Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) kerja sama Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) dengan DPC Peradi Jakarta Timur. PKPA Angkatan XVI ini digelar pada Kamis (25/8/2022) malam secara daring.
Dalam kesempatan ini, Suhartoyo menyampaikan materi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai aturan, prosedur yang mengatur tata cara mengajukan permohonan perkara ke MK, termasuk juga tata cara dalam persidangan MK.
Suhartoyo mengatakan Hukum Acara MK tidak terlepas dari kewenangan dan kewajiban MK. Kewenangan MK yang berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan ini menjadi ciri khas MK, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon karena yang diuji adalah norma undang-undang.
“Berbeda dengan kewenangan-kewenangan MK lainnya, ada Pihak Pemohon dan Termohon,” kata Suhartoyo saat menyajikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”.
Seperti diketahui, selain berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, MK berwenang memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Selain itu, MK berwenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR mengenai adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana (impeachment/pemakzulan).
Selain itu, ada kewenangan tambahan MK dan bersifat sementara yaitu mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Sebab, kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari konstitusi, tapi berdasarkan UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Empat kewenangan dan satu kewajiban MK tersebut merupakan perintah konstitusi yakni Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” terang Suhartoyo.
Suhartoyo lebih lanjut menerangkan dua model atau dua objek pengujian undang-undang (UU). Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil. Kedua, pengujian materil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Suhartoyo juga menguraikan sejumlah alasan Pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dengan berlakunya undang-undang.
Selanjutnya, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Suhartoyo juga menjelaskan, beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK,” kata Suhartoyo kepada para peserta PKPA.
Suhartoyo menegaskan, seorang advokat harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Kemudian, untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. Kerugian konstitusional merupakan hak yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Berikutnya, Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Kemudian sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, kata Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan mempengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK.
Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara konstitusionl bersyarat. Artinya, norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan konstitusi apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. Sebaliknya, ketika norma pasal, ayat dalam UU yang diputus inkonstitusional bersyarat yakni norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. (Red)