Oleh : TITUS
Penyakit kusta sudah ada sejak dahulu kala. Pada tahun 1965, masyarakat yang menderita kusta kerap diberi stigma negatif sebagai orang terkutuk. Sinisme masyarakat ini membebani mental pasien itu sendiri. Pasien yang memang dalam kondisi sakit secara fisik, bertambah pula sakit secara psikis.
Karena tekanan masyarakat terhadap penderita kusta, pada tahun 1965, mengawali kisah pelayanan seorang birawati asal Jerman, Sr. Virgula Schmitt SSpS, di Cancar, Manggarai.
Bermula dari kesaksiannya kepada seorang penderita kusta, Ia lalu membuat catatan tanpa menyebutkan nama pasien tersebut. Hal ini di kisahkan dalam buku Ziarah Pembebasan – Mengenang 50 Tahun Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat St. Damian (2016).
“Lima belas tahun sudah ia hidup merana sendirian di hutan (bekas kebun). Lelaki menjelang dewasa itu menderita kusta dan dibuang oleh keluarganya. Karena tradisi saat itu menilai penyakit tersebut adalah akibat kutukan dan membawa aib yang sangat memalukan. Menurut sanak familinya, ia mengidap penyakit kulit bernanah yang sangat parah. Penyakit itu selain menyebabkan sekujur tubuhnya berbau busuk juga dikuatirkan akan menular.
Karena itu ia “dibuang” ke hutan (bekas kebun). Kalau keluarganya membawa makanan, periuk berisi makanan ditaruh di ujung bambu yang cukup panjang lalu dijulurkan ke penderita kusta ini. Suatu hari setelah sekian lama ia mengais-ngais hidup di tengah semak belukar, dia ditemukan oleh seorang misionaris Fransiskan yang sedang menjalankan patroli rutin. Sang pastor tak sampai hati melewatkan penderita kusta tersebut yang keadaannya sangat memelas. Dia segera menaikkan pasien itu ke atas punggung kuda, membawanya ke poliklinik St. Rafael Cancar”.
Kisah pilu seorang penderita kusta menariknya untuk memfokus pada pelayanan orang kusta setelah ia merintis dan mendirikan sekaligus menjadi perawat di RS. St. Rafael Cancar. Lalu ia mendirikan rumah bambu untuk menampung pasien kusta dan mengobatinya. Rumah bambu ini kemudian menjadi cikal bakal Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat St. Damian Cancar, Manggarai.
Kisah panggilan pelayanan pasien kusta tumbuh dalam diri Sr. Virgula bukan karena sebuah proses kebetulan belaka. Panggilan itu ada sejak ia masih muda dan sebelum menjadi biarawati. Dikisahkan, ia kerap dihadapkan dengan bayangan orang penyakit kusta. Tetapi ia tidak menyadari itu sebagai sebuah panggilan dan pengabdiannya kelak. Setelah ia masuk Kongregasi Suster-Suster Abdi Roh Kudus (SSpS) dan dikirim bertugas di Manggarai barulah ia sadar akan panggilan mulia tersebut.
Awal merawat orang kusta, Sr. Virgula menghadapi berbagai penolakan baik dari masyarakat maupun pejabat pemerintah. Semua berpandangan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kutukan dan mematikan karenanya mereka harus disingkirkan. Penolakan itu tidak saja dihadapinya juga oleh para pasien yang dirawatnya. Suara sinis dan cemoohan kerap mengusik telinga para pasien. Kalimat “Awas, orang kusta mau lewat” menjadi cemeti yang melucuti langkah pasien.
Sr. Virgula tidak patah arang menghadapi penolakan masyarakat. Upaya penyadaran pun ia terus lakukan baik di lingkungan masyarakat maupun di gereja. Usai misa di gereja, Sr. Virgula tampil di mimbar memberikan pemahaman kepada umat terkait penyakit kusta. Ia berulang kali meyakinkan bahwa penyakit kusta tidak akan menular karena para pasien diberi obat secara teratur.
Selain melayani pasien di RS. St. Rafael dan merawat orang kusta, Sr. Virgula terus melakukan turne atau kunjungan dari kampung ke kampung dengan berkuda. Ia ditemani oleh ibu Yosefina Moe, Bapak Stanisius Kowot, Martinus Ahat dan Anselmus Hurint. Tugas yang dilakukan adalah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya hidup sehat. Secara khusus ia melakukan pemeriksaan kepada masyarakat terhadap kemungkinan menderita gejala penyakit kusta.
Terhadap penolakan masyarakat, ia selalu memberikan peneguhan dan berkata demikian, “Kita yang menganggap diri normal belum tentu tidak mempunyai penyakit dalam diri. Orang yang menolak kehadiran mereka berarti hati dan dirinya sakit dan orang inilah yang membutuhkan penyembuhan.”
Pelayanan Sr. Virgula ini mencontohi pelayanan Yesus yang terus mencari dan menyembuhkan orang sakit. Ia tidak menunggu pasien datang. Ia tak pernah lelah mencari pasien dari kampung ke kampung. Serentak namanya menjadi terkenal. Kesadaran masyarakat yang beranggapan penyakit kusta sebagai jurak (penyakit kutukan) pun berkurang.
Pelan dan pasti masyarakat mulai menerima kenyataan bahwa penderita kusta adalah saudara yang layak hidup secara berdampingan. Sr. Virgula sendiri dalam berbagai kesempatan senantiasa menyerukan pesan-pesan kemanusian, “Semua orang kusta dan cacat adalah milik Tuhan, kita harus berjuang bersama mereka untuk memperoleh haknya untuk hidup secara layak.”
Sr. Virgula Schmitt SSpS, buah hati pasangan Yoseph Schmitt dan Mama Ana. Lahir 3 September 1929 di Grunebach, Jerman. Ia adalah putri tunggal dari sepuluh bersaudara. Ia dan seorang saudaranya, P. Leo Schmitt,SVD, memilih hidup membiara.
Ia merasakan panggilan menjadi seorang biarawati sejak kecil. Hati kecilnya selalu menolak karena ia berpikir tidaklah mudah seorang putri tunggal direlakan oleh orang tuanya menjadi seorang biarawati. Namun, Roh kudus bekerja padanya, ia memutuskan untuk bergabung dengan Konggregasi Suster-Suster Abdi Roh Kudus (SSpS). Tahun 1957, ia menerima kaul pertama hidup membiara. Delapan tahun kemudian, tepatnya tahun 1965, Sr. Virgula diutus untuk menjalankan misi di Indonesia, tepatnya di Manggarai, Flores.
Selama berkarya di Manggarai, tetesan keringat, air mata, juga darah mewarnai perjalanan hidupnya bersama Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat St. Damian. Ia bekerja dalam diam tanpa bombardir pemberitaan di media demi pencitraan diri atau untuk menarik simpatik. Ia menolak dengan keras jika karya dan sepak terjangnya diliput. Ia selalu berargumen setiap kali ada wartawan yang mau menulisnya,
“Kalau mau menulis tentang saya jika saya sudah tidak ada lagi”.
Adalah mantan Bupati Manggarai, mendiang Gaspar Parang Ehok, pernah menyatakan impiannya supaya Panti St. Damian mejadi Pusat Rehabiliasi Kusta-Cacat untuk NTT sehingga mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Perjuangan sudah dibuat oleh Pemerintah Daerah Manggarai termasuk pendekatan ke Gubernur NTT Herman Musakabe pada masa itu, namun impian itu sampai sekarang belum berhasil terwujud.
Sr. Virgula, sang pendiri dan perawat orang kusta, sebelum kepulangannya ke negeri asalnya, berujar, “Tolong perhatikan anak-anak di Binongko, itu sudah cukup bagi saya.” Karenanya ia menolak berbagai penghargaan yang diberikan kepadanya. Lebih penting baginya pemerintah atau siapapun menolong orang kusta-cacat di Panti St. Damian yang didirikannya daripada seabrek penghargaan dan puja-puji yang ditujukan kapadanya.
Karena apa yang ia lakukan hanyalah menjalankan perintah Tuhan yang diberikan kepadanya.
”Ini karya Tuhan sendiri, bukan karya saya. Saya bukanlah orang hebat atau orang pintar yang layak dibukukan. Saya melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki,” Kalimat yang selalu diucapkannya.
ia menjalani pensiun di rumah induk SSpS di Steyl, Belanda. Tugasnya mencari dan menghimpun yang terbuang menjadi inspirasi semua orang untuk melayani dan mencintai sesama.