berkontestasi pada 2024, gejala ini seharusnya menjadi petanda: narasi-narasi populisme tidak akan laku di kalangan pemilih. Isu politik identitas bisa jadi masih ada, namun saya pikir dampaknya tidak sebesar beberapa tahun lalu. Cukup banyak survei yang memvalidasi argumen ini. Isu politik kelas bisa saja muncul, namun saya rasa bukan lagi soal “kita versus mereka” atau “mayoritas versus minoritas”. Sebaliknya, pemimpin yang mampu meracik isu-isu kesetaraan dan keadilan untuk “semua” –notabene adalah rakyat– akan menjadi pemenang kontestasi politik nanti.
Yang saya ingin tegaskan, gejala politik global hari ini entah: kembali ke elitisme, atau berupaya mendorong pluralisme –yang notabene keduanya adalah antitesis dari populisme. Tentu saja ekspektasi saya bukan elitisme yang berkembang, karena hari ini Indonesia sudah elitis. Lingkaran kekuasaan diisi pemilik modal. Posisi-posisi strategis diisi teknokrat, kalau bukan purnawirawan. Sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan kita terlalu meritokratis, karena lebih dinikmati mereka yang memiliki akses dan sumber daya. Representasi pemimpin elitis pun bermunculan, di Amerika Serikat dan Inggris misalnya.
Ekspektasi saya, pemimpin Indonesia nanti berani bereksperimen dengan pluralisme. Karena pemimpin pluralis paham betul kondisi masyarakat Indonesia yang beragam. Pemimpin pragmatis bisa memelihara demokrasi dengan mengkalkulasi manfaat paling besar di tengah keragaman politik dan sosial-budaya yang ada, dan memprioritaskan musyawarah mufakat dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin pragmatis yang pluralis melihat kehendak rakyat sebagai sesuatu yang dinamis dan fleksibel, karena kalkulasi manfaat ditujukan untuk semua, bukan mayoritas kelompoknya apalagi segelintir elite.
Berwawasan Geopolitik
Pemimpin pragmatis tidak cukup berorientasi pada pluralisme. Mereka juga harus memiliki insting politik bebas-aktif yang tajam. Insting ini hanya bisa dibangun dengan wawasan geopolitik yang luas. Bung Karno misalnya, kebijakan ke Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak hanya untuk kepentingan nasional Indonesia di masa itu, tapi juga berangkat dari kondisi psikologis negara-negara Dunia Ketiga. Lalu Gus Dur yang pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke 13 negara sekaligus dalam sepekan! Di balik langkah ini, ada kalkulasi geopolitik yang cermat dan pertimbangan kondisi psikologis dalam negeri Indonesia.
Karena hari ini sistem internasional bersifat multipolar. Konsekuensi logisnya adalah Indonesia tidak lagi dituntut untuk mendayung di antara dua karang, tapi banyak. Soal diskursus mengenai posisi Indonesia di antara rivalitas Amerika Serikat dan China. Sudah sangat jelas, dalam konteks ekonomi, statistik memperlihatkan Indonesia terlalu dekat ke China. Lalu, dalam konteks keamanan, lebih dekat ke Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Tantangan bagi pemimpin pragmatis, apakah berani untuk tidak populer dengan pasang badan ke salah satu, atau buang badan ke yang lain? Tentu dengan saja dengan hitung-hitungan yang jelas: kepentingan nasional dan risiko geopolitik.
Hakikat politik bebas-aktif juga adalah pragmatis. Kalau tidak populer, tapi manfaat lebih banyak daripada mudaratnya, memilih untuk mendayung ke seberang adalah pilihan sah. Selama mendekat, rakyat bisa sejahtera, pilihan ini sudah benar. Jika dengan mendekat, pembangunan industri yang diinisiasi rezim-rezim sebelumnya, lalu diakselerasi rezim hari ini, bisa terus berlangsung, kenapa tidak?
Tapi, patut digarisbawahi, hanya pemimpin pragmatis dan pluralis yang punya insting tajam seperti ini. Mereka bisa melihat kepentingan dan manfaat dalam konteks yang lebih luas -kehendak rakyat yang berubah-ubah dan dinamis. Bukan lagi kepentingan kelompok mayoritas, apalagi elit yang sifatnya cenderung pasti dan konstan.
Berjiwa Revisionisme
Di tengah kondisi global yang tidak pasti, memilih pemimpin dengan jiwa status quo sangatlah keliru. Setidaknya begitu kata sejarah. Winston Churchill adalah seorang revisionis. Deng Xiaoping adalah seorang revisionis. Gus Dur pun seorang revisionis. Bahkan Donald Trump adalah seorang revisionis. Hari ini, Indonesia sedang butuh pemimpin yang memiliki visi perubahan. Maka pemimpin pragmatis yang pluralis hendaknya menjadi antitesis dari pemimpin sebelumnya. Seperti populisme yang bangkit karena elitisme gagal menjadi solusi, sementara pluralisme sendiri belum pernah terjadi. Pemimpin pluralis pun harus berangkat dari hancurnya populisme dan kegagalan elitisme di masa lalu.
Saya melihat revisionisme adalah penghubung antara pragmatisme dan pluralisme. Revisionisme bisa dilihat dari visi dan program-program perubahan yang ditawarkan pemimpin dalam narasi-narasi kampanyenya. Jika pragmatisme mewajibkan pemimpin untuk bertindak berdasarkan asas manfaat, maka pluralisme memandu pemimpin untuk melihat dan mendengar “akibat” kebijakan-kebijakan terdahulu dari rakyat, lalu menawarkan solusi atas segala “sebab musababnya” kepada rakyat.
Maka sisi revisionisme mendorong pemimpin bahwa kepentingan rakyat itu dinamis dan fleksibel. Tidak bisa mereka bersikeras memaksakan manfaat kepada rakyat, apabila mata dan telinga mereka ditutup. Tidak bisa juga mereka mengklaim kebijakan ini bermanfaat daripada kebijakan itu, apalagi jika kondisi geopolitik terus berubah. Sederhananya, revisionisme mendorong mereka untuk terus bereksperimen dengan kebijakan atas kalkulasi manfaat untuk semua. Mereka dituntut untuk selalu tidak puas, semata-mata karena manfaat atas kebijakan belum dirasakan semua. Jiwa revisionis ini membuat pemimpin terbuka kepada kritik dari rakyatnya yang plural.
Terakhir, soal pemimpin pragmatis yang berorientasi pluralis dan berjiwa revisionis ini, apakah bertentangan dengan Pancasila? Saya katakan tidak. Pragmatisme mendorong mereka untuk menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan dan keteladanan, bukan retorika-retorika dalam seminar dan webinar saja. Pluralisme mengingatkan mereka untuk melihat dan mendengar rakyat, bukan kelompok mayoritas apalagi elite. Sementara revisionisme bisa menjadi refleksi, bahwa implementasi Pancasila harus selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Nilai-nilai Pancasila –Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah/Mufakat. dan Keadilan Sosial– boleh tetap.
Denny Indra Sukmawan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Jakarta