Bandung, LINews – Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap MT yang terjerat perkara penipuan Rp. 100 M. Sidang putusan tersebut digelar di ruang 3, Selasa (17/6).
Menurut majelis hakim Tuty Haryati dalam putusannya, MT terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Putusan tersebut merupakan bagian dari proses penegakan hukum atas dugaan tindak pidana yang melibatkan terdakwa, yang telah menjalani serangkaian persidangan sejak awal tahun 2024.
Putusan ini lebih ringan 6 bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut hukuman 3 tahun 6 bulan penjara.
Perkara ini bermula dari laporan The Siauw Tjhiu yang mengaku dirugikan setelah memberikan pinjaman modal sebesar Rp. 100 miliar kepada terdakwa. Dana tersebut dibayarkan melalui cek, namun saat dicairkan, cek ditolak oleh pihak bank.
Merasa tertipu, pelapor kemudian melapor ke Polda Jawa Barat hingga kasus ini bergulir ke meja hijau.
Tim Penasihat Hukum terdakwa , Edward Edison Gultom, S.H merasa aneh dan menganggap ada kekeliruan hakim atas putusannya.
“Kami kecewa karena dalam putusan ini klien kami tetap dinyatakan bersalah, padahal, seharusnya Jaksa Penuntut Umum yang wajib membuktikan kesalahan, bukan terdakwa yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah,” ujar Edward kepada awak media usai persidangan.
Menurutnya, terdapat sejumlah kejanggalan yang akan menjadi bahan pertimbangan Tim Penasihat Hukum untuk mengajukan upaya hukum banding, diantaranya:
Pembuktian terbalik
Terdakwa justru dibebani pembuktian tidak bersalah, yang semestinya menjadi tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak bisa membuktikan tidak melakukan penipuan, oleh karena itu Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah melakukan penipuan, hal tersebut sangatlah keliru.
“Beban pembuktian tidak bersalah bukanlah pada diri terdakwa melainkan Jaksa Penuntut Umum yang harus membuktikannya, ” tuturnya.
Pasal 64 KUHP Dipakai Tanpa Dibuktikan
Meski jaksa tidak memasukkan pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut dalam tuntutannya, hakim justru mempertimbangkannya dalam putusan.
Hal ini tentu menjadi sangat aneh, suatu pasal yang tidak dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, justru dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, Hal ini merupakan putusan Ultra Petita dan cacat yuridis.
Keanehan Unsur Penipuan
Dalam fakta persidangan, sebanyak 472 lembar cek kosong disebut baru dicairkan pada tahun 2021, sementara perbuatan terjadi di rentang tahun 2017–2018.
Tim Penasehat Hukum menilai ini sebagai indikasi kuat bahwa tidak ada niat awal untuk menipu, selain itu masih banyak fakta-fakta hukum yang meringankan lainnya yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
“Kalau memang ada niat menipu, mengapa menggunakan ratusan cek? Cukup satu atau dua saja sudah cukup. Ini yang menurut kami mengarah ke dugaan window dressing oleh pihak pelapor dalam meningkatkan performa rekening untuk kepentingan internal mereka sendiri,” tambahnya.
Terhadap putusan tersebut Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H. menyebutkan masih pikir-pikir dulu, untuk memutuskan langkah serta upaya hukum kedepannya yang akan ditempuh. Terlebih Tim Penasihat Hukum masih mengupayakan segera memperoleh salinan putusan untuk dipelajari lebih lanjut.
Kasus ini menyoroti praktik penggunaan cek sebagai alat pembayaran dalam jumlah besar tanpa dana yang memadai, yang kemudian dijadikan dasar laporan pidana. Persidangan ini pun menjadi perhatian publik karena nilai kerugian yang sangat besar dan kerumitan pembuktian dalam proses hukumnya.
Baik Jaksa Penuntut Umum maupun pihak terdakwa sama-sama menyatakan akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya, dengan demikian, perkara ini belum sepenuhnya selesai dan bisa saja berlanjut ke tingkat lebih tinggi.
(Nas)