Jakarta, LINews – Dalam Silaturahim Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) 2022di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022), beberapa kali para peserta mengungkit dukungan terhadap Presiden Jokowi agar kembali menjabat sebagai presiden untuk periode ketiga.
Mereka rencananya akan melakukan deklarasi dukungannya secara resmi setelah hari raya.”Habis lebaran kami deklarasi,” kata Ketua APDESI Surtawijaya seperti dikutip media selepas acara Silahturrahmi Nasional Desa di Istora Senayan, Jakarta, Selasa, 29 Maret 2022.
Rencana deklarasi kepala desa merupakan rangkaian “ritual” sistematis untuk agenda penundaan pemilu dan sekaligus upaya untuk memperpanjang jabatan Presiden yang sekarang berkuasa. Sebelumnya Ketum PKB, PAN dan Golkar, serempak menyatakan persetujuan terhadap wacana pemilu ditunda pelaksanaannya.
Menyusul kemudian Sekjen PSI menyatakan tidak setuju untuk menunda pemilu, tetapi setuju jika Jokowi menjadi presiden tiga periode, melalui amandemen UUD 1945 (Kompas, 4 Maret 2022).
Belakangan diketahui, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan maupun ketua DPR Puan Maharani merupakan pejabat yang masuk struktur kepengurusan APDESI sehingga sangat kentara nuansa politisnya.
Rangkaian dukungan untuk penundaan pemilu maupun perpanjangan jabatan presiden sebagaimana dikemukakan diatas mengingatkan kita paa apa yang terjadi pada zaman Orde Baru (Orba) ketika Soeharto berkuasa. Saat itu muncul berbagai kegiatan kebulatan tekad untuk mendukung berkuasanya kembali Presiden Soeharto untuk yang ketujuh kalinya.
Seperti apa gambaran kebulatan tekad yang digalang berbagai pihak dizaman Orba untuk mendorong Presiden Soeharto agar bisa tetap berkuasa ?, Siapa siapa orang disekitarnya yang berperan mengingatkan dan “menjerumuskannya “?, Apakah hal itu juga terjadi pada masa sekarang ketika wacana tiga periode bergulir untuk presiden yang sekarang berkuasa ?. Bagaimana penyesalan Presiden Soeharto setelah diperpanjang masa jabatannya?
Kebulatan Tekad
Dahulu ketika penguasa Orba akan berakhir masa jabatannya, selalu muncul gerakan kebulatan tekad untuk kembali mencalonkannya. Setiap menjelang pemilu dua kata yaitu “kebulatan tekad” begitu akrab ditelinga warga Indonesia.
Kebulatan tekad itu disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari ormas, politisi sampai dengan ulama atau tokoh agama. Sering muncul berita dukungan kebulatan tekad itu dari berbagai daerah yang mengalir deras menghiasai pemberitaan media massa. Pendeknya tak terhitung jumlah lembaga meneriakkan dua kata itu untuk menunjukkan dukungan pada pemerintah yang sedang berkuasa agar bisa kembali menduduki jabatannya.
Mengapa Soeharto saat itu butuh dua kata tersebut, pada hal bukankah dia penentu segalanya?. Dalam hal ini Soeharto memang terbilang cerdas dalam memelihara kekuasaannya. Dengan adanya gerakan kebulatan tekad, maka bisa mengesankan bahwa perpanjangan jabatannya lahir dari keterpanggilan rakyat bukan atas kemauan dirinya. Ia ingin disebut pemimpin yang dirindukan dan dicintai oleh rakyatnya sehingga rakyat dikesankan ingin terus dipimpin olehnya.
Gayung bersambut, segera aspirasi yang dikesankan berasal dari arus bawah itu segera direspons oleh institusi kekuasaan yang berwenang mengeksekusinya. Melalui saluran partai politik yang ada,keinginan itu diwujudkan dalam bentuk pencalonan Soeharto untuk presiden berikutnya. Hampir semua elemen bangsa merasa tidak berdaya mengikuti proses “rekayasa” sistematis tersebut karena memang di desain sedemikian rupa sesuai dengan koridor konstitusi yang ada.
Karena kebetulan waktu itu, tidak ada aturan yang melarang seorang Presiden untuk dicalonkan kembali meskipun yang bersangkutan sudah dua kali menduduki jabatannya. Peluang ini akhirnya dimanfaatkan oleh penguasa Orba tersebut untuk terus berkuasa hingga ketuju kalinya atau 32 tahun lamanya. (Red/Vhe)