Law-Investigasi – Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat DPRD pernah dilemparkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tahun 2019 lalu. Saat itu, Tito membuka kemungkinan untuk melakukan evaluasi terhadap sistem Pilkada yang sudah berlangsung 20 tahun.
Menurutnya, sistem Pilkada langsung harus dipertanyakan kembali relevansinya. Tito memaparkan saat itu bahwa sistem Pilkada langsung juga memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah politik berbiaya tinggi yang rentan membuat kepala daerah melakukan korupsi.
“Tapi kalau dari saya sendiri, justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun?” kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 November 2019 silam.
“Kita lihat mudaratnya (pilkada langsung) juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia,” tambah Tito.
Isu itu kemudian direspons berbagai pihak yang mengkritik pernyataan Tito. Penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu ikut buka suara, termasuk Presiden Joko Widodo. Jokowi melalui juru bicaranya menegaskan pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung.
Selang satu tahun, Tito kembali melemparkan wacana Pilkada Asimetris kepada publik. Menurutnya, selama ini Pilkada asimetris sudah berlangsung di beberapa daerah seperti DI Yogyakarta dan DKI Jakarta.
“Contoh Yogya karena keistimewaannya maka Sri Sultan jadi Gubernur tanpa dipilih langsung rakyat. Kita lihat juga di DKI, wali kota, (bupati) Kepulauan Seribu dipilih Gubernur jadi dia tak ada beban untuk balikkan modal. Jadi asimetris itu sudah terjadi,” kata Tito dalam diskusi virtual yang diadakan Negara Institut, 20 Juni 2020.
Baca Juga: KPU Bisa Tolak Pasangan Capres Tunggal yang Diusung Seluruh Parpol
Setelah wacana itu surut akibat mendapat penolakan, kini Ketua MPR Bambang Soesatyo yang kembali melemparkan isu tersebut kepada publik. Hal ini diketahui ketika para pimpinan MPR bertemu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Saat menjamu Wantimpres, para pimpinan MPR itu membahas evaluasi sistem pilkada sambil menyoroti peningkatan kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah dalam beberapa waktu terakhir.
Menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet langkah mengembalikan Pilkada dilakukan di tingkat legislatif level daerah atau DPRD itu sah saja dilakukan. Dia mengatakan proses itu pun tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila.
Bamsoet mengatakan, mengkaji sistem pelaksanaan pilkada secara langsung bukan langkah yang tidak boleh dilakukan.
“Namun bukan berarti kajian mendalam terhadap pelaksanaan pilkada langsung tidak boleh dilakukan. Mengingat menurut pasal 18 ayat 4 UUD 1945, gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” kata Bamsoet dalam keterangannya usai menjamu Wantimpres.
Hingga kini, berbagai pihak masih mengkritisi wacana Pilkada tidak langsung, termasuk oleh DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mewanti-wanti praktik politik dagang sapi yang bisa muncul andai Pilkada dikembalikan ke DPRD.
Menurut Saan, dalih pilkada langsung yang saat ini diterapkan memunculkan praktik korupsi yang meluas di daerah belum bisa dibuktikan. Selain itu, pilkada lewat DPRD juga tak menjamin akan bebas dari transaksional.
“Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politics? Jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi money politics di situ bukan lagi put buying, tapi lebih kepada dagang sapi,” kata Saan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/10).