Korupsi dalam pandangan ST Burhanudiin
Institusi Kejaksaan seakan tidak bisa dilepaskan dengan kasus korupsi. Bahkan bisa dibilang Kejaksaan identik dengan kasus-kasus korupsi, meskipun kasus yang ditangani Korps Adhyaksa sangat beragam, seperti kasus perdata, tata usaha negara hingga hak asasi manusia.
Penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan tak hanya oleh Kejaksaan Agung, tapi juga Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di daerah.
Namun Kejaksaan Agung lah yang kerap mendapatkan sorotan, karena memang kasus-kasus korupsi kelas kakap ditangani disana, diantaranya kasus Korupsi Jiwasraya dengan nilai kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun, kasus Asabri dengan nilai kerugian negara hingga Rp20 triliun dan kasus impor tekstil Batam.
Bahkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyebut, total kerugian negara yang diselamatkan Kejaksaan Agung telah mencapai Rp46,8 triliun.
Sejak menjadi jaksa, ST Burhanuddin sendiri mengaku sudah sering menangani kasus-kasus korupsi. Saking banyaknya, ia mengaku sampai lupa jumlahnya.
Namun satu hal yang pasti, ia menilai korupsi adalah sebuah penyakit kronis yang dampaknya sangat besar dan tidak main-main.
Saking fatalnya dampak korupsi, ujar ST Burhanuddin, dampaknya dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut dia, ada dua faktor yang dapat menyebabkan korupsi bisa terjadi, yakni faktor internal yang berasal dari dalam diri sendiri dan faktor eksternal yang mempengaruhi seseorang dari luar dirinya.
Ia menjelaskan, faktor internal yang memengaruhi seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi itu timbul dari rasa serakah dan gaya hidup yang konsumtif.
Sedangkan faktor eksternal yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi yaitu masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap apa itu korupsi serta besarnya dampak rusak yang diakibatkan oleh korupsi.
“Terkadang motif ekonomi juga menjadi pendorong seseorang melakukan tindak korupsi, khususnya jika seseorang memiliki jabatan atau wewenang khusus yang dapat digunakan untuk mencapai keuntungan, baik untuk dirinya maupun untuk pihak lain,” sambung ST Burhanuddin.
Oleh karena itu, tambah ST Buhanuddin, penanggulangan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh, sistematis dan berkesinambungan, meliputi langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan.
Meski upaya pemberantasan korupsi di Indonesia semakin membakik, menurut ST Burhanuddin, hal tersebut tetap harus dievaluasi secara berkala. Ia mengatakan, dalam suatu sistem hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi, tidak ada yang sempurna, selalu ada kekurangan, karena selalu ada perubahan dalam masyarakat.
Karena itu ia merasa Kejaksaan Agung tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya penindakan kasus tindak pidana korupsi.
Perlu dukungan dan sinergisitas antar aparat penegak hukum, seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan yang tak kalah penting, menurut ST Burhanuddin, adalah petan serta masyarakat.
Pada titik ini, ia menilai kepolisian dan KPK adalah mitra Kejaksaan untuk menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Kami semua adalah mitra kerja. Kami semua melaksanakan tugas sesuai dengan tugas yang dimiliki sesuai dengan amanat peraturan undang-undang yang berlaku,” ujar ST Burhanuddin.
Terobosan Hukum dengan Restorative Justice
Salah satu kebijakan yang gencar dilakukan Kejaksaan dalam beberapa waktu belakangan ini adalah Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Ini adalah sebuah upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan, yang lebih mengedepankan rasa keadilan melalui kearifan lokal atau hukum adat yang sifatnya lebih dinamis.
Menurut ST Burhanuddin, kebijakan penyelesaian perkara dengan cara ini banyak dilakukan di era kepemimpinannya, karena adanya sejumlah perkara yang menarik perhatian dan mengusik rasa keadilan masyarakat.
Ia mencontohkan kasus Nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian 3 buah kakao di perkebunan Rumpun Sari Antan, beberapa waktu lalu.
Dalam kasus tersebut ia di vonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Menurut ST Burhanuddin, kasus Nenek Minah mengusik rasa keadilan banyak pihak, karena hanya dengan 3 buah kakao, seorang nenek yang sudah renta tetap menjalani proses hukum yang panjang.
Atas dasar itulah, ia sebagai Jaksa Agung menekankan kepada seluruh jajaran, para Jaksa di seluruh Indonesia, bahwa Jaksa adalah sebagai pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis.
Maksudnya adalah Jaksa dapat menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak untuk disidangkan di pengadilan, sebab tugas Jaksa adalah sebagai penyeimbang antara kepastian hukum dan rasa keadilan.
Menurut dia, urgensi dari restorative justice adalah para jaksa harus dapat memberikan rasa keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Saya tidak menghendaki Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di Masyarakat. Sebab rasa keadilan tidak ada di dalam buku-buku, namun berada dalam hati nurani dengan memperhatikan keadilan di masyarakat,” tegas ST Burhanuddin.
Ia menambahkan, penyelesaian perkara pidana melalui jalur litigasi dalam prakteknya kadangkala berjalan melenceng dari tujuan hukum maupun rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
Seperti pola pemidanaan yang masih bersifat pembalasan, terjadinya penumpukan perkara akibat proses yang berlarut-larut, kurang memperhatikan hak-hak korban, mengabaikan asas peradilan sederhana cepat biaya ringan, penyelesaian bersifat legistis dan kaku sehingga tidak memulihkan dampak kejahatan, dan tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat.
Karena itulah ia menggagas berdirinya Rumah Restorative Justice di sejumlah daerah, sebagai bukti keseriusan Kejaksaan dalam mengimplementasikan penyelesaian perkara melalui konsep keadilan restoratif.
Menurut ST Burhanuddin, dasar filosofi penyebutan rumah disini dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan.
Dan hingga 7 Juni 2022, telah terbentuk 405 Rumah Restorative Justice di seluruh Indonesia. Sementara hingga 11 Mei 2022, suda ada 1.070 perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua.
“Oleh karena itu saya berharap Rumah Restorative Justice dapat menjadi sebuah rumah bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa untuk mengaktualisasikan budaya luhur Bangsa Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara,” ujar ST Burhanddin.
Rencana dan Harapan Kedepan
Menurut ST Burhanuddin, selama tiga tahun ia menjadi Jaksa Agung, ia telah berhasil eningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan. Hal itu terlihat dari sejumlah survei yang dilakukan sejumlah kelompok masyarakat.
Diantaranya hasil survei bertajuk Persepsi Publik Terhadap Kinerja Instansi Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indikator pada April 2022 lalu.
Dalam survei tersebut, Kejaksaan mendapatkan nilai kepercayaan masyarakat yang cukup baik, yakni 68 persen.
ST Burhanuddin juga mengutip hasil penilaian terhadap Kinerja Penegak Hukum Tahun 2021, yang disusun oleh LSM pemantau korupsi, ICW.
Dalam penilaian tersebut, Kejaksaan mendapatkan nilai B yang telah menangani 371 kasus dengan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp26,5 Triliun.
Kemudian Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia pada 8 Juni 2022 kembali merilis hasil survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara pada Mei 2022.
Dalam survei tersebut tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya.
Jika pada periode April 2022 Kejaksaan Agung berada di posisi 8 (delapan), maka pada bulan Mei 2022 berada diurutan 4 (empat) teratas setelah TNI, Presiden dan Kepolisian yang mendapatkan kepercayaan masyarakat.
“Atas capaian tersebut, tentu saya mengucapkan Alhamdulillah dan terima
kasih atas meningkatnya kepercayaan publik kepada Kejaksaan, hasil survei tersebut akan kami dijadikan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi,” kata ST Burhanuddin.
Namun dari semua pencapaian, yang paling sulit bukan dalam meraih, namun mempertahankan dan meningkatkan lagi semua yang sudah didapat. Hal itu disadari betul oleh ST Burhanuddin.
Sementara itu, ST Burhanuddin ditunjuk menjadi Jaksa Agung untuk periode 2019 hingga 2024. Lalu apa yang akan dilakukan dirinya jika sudah tidak lagi menjabat sebagai Jaksa Agung?
ST Burhanuddin tidak menjawab dengan rinci apa saja rencananya ke depannya. Mungkin ia masih dalam tahap merencanakan, belum memutuskan.
Ia hanya mengatakan, apapun yang terjadi nanti setelah 2024, ia berharap terus bisa memberikan yang terbaik untuk sesama.
“Manusia memang tempat berencana, tetapi hanya Tuhan yang menentukan, yang terpenting terus semangat menjalani hidup, terus berusaha menjadi lebih baik,” pungkasnya. (Vhe)