Law-Investigasi – Di tengah semangat pemberantasan korupsi, badai menghantam sistem peradilan. Putusan onslah dalam perkara korupsi tata niaga minyak goreng dengan terdakwa 3 korporasi, ternyata hasil kongkalikong dan pemufakatan jahat antara unsur hakim dengan pengacara dan korporasi. Kasus yang dibongkar penyidik Kejaksaan Agung berbilang pekan dari putusan, ternyata membuka kotak pandora mafia peradilan.
Peristiwa terkini adalah kasus dugaan suap dalam sidang perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau kerap dibilang perkara bancakan minyak goreng periode 2021-2022 yang menjerat tiga perusahaan mulai berjalan sejak 2024. Setahun sebelumnya Kejagung menetapkan tiga korporasi besar dalam bisnis minyak sawit sebagai tersangka, yaitu Musim Mas Group, Permata Hijau Group, dan PT Wilmar Group. Dalam persidangan, jaksa menuntut ganti rugi dari ketiga perusahaan itu senilai Rp 17,7 triliun.
Di luar dugaan, Majelis Hakim mengganjar putusan onslag van alle recht vervolging. Dalam putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025 menyatakan bahwa tiga korporasi—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan, namun dinilai bukan sebagai tindak pidana. Tiga hakim itu adalah Djuyamto sebagai ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dua anggotanya, Agam Syarief Baharuddin dan Ali Muhtarom. Singkatnya, tiga korporasi ini lolos dari jerat pidana.
Pada 27 Maret 2025, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. MA menunggu berkas lengkap untuk diproses secara elektronik. Namun, tak lama berselang, 12 April 2025, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus justru menganggong Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta. Dia ditangkap atas kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar menjelaskan ada sejumlah orang yang ditangkap dalam penyidikan kasus tersebut. Salah satu pihak yang disebutkan ialah Muhammad Arif Nuryanta.
“Penyidik membawa beberapa orang yaitu antara lain WG, yaitu panitera muda perdaya pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kemudian MS dan AR berprofesi sebagai advokat,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/4/2025) lalu.
Penangkapan Arif ini membongkar misteri putusan onslag dalam perkara korupsi CPO dengan terdakwa korporasi. Belakangan diketahui, operasi penyidik initerkait dengan suap agar hakim memberikan putusan onslag dalam perkara tersebut. Saat suap terjadi, Arif Nuryanta menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehari kemudian, jaksa langsung menahan tiga anggota majelis hakim yang menangani perkara minyak goreng itu.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, mengatakan bahwa kongkalikong pengaturan perkara ini berawal ketika persidangan memasuki momen pembuktian. Ariyanto, yang menjadi pengacara tim kuasa hukum ketiga korporasi itu disebut bertemu dengan panitera bernama Wahyu Gunawan, yang juga ditetapkan Kejagung sebagai tersangka.
Julius mendapatkan informasi berkaitan pernyataan Wahyu kepada kepada Ariyanto soal putusan kasus ini bisa melebihi tuntutan jaksa penuntut umum bila tak dikondisikan. Wahyu kemudian menanyakan Ariyanto berapa uang yang bisa disediakan perusahaan untuk mengurus kasus ini. Status Wahyu adalah sebagai panitera muda perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bukan di PN Jakpus. Namun, Arif Nuryanta dan Wahyu disebut-sebut punya riwayat bekerja di satu pengadilan yang sama.
“Jadi, di situ awal mulanya ada kekhawatiran kasus ini tak happy ending bagi terdakwa,” ujar Julius kepada Law-Investigasi, Kamis (1/5/2025).
Ariyanto, sebelumnya dikenal publik sebagai pengacara flamboyan yang kerap flexing di media sosial. Dia kerap tampil bersama partnernya, Marcella Santoso. Keduanya kerap dicitrakan sebagai dynamic duo. Role model pengacara muda ibukota yang secara financial sukses. Tak henti di situ, keduanya melalui Firma HUkum AALF juga dikenal memiliki jiwa filantropi. Ini ditunjukkan dengan divisdi khusus probono di AALF. Mereka mengelola LKBH Mitra Justitia, sebagai akses keadilan untuk kelompok masyarakat tertentu yang bermasalah dengan hukum namun memiliki kendala biaya dan ketidakmampuan sosial menjadi sebab ketidakberdayaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Divisi ini merupakan hasil kolaborasi dengan akademisi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Layanan hukum pro bono yang diberikan pada tahap pra litigasi, dan litigasi. Ada pertimbangan yang digunakan untuk menilai apakah suatu perkara layak untuk ditangani secara pro bono.
Sayangnya, citra yang dibangun bertahun-tahun itu runtuh dalam semalam saja. Duet Ari dan Marsel, diektahui memiliki peran kunci yang sangat signifikan dalam kasus suap ini. Mereka berperan sebagai makelar yang menjembatani kepentingan korporasi dengan hakim-hakim korup tersebut. Uniknya, dalam kasus ini diduga justru pihak hakim lah yang kecentilan terlebih dahulu.
Melalui Wahyu, penawaran mulai dibuka. Pasar malam keadilan digelar, dengan tokoh-tokoh mereka yang berperkara ini. Setelah mendapat konfirmsi dari wahyu Ariyanto lalu meneruskan informasi soal potensi putusan hakim kepada kuasa hukum lain ketiga korporasi itu yang tergabung dalam Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF), yakni Marcella Santoso. Berbekal informasi ini, Marcella lantas menghubungi Head of Social Security License Wilmar Group yang bernama Muhammad Syafei, belakangan juga menjadi tersangka.
Syafei dan Marcella dua kali bertemu. Dalam momen itu, Syafei bilang sudah menyiapkan tim yang bisa mengurus perkara ini. Tim yang dia maksud adalah pihak yang bisa mengeluarkan sejumlah uang dari perusahaan untuk mendapat putusan bebas. Jumlah untuk urus perkara mulanya adalah Rp20 miliar. Mendapat konfirmasi pihak perusahaan yang akan menggunakan cara suap, Marcella lantas menyampaikan hal itu kepada Ariyanto.
“Semua berawal dari pertemuan kuasa hukum dan pihak perusahaan. Persisnya tidak tahu tapi yang jelas ada kesepakatan untuk ambil jalur kotor menyelesaikan perkara” kata Julius.
Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu. Dalam momen itu, ada juga Arif Nuryanta, yang menyampaikan setoran Rp 20 miliar tak cukup untuk atur perkara ini. Karena kurang, Arif disebut meminta lebih hingga tiga kali lipat atau sebesar Rp 60 miliar demi bisa mengondisikan hakim, dan ketiga korporasi itu bebas terjerat hukum.
Dari pertemuan itu, Ariyanto meneruskan permintaan kenaikan setoran kepada Marcella. Oleh Marcella, permintaan itu diteruskan kepada Muhammad Syafei. Singkat cerita, Syafei tak ambil pusing soal uang Rp 60 miliar untuk membereskan perkara. Tak lama Marcella melobi Syafei, uang itu sudah siap diberikan ke tim kuasa hukum tiga korporasi itu. Namun, penyerahan uang bermula dari pertemuan Syafei dan Ariyanto. Mereka berjumpa di sebuah area parkir kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan atau tak jauh dari kantor hukum AALF. Selepas terima uang puluhan miliaran itu, Ariyanto langsung mengantar uang suap ke rumah Wahyu. Uang Rp 60 miliar disisir sebagian untuk Wahyu, dan diduga mendapat komisi itu dari Arif Nuryanta. Dari tangan Arif, Djuyamto dan dua hakim lain menerima total Rp22 miliar. Dan selebihnya masuk dalam kantong Arif.
Julius menduga mafia peradilan memang sudah mengakar. Penunjukan tiga hakim dalam korporasi ini disebut sarat konflik kepentingan. Begitu pula dengan penunjukan Arif Nuryanta sebagai pimpinan PN Jakpus. Julius menitikberatkan promosi yang didapat Arif tak terlepas dari peranan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Bambang Myanto. Adapun Arif dan Bambang pernah bekerja bersama saat bertugas di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
“Pintu masuknya adalah konflik kepentingan. Ujungnya jadi permufakatan jahat,” ujar Julius.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar tak menafikan adanya kelindan kasus mafia peradilan yang membelit mantan pejabat MA, Zarof Ricar, dengan terbongkarnya patgulipat kasus suap perkara kasus korupsi minyak goreng. Sebab, saat lobi-lobi perkara ini masih berlangsung, penyidik Kejaksaan Agung sedang mengusut kasus suap vonis bebas pembunuhan yang melibatkan Gregorius Ronald Tannur di Surabaya, Jawa Timur.
Saat itu jaksa juga menangkap Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, yang dituduh menjadi makelar perkara dalam vonis bebas Ronald Tannur. Selepas menangkap Zarof, jaksa menetapkan eks Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rudi Suparmono, sebagai tersangka. Rudi masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2024 dan memimpin pengadilan itu, yang didampingi Arif Nuryanta.
Saat menggeledah sejumlah lokasi dalam kasus Zarof, penyidik menemukan sejumlah perangkat elektronik. Ditemukan ada nama pengacara Marcella Santoso berserta kasus-kasus yang ditanganinya.
“Ketika dalam penanganan perkara (di Surabaya), ada juga informasi soal nama MS (Marcella Santoso), tapi saat itu kami belum tahu siapa dia,” kata Harli kepada Law-Investigasi, Kamis (30/4/2025).
(Vhe)