Terdakwa Korupsi Jalur KA Rp 1,1 T Ajukan Eksepsi

Terdakwa Korupsi Jalur KA Rp 1,1 T Ajukan Eksepsi

Jakarta, LINews – Mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Wilayah Sumatera Bagian Utara, Nur Setiawan Sidik, mengajukan eksepsi atas dakwaan korupsi merugikan keuangan negara Rp 1,1 triliun dalam proyek pembangunan jalur kereta api (KA) Besitang-Langsa. Kuasa hukum Nur, Ranop Siregar, menyebut Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tak berwenang mengadili perkara tersebut.
“Dari surat dakwaan yang sudah dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan sebelumnya yang ditujukan kepada Terdakwa Nur Setiawan Sidik, pada pokoknya didakwa melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum, dalam kapasitasnya selaku Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Utara, ex officio sebagai kuasa pengguna anggaran pada kurun waktu Februari 2016 sampai dengan Juli 2017, yang tempat atau locus melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukumnya berada di wilayah Sumatera Utara,” kata Ranop Siregar saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/7/2024).

“Dengan demikian, maka yang berwewenang memeriksa dan/atau mengadili dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah Pengadilan Negeri Medan,” imbuhnya.

Dia mengatakan surat dakwaan jaksa eror, tak lengkap, dan tak cermat. Dia mengatakan Nur Setiawan Sidik hanya menjalankan perintah jabatan dari Direktur Jenderal Perkeretaapian periode Mei 2016-Juli 2017, Prasetyo Boeditjahyono.

“Bahwa Terdakwa Nur Setiawan Sidik semata-mata hanya melaksanakan perintah jabatannya sebagai bawahan dari Direktur Jenderal Perkeretaapian untuk melengkapi perubahan usulan kegiatan pembangunan jalur KA Besitang-Langsa yang akan dibiayai oleh SBSN TA 2017,” ujarnya

Dia mengatakan kliennya telah melaporkan bahwa proyek pembangunan jalur KA Besitang-Langsa tak didukung dengan spesifikasi teknis hingga kerangka acuan kerja (KAK). Namun, dia menyebut, Prasetyo tetap memerintahkan untuk melanjutkan proyek tersebut.

“Terdakwa Nur Setiawan Sidik telah menyampaikan kepada Prasetyo Boeditjahyono bahwa kegiatan pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa belum ada data dukung berupa KAK (kerangka acuan kerja), RAB (rencana anggaran biaya), spesifikasi teknis, dan gambar teknis (long section dan cross section), namun Prasetyo Boeditjahyono tetap memerintahkan Terdakwa Nur Setiawan untuk melanjutkan rencana pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa,” ujarnya.

Dia mengatakan surat dakwaan jaksa tak memenuhi syarat materiil dakwaan. Dia mengatakan Nur Setiawan Sidik tak pernah menerima uang terkait proyek pembangunan jalur KA Besitang-Langsa tersebut.

Dia meminta majelis hakim menerima eksepsi tersebut dan memulihkan nama baik kliennya. Dia juga memohon majelis halim menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum dan tak dilanjutkan pada pemeriksaan pokok perkara.

“Menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum nomor register perkara Pds-35/M.1.10/ft.1/05/2024 tanggal 2 Juli 2024 batal demi hukum atau harus dibatalkan dan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” ujarnya.

Pada persidangan ini, terdakwa Freddy Gondowardojo selaku pemilik PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Bersama juga membacakan eksepsi. Kuasa hukum Freddy mengatakan kliennya tak punya niat memperkaya diri sendiri atau orang lain terkait pembangunan jalur KA Besitang-Langsa.

“Bahwa faktanya KSO atau Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau mendapatkan keuntungan secara pribadi sebesar Rp 64.297.135.394 karena secara jelas proyek pekerjaan BSL-1 telah selesai 100 persen,” kata kuasa hukum Freddy.

Dia mengatakan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,1 triliun dalam kasus ini tidak cermat. Menurutnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.

“Bahwa kerugian negara tersebut dalam dakwaan, yaitu dilakukan oleh BPKP, tidak jelas dan tidak cermat, karena BPKP tidak berwenang menyatakan adanya kerugian negara. Bahwa instansi atau lembaga yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” ujarnya.

Dia juga memohon agar majelis hakim menyatakan surat dakwaan jaksa batal demi hukum. Kemudian, dia juga meminta agar kliennya dibebaskan dari tahanan dan memperoleh pemulihan nama baik.

“Menerima dan mengabulkan nota keberatan atau eksepsi Terdakwa. Dua, menyatakan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili, memeriksa, dan memutus perkara a quo. Tiga, menyatakan surat dakwaan batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima. Empat, memerintahkan agar Terdakwa segera dilepaskan dari tahanan. Lima, memulihkan dan merehabilitasi nama baik, harkat, dan martabat Terdakwa. Enam, membebankan biaya perkara kepada negara,” imbuhnya.

Sidang dakwaan Nur Setiawan Sidik dan Freddy Gondowardojo digelar bersama dua terdakwa lainnya, yakni Arista Gunawan selaku team leader tenaga ahli PT Dardela Yasa Guna dan Amana Gappa selaku Kepala BTP Sumbagut dan kuasa pengguna anggaran periode Juli 2017-Juli 2018, pada Rabu (17/7). Namun Arista dan Amana tak mengajukan eksepsi.

Dalam kasus ini, Nur Setiawan Sidik didakwa merugikan keuangan negara Rp 1,1 triliun. Jaksa menyebut Nur Setiawan melakukan korupsi dalam proyek pembangunan jalur kereta api (KA) Besitang-Langsa.

“Merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.157.087.853.322 (Rp 1,1 triliun) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan Tahun 2015 sampai dengan 2023, dengan Surat Pengantar dari Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Nomor PE.03.03/SR/SP-464/D5/02/2024 tanggal 13 Mei 2024 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP RI),” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (17/7).

Jalur kereta api ini membentang dari Besitang di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, hingga Langsa di Aceh. Jaksa mengatakan Nur Setiawan melakukan korupsi secara bersama-sama dengan enam orang lainnya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. Para terdakwa diadili dalam berkas terpisah.

(Lukman)

Tinggalkan Balasan