Ryan Susanto Divonis Bebas dalam Kasus Dugaan Korupsi Tata Niaga Timah Rp 271 Triliun

Ryan Susanto Divonis Bebas dalam Kasus Dugaan Korupsi Tata Niaga Timah Rp 271 Triliun

Babel, LINews – Vonis bebas yang diterima Ryan Susanto alias Afung oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pangkalpinang dalam kasus dugaan korupsi terkait kegiatan pertambangan di kawasan Hutan Lindung Pantai Bubus, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, menjadi sorotan.

Putusan ini dinilai berpotensi menjadi preseden bagi kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah senilai Rp271 triliun yang sedang disidangkan di Tipikor Jakarta.

Pada sidang putusan Selasa (3/12/2024), Ketua Majelis Hakim Dewi Sulistiarini menyatakan bahwa Ryan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dewi menegaskan bahwa kasus ini lebih tepat masuk dalam ranah pidana lingkungan hidup.

“Kasus ini bukan tindak pidana korupsi, melainkan pidana lingkungan hidup terkait penambangan tanpa izin di kawasan hutan lindung. Seharusnya penuntut umum mendakwa berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup,” ujar Dewi dalam pembacaan putusan.

Majelis Hakim mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dari pertambangan timah di Bangka Belitung, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

Penutupan smelter-smelter timah akibat proses hukum tata niaga timah telah memicu peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di wilayah tersebut.

Putusan bebas Ryan Susanto memberikan angin segar bagi pelaku usaha di sektor pertambangan.

Jika prinsip serupa diterapkan dalam kasus tata niaga timah yang sedang berlangsung, ada potensi pengadilan memberikan putusan yang mengedepankan moral justice dan social justice.

Para ahli hukum, seperti Prof. Romli Atmasasmita, menyoroti kerugian negara yang dihitung berdasarkan kerusakan lingkungan dalam kasus tata niaga timah.

Romli mengingatkan bahwa kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus bersifat konkret (actual loss) dan dihitung oleh instansi berwenang, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal,” jelas Romli.

Prof. Abrar Saleng, pakar hukum pertambangan Universitas Hasanuddin, juga menyatakan bahwa pelanggaran dalam sektor tambang biasanya masuk dalam ranah administrasi, bukan pidana.

“Penyidikan tindak pidana pertambangan hanya boleh dilakukan oleh PPNS Kementerian ESDM dan Kepolisian,” tambahnya.

Dr. Mahmud Mulyadi dari Universitas Sumatera Utara menekankan pentingnya menguji undang-undang mana yang relevan dalam suatu kasus.

(Hmz)

Tinggalkan Balasan