Jakarta, Law-Investigasi – Kebenaran selalu menemukan jalannya meski kadang dengan cara yang tak terduga. Seperti halnya hobi dari anak dan istri pejabat di Kementerian Keuangan. Meskipun hal ini sudah menjadi kebiasaan umum untuk memamerkan kegiatan di medsos. Namun, kali ini, postingan flexing menjadi pintu masuk pengungkapan sejumlah kejanggalan di Kementerian tersebut.
Kejanggalan tersebut lantas ditindaklanjuti oleh Pusat Pelaporan dan Anlisa Transasksi Keuangan (PPATK). Hasilnya sungguh mengejutkan. Ratusan milyar, bahkan ditengarai ratusan triliun, aliran dana mencurigakan terungkap.
Jelas ini menampar pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kerap menggunakan slogan kesederhanaan. Selain itu, temuan PPATK bukan sekedar menemukan medsos sebagai ajang pamer saja. Namun, telah menemukan aliran dana yang diduga berkaitan dengan pidana asal korupsi.
Sayangnya, alih-alih bersikap tegas terhadap anak buahnya, Sri Mulyani justru hanya memberikan himbauan agar jajarannya tidak lagi posting kemewahan di medsos
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, melihat ini sebagai monumen kegagalan reformasi birokrasi. Jokowi harus melakukan pembersihan besar-besaran di Kementerian Keuangan. Langkah ini haru dimulai dengan mencopot Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Justru yang sangat vital, yang kotor ini harus dibersihkan, jadi Pak Jokowi ini sebagai pimpinan itu harus memberhentikan Sri Mulyani,” kata Anthony dalam acara diskusi Front Page Communication, bertemakan “Dosa Pajak Sri Mulyani“, di Kopi Timur, Jakarta Timur, Selasa (14/3/2023) sebagaimana dilansir RMOL.
Anthony menambahkan masyarakat Indonesia sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah. Bahkan, ketika pengungkapan gaya hidup mewah pejabat Kemenkeu diklaim sebagai bentuk bersih-bersih. “Karena saat ini sedang disorot, kalau dia mengatakan A, B, C, kita poling saja, saya rasa masyarakat Indonesia tidak percaya dengan Kemenkeu bersih-bersih,” ujarnya.
Menurutnya, penyelewengan jabatan di pejabat Kemenkeu berjalan secara sistematis, dan terstruktur. “Jadi, ini tidak bisa didiamkan. Pak Jokowi harus mengganti pimpinan ini, dengan pimpinan yang bersih. Kalau tidak mau (bersih-bersih) nama Pak Jokowi akan tercoreng,” tutupnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Salamuddin Daeng mencoba merakit kembali, apa yang sudah ia sampaikan sejak tahun 2015. Sebelum menjadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani menulis artikel di salah satu jurnal Internasional, judul artikelnya adalah ‘dirty money and development’ . Tidak banyak yang tahu kalau dia menulis artikel itu sebagai direktur Bank Dunia.
Ia mengatakan bila dirty money itu adalah uang kotor dan pembangunan, jadi yang dimaksud oleh Sri Mulyani adalah uang dari kejahatan keuangan dengan berbagai bentuk dan manifestasinya. “Itu nanti DPR bisa tanya tentang tulisan lama judulnya dirty money and development, ini kan Sri Mulyani sudah menjadi pejabat resmi negara Indonesia, masihkah membawa satu logika bahwa uang kotor ini kita akan pakai buat pembangunan,” kata Salamuddin kepada Law-Investigasi.
Selain itu ia juga menyinggung soal Tax Amnesty. Seperti diketahui bila pada 16 Juli tahun 2016, undang-undang tax amnesty ini disahkan. Saat itu, ia diminta untuk jadi saksi ahli di mahkamah konstitusi oleh beberapa pihak untuk menolak undang-undang tersebut. “Saya katakan di hakim konstitusi bahwa undang-undang tax amnesty akan menjadikan Indonesia sebagai suatu negara yang menjadi pusat pencucian uang terbesar di dunia karena dasar pemberlakuan tax amnesty adalah tidak mengetahui asal-usul uang, tidak ingin mencampuri asal usul uang, yang penting uang ini masuk ke dalam ekonomi Indonesia maka dia akan di amnesti dengan membayar denda kepada negara, itu bayangin,” ungkapnya.
Bila melihat peristiwa yang heboh sekarang, tiba-tiba Menkopolhukham Mahfud MD mengatakan bahwa uang Rp 300 triliun itu bukan merupakan hasil korupsi tapi merupakan pencucian uang. Salamuddin menyatakan bila merujuk pada Tax Amnesty ada dugaan bila kementerian keuangan kita sudah menjadi pusat pencucian uang dan kalau basisnya perpajakan, terdapat dua ukuran yakni secara normal dikenakan pajak biasa atau progresif teks.
“Kalau basisnya tax amnesty ini lebih dahsyat lagi, misalnya mereka pegang data tax amnesty demikian banyak kemudian hasilnya 300 triliun, yang dilaporkan kepada negara 160 triliun sebagai penerimaan tax amnesty, anda bayangkan berapa jumlahnya, itu denda tax amnesty itu 0,02% Anda harus bagi 300 triliun bagi 0,02, itu hasilnya berapa,160 dibagi 0,02 itu 8000 triliun, berarti uang yang dimaksud dengan angka 300 itu adalah 8000 triliun transaksi keuangan, kalau basisnya tax amnesty,” paparnya.
Ia juga menyebut bila penerimaan pajak negara dalam dua dekade terakhir itu sudah tidak masuk akal, penerimaan pajak negara terhadap GDP itu turun. Indonesia dulu pernah 27% Pak di zaman orde Baru, kemudian turun sampai 7%, tahun 2018 berada di angka 8,3% GDP, menurunnya itu terlalu sistematis.
“Nah inilah permainan mereka di dalam, jadi kalau mereka ini dipandang pintar sekali untuk mencicil-cicil pemasukan negara dengan teknik semacam itu ada ilmunya,” urainya.
Salamuddin menyebut bila DPR perlu untuk mendalami tentang permasalahan yang terjadi di instansi perpajakan. Ia menyebut ada opsi untuk membekukan kementerian keuangan bila permasalahan ini sudah semasif itu., Sementara Kemenkeu dibekukan dan di investigasi kemudian diambil alih presiden. “Jadi semua transaksi di sentralkan ke atas kalau enggak, enggak bakal selesai.
Bicara 300 triliun ndak mungkin kita bisa lawan, apalagi bicara 8000 triliun kalau basisnya tax amnesty, nah ini mungkin PPATK saya yakin semua ada informasi di sana, tinggal apa namanya kalau ini diurut-urut ke belakang ini uang apa, ya PPATK juga tahu,” ujarnya. Selain itu, belum lagi belakangan ini terkait dengan uang hasil eksploitasi sumber daya alam, sebagai contoh sekarang ini kan harga batubara sudah tidak menentu.
“Kayak gini aja berapa seharusnya penerimaan negara, tapi kan apa yang terjadi cadangan devisa turun, coba negara ini di tengah kenaikan harga komoditas cadangan devisa turun, itu sudah nggak masuk akal semua tindakan-tindakan para pejabat di kementerian keuangan,” tutupnya.
Di tengah desakan agar Sri Mulyani mundur atau dicopot, hal berbeda disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad. Dia tidak setuju bila Sri Mulyani harus mundur dari jabatan Menteri Keuangan. Menurutnya Menkeu harus bertanggung jawab dulu menuntaskan tugas ini.
Kamrussamad menyoroti kejadian yang terjadi di sejumlah pegawai yang memiliki kekayaan tak wajar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Menurutnya, adanya kasus ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap Kementerian Keuangan khususnya wajib pajak kepada DJP. Pasalnya, setiap tahun, anggaran yang digelontorkan cukup besar kepada instansi keuangan tersebut. Salah satu kasus yang sangat menjadi sorotan publik adalah kasus mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo. Karena itu, Komisi XI DPR akan memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya pada 27 Maret 2023 mendatang.
Nantinya, pembahasan akan difokuskan terkait reformasi birokrasi dan reformasi perpajakan. Supaya hal yang menjadi kerancuan ditengah publik bisa segera terjawab.
“Kita menyesalkan apa yang telah terjadi di DJP (dengan) adanya temuan. Harapan publik yang begitu besar ternyata telah diabaikan. Kita menganggap reformasi perpajakan yang didengungkan telah berhasil, (tapi kini) belum mampu menjaga kepercayaan wajib pajak dan ini sangat penting untuk dikembalikan,” kata Kamrussamad kepada Law-Investigasi.
Atas kasus itu, Legislator Fraksi Gerindra itu meminta Menkeu mengambil langkah cepat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Pasalnya, pilar utama untuk pembangunan nasional berkelanjutan adalah penerimaan negara yang salah satu sumbernya dari pajak.
“Kepercayaan wajib pajak berpengaruh terhadap institusi perpajakan kita, ini pekerjaan baru yang harus dikembalikan,” tegasnya.
Selain itu, ia juga meminta Menkeu untuk mengevaluasi para pejabat di Eselon I dan Eselon II secara keseluruhan. “Bukan hanya pegawai tertentu yang kasusnya mencuat, tapi langsung mengevaluasi secara keseluruhan. Kalau tidak, wajib pajak nanti akan semakin turun kepercayaan terhadap institusi perpajakan kita,” ucapnya.
Politisi Partai Gerindra ini juga memaparkan bila Dirjen pajak ini sudah bertugas selama lebih dari 6 tahun menjabat dan dalam kurun waktu enam tahun lebih ini sudah cukup banyak peristiwa yang terjadi. Menurutnya, sudah waktunya juga ya karena eselon 1 ada di tingkat presiden, sudah waktunya juga mungkin Dirjen pajak ini untuk dievaluasi dan bisa mengeksekusi oknum aparat yang memang abuse of power.
Pasalnya, hal tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan di lingkungan DJP dan supaya publik juga mengetahui semua hal yang terjadi. “Karena kalau tidak gerakan yang didengungkan oleh publik tentang kepercayaan terhadap institusi perpajakan berdampak pada kewajiban membayar pajak, itu tidak akan tidak bisa diantisipasi jika tidak ada langkah besar yang dilakukan oleh presiden dan Menteri keuangan,” paparnya.
Rangkaian kejadian di Lapangan Banteng, markas Kementerian Keuangan seolah membuka labirin yang selama ini disarukan dengan kinerja yang terlihat kinclong. Faktanya pengelolaan keuangan negara, terutama pajak, dilakukan secara ugal-ugalan demi kepentingan sekelompok maling anggaran yang berseragam petugas pajak. Kejahatan terbesar para pembegal pajak ini bukanlah semata karena menilap hak negara. Tercorengnya wajah institusi dan runtuhnya kepercayaan publik hingga seruan boikot pajak merupakan kejahatan terbesar para mafia pajak yang hingga kini masih beroperasi.
(Tim Liputan Investigasi/Remond)