Serangan Koruptor vs Pelemahan KPK

Serangan Koruptor vs Pelemahan KPK

Jakarta, LINews – When the corruptors strike back (serangan balik para koruptor) tengah menjadi alasan oknum penegak hukum yang dilaporkan melakukan pemerasan atau menerima suap dari tersangka kasus korupsi. Ini termasuk dalih dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat mendapat sorotan publik karena diduga melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL)). Waktu itu SYL sebagai Menteri Pertanian dalam Kabinet Indonesia Maju.

Bisa jadi orang yang terlibat kasus korupsi memang melakukan serangan balik. Serangan balik tidak ada artinya jika kemudian dalam pengusutan terbukti sang koruptor memang melakukan tindak korupsi itu. Sementara itu perkara serangan balik tetap dibuktikan secara terpisah. Ada atau tidak ada serangan balik, perkara korupsi akan tetap diusut.

Tidak semua koruptor berminat melakukan serangan balik. Alasannya; pertama, sang koruptor ingin fokus dalam menghadapi kasusnya, sehingga melakukan serangan balik dianggapnya hanya buang-buang waktu, energi, dan biaya. Kedua, bukti-bukti untuk menyerang balik tidak cukup, kalaupun ada sangatlah sumir. Bagaimanapun oknum aparat penegak hukum piawai untuk tidak meninggalkan jejak kejahatannya. Ketiga, melakukan serangan balik dikhawatirkan justru akan menyulitkan diri sendiri. Bagaimanapun pihak yang diserang balik akan terpukul sehingga wajar kalau kemudian dengan kewenangannya akan lebih menyudutkan pihak pelapor.

Pelemahan KPK

Serangan balik bisa ditujukan kepada semua institusi penegakan hukum, seperti KPK, Kejaksaan Agung, atau Kepolisian (Polri). Tentu terutama yang paling gencar serangannya adalah ke KPK. Wajar karena label pemberantasan korupsi melekat pada KPK.

Serangan balik model lunak dilakukan melalui revisi undang-undang di DPR dan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi atau pengujian peraturan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung. Pasal-pasal yang dianggap terlalu menyudutkan terduga atau tersangka korupsi diuji.

Di Indonesia pada 2010 KPK pernah dicoba dilemahkan melalui rekayasa penyuapan terhadap komisioner KPK Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah. Kasus yang menghebohkan itu walaupun dapat diselesaikan, tapi tetap menghabiskan energi KPK, pemerintah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. KPK yang tadinya lumayan powerful sedikit meredup.

Di negara lain serangan balik koruptor malah lebih seru. Di Nigeria, misalnya, Nihu Ribadu, Ketua Komisi Kejahatan Ekonomi dan Komersial, harus melarikan diri ke Inggris untuk menghindari ancaman pembunuhan. Di Korea Selatan Korean Independent Commission Against Corruption dibubarkan dan diganti dengan Anti Corruption and Right Commission.

Serangan Balik Halus

Model serangan balik secara halus itu sudah pernah dilakukan dengan cara “melobi” pemerintah atau DPR, dan faktanya berhasil, antara lain lewat perubahan atau revisi undang-undang, antara lain dengan berubahnya status KPK dari lembaga independen menjadi rumpun eksekutif (UU Nomor 19 Tahun 2019).

Dalam Pasal 1 ayat (3) dinyatakan, KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Di Pasal 3 UU tersebut, sebagai rumpun eksekutif KPK bertanggung jawab kepada Presiden melalui Dewan Pengawas. Banyak pengamat menyebut perubahan undang-undang ini merupakan awal dari pelemahan KPK.

Jauh sebelumnya pada 2006 ada tiga permohonan pengujian undang-undang ke MK. Dari tiga permohonan itu ada enam permasalahan yang diajukan pemohon, yaitu keberadaan KPK, keberadaan pengadilan tipikor, penetapan asas praduga tak bersalah berkaitan dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk.mengeluarkan SP3, keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman, ketentuan dan penerapan frasa mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat pada huruf b UU KPK, asas retroaktif pada penanganan perkara di KPK.

Pelaporan terhadap personel KPK seperti yang dilakukan SYL terhadap Ketua KPK Firli Bahuri, apakah itu bagian dari serangan balik atau tidak tentu perlu dilihat apakah dalam perjalanan pengusutan di Polda Metro Jaya ada unsur-unsur tindak pidana atau tidak. Kalau kita ikuti proses penyelidikannya sudah ditingkatkan menjadi penyidikan, artinya pelaporan itu tidak dapat disebut sebagai serangan balik, mesti syarat adanya alat bukti sudah terpenuhi.

Kita yakin Polda Metro Jaya tidak main-main dengan langkah pengusutan terhadap dugaan tindak pidana pemerasan itu. Kalau kelak terbukti ada pemerasan, maka yang dilakukan SYL itu bukan serangan balik koruptor.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan