Law-Investigasi, Seseorang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Tidak lama kemudian, datanglah orang lain yang juga terdampar di pulau tersebut. Mereka kemudian berkonflik karena memperebutkan makanan, alat bertahan hidup, dan lainnya. Untuk mencegah konflik yang berkepanjangan, keduanya sepakat untuk membuat aturan yang berkaitan dengan kebutuhan dan interaksi sosial di antara mereka. Aturan tersebut kemudian menjadi hukum di antara mereka.
Itulah gambaran dari sebuah ungkapan ibi societas ibi ius yang berarti di mana ada masyarakat di situ ada hukum (Cicero, 106 – 43 SM). Setidaknya ada dua raison d’etre atau alasan keberadaan hukum (Mochtar, 1961). Pertama, hukum sebagai media interaksi sosial dan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, hukum sebagai dasar untuk melaksanakan kebijakan, baik yang bersifat fisik (misalnya pembangunan) maupun non-fisik (misalnya arah pendidikan dan kesehatan nasional).
Namun, seiring dengan perkembangan ilmu hukum dan perubahan perilaku manusia, terjadi pergeseran alasan keberadaan hukum. Ada praktik yang menggunakan hukum sebagai cara bagi penguasa untuk melegitimasi perintahnya agar mendapat dukungan dan kepatuhan dari masyarakat. Praktik ini tumbuh subur di negara yang pembangunan hukumnya menekankan pada sentralisme hukum (legal centralism).
Paradigma sentralisme hukum hanya mengakui eksistensi hukum negara sebagai hukum yang berlaku di masyarakat (Samekto, 2013). Dengan sifat dominan dan peran tunggal di setiap sektor kehidupan, negara berpeluang memarjinalkan, menggusur, mengabaikan, bahkan meminggirkan eksistensi hukum yang lain. Paradigma ini secara sadar membangun dan memfungsikan hukum sebagai hukum sosial pemerintah, atau sebagai pelayan kekuasaan represif, atau sebagai perintah kedaulatan yang didukung oleh sanksi (Nurjaya, 2007).
Dengan demikian, keberadaan hukum hanya sebagai “alat pelaksana” perintah penguasa. Pada titik ini, penguasa akan membatasi, bahkan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan bermakna dalam pembentukan hukum. Hukum tidak lagi bersumber pada wacana yang berkembang di masyarakat, atau sebagai proses akhir dari konflik yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain, keberadaan hukum hanya didasarkan pada keinginan, kepentingan, dan perintah penguasa.
Melalui cara pandang seperti itu, bukan tidak mungkin hukum sering salah kaprah, karena hukum dihidupkan dan diterapkan sesuai dengan keinginan, kepentingan, dan perintah penguasa. Ibarat kacamata kuda, pandangan ini hanya melihat benar dan salah, boleh atau tidak hanya berdasarkan perintah penguasa yang diucapkan melalui hukum negara. Hukum akan diterapkan sesuai dengan perintah penguasa secara seragam dengan mengesampingkan teks hukum dari konteksnya.
Padahal, membaca norma hukum harus dilakukan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual. Misalnya, bagaimana maksud awal hukum itu dibuat, serta dimensi zaman ketika hukum itu dibuat dan ketika hukum itu diterapkan pada zaman yang berbeda. Ada tiga pendekatan untuk melihat hal tersebut, yaitu siapa yang membentuknya, apa konteksnya dan bagaimana iklim politik, ekonomi, dan suasana kebatinan pada saat pembentukan hukum tersebut (Asshiddiqqie, 2021).
Di Indonesia, misalnya, presiden dan legislatif adalah pemegang kekuasaan dominan dalam membentuk hukum (undang-undang). Dengan demikian, makna hukum sangat identik dengan perintah penguasa. Coraknya dapat dilihat dari ideologi yang dianut, iklim politik, ekonomi, dan suasana kebatinan. Misalnya pada era Sukarno di awal kemerdekaan, corak yang dianut saat itu adalah persatuan, sehingga produk hukum yang lahir bercorak persatuan. Sementara di era Soeharto misalnya, dalam rangka memberantas ajaran komunisme, maka produk hukum yang lahir berisi larangan-larangan terhadap ajaran komunisme.
Agenda Politik
Perintah penguasa yang diselundupkan ke dalam hukum juga terkait dengan pengaturan agenda politik penguasa di masa depan. Meskipun mengandung kepentingannya sendiri, penguasa tetap mendalilkan hukum sebagai perwujudan kehendak umum. Melalui argumen ini, ada konstruksi yang ingin dibangun di masyarakat bahwa kepatuhan masyarakat terhadap hukum adalah kepatuhan terhadap kehendak umum. Di sinilah kekuasaan hadir berselimut kehendak umum.
Dalam kaitannya antara hukum dan kekuasaan, Aristoteles menjelaskan bahwa salah satu sumber daya untuk mengoperasikan kekuasaan adalah hukum (Rapar, 2001). Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan juga mengkooptasi dimensi pengetahuan (Foucault, 1994). Dengan demikian, penguasa, dalam hal ini presiden, legislatif, dan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) melalui penguasaan pengetahuan dan hukum berpeluang menggunakan otoritasnya untuk memonopoli hukum.
Melalui monopoli ini, hukum didorong untuk mendominasi semua lini kehidupan. Di saat dominasi hukum terjadi, semua realitas sosial akan dijawab berdasarkan hukum negara. Yang secara tidak langsung berisi perintah dari penguasa. Dengan begitu, terbentuklah pola pikir di masyarakat bahwa sesuatu itu buruk karena hukum melarangnya. Yang dalam arti lain berbunyi: sesuatu itu buruk karena penguasa melarangnya.
Sebut saja penggunaan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP). Pasal ini pada dasarnya mengatur tentang tindak pidana menyiarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Penggunaan pasal ini dalam banyak kasus tidak memperhitungkan kontestasi pembentukan dan penggunaanya di dua era yang berbeda. Seolah-olah pasal ini dihidupkan kembali dengan maksud perintah dari penguasa.
Melalui pendekatan penafsiran historis, dengan menyisir Memorie van Toelichting (risalah pembentukan KUHP Belanda), konteks kedua pasal tersebut diadopsi dari peraturan hukum pidana Belanda yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi angkatan bersenjata Hindia Belanda (Verordeningen van het Militair Gezag). Pada intinya, peraturan ini diberlakukan oleh pemerintah Belanda untuk menghukum orang Indonesia yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan pasal ini setelah kemerdekaan, dengan dasar kondisi masyarakat pada saat itu masih rentan terpecah belah melalui berita-berita yang simpang siur karena terbatasnya akses informasi.
Sementara dilihat dengan pendekatan sosiologis, pasal ini tidak pernah digunakan di tengah-tengah masyarakat atau mati suri selama 68 tahun. Kemudian baru hidup kembali pada 2014, ketika menjerat Burhanuddin Muhtadi yang dilaporkan oleh Serikat Pengacara Rakyat dalam konteks konstelasi politik elektoral. Sejak saat itu, penggunaannya semakin meluas, mulai dari individu ke individu, perusahaan ke individu, namun yang terparah dalam konteks politik, yang bahkan akhir-akhir ini digunakan untuk menyerang para pegiat hak asasi manusia dan demokrasi.
Keraguan terhadap pasal-pasal tersebut muncul bersamaan dengan beberapa pertanyaan yang harus diajukan: Apakah berita bohong berdampak buruk bagi masyarakat atau sebenarnya berdampak buruk bagi posisi penguasa? Bagaimana jika berita bohong muncul untuk menguji kebenaran yang sebenarnya ditutupi oleh penguasa? Semua itu tidak akan terjawab jika hanya bertumpu pada hukum negara, yang ada justru jeruji besi.
Dengan demikian, hukum tidak dapat dimaknai sebagai “barang” yang bebas nilai dan netral (Mukminto, 2019). Keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari kontestasi sejarah dan politik yang melatarbelakanginya. Pada titik ini, hukum disadari sebagai sebuah ilusi atau kesadaran palsu, yang oleh Marx disebut sebagai par excellence.
Hukum dipaksakan masuk ke dalam masyarakat, seolah-olah untuk dipatuhi demi kepentingan umum. Padahal kepatuhan masyarakat terhadap hukum bukanlah demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan penguasa melalui perintah-perintahnya yang dijadikan hukum. Begitulah ilusi ini bekerja.
Delpedro Marhaen peneliti di Haris Azhar Law Office, mahasiswa Program Magister Hukum di Universitas Tarumanagara dan Program Magister Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta