Timpang Keadilan, Polemik KPK hingga Acuh Aparat Soal TPPU

Timpang Keadilan, Polemik KPK hingga Acuh Aparat Soal TPPU

Law-Investigasi, Pemikiran filsuf hukum Gustav Radburch soal tujuan hukum selalu diingat betul oleh Yenti Ganarsih. Bahwa hukum bertujuan untuk menghadirkan manfaat, kepastian dan keadilan bagi masyarakat menjadi prinsip yang Yenti pegang dalam merajut kiprahnya sebagai cendekiawan hukum di Indonesia.

Berbekal status pionir pakar dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), membuat karier Yenti moncer. Ia menjadi rujukan bagi para akademisi hukum, aparat penegak hukum dan tak ketinggalan wartawan. Situasi demikian membikin dirinya jadi super sibuk dengan segala agenda, mulai menjadi saksi ahli dalam persidangan, pembekalan pengetahuan aparat hingga merumus beleid hukum. Namun, untungnya Law-Investigasi bisa mewawancarai Yenti setelah sejumlah kompromi jadwal.

Kesempatan itu datang pada Rabu (12/7/2023), itu pun usai mengantre giliran wawancara dari salah satu stasiun televisi swasta. Hari-hari sebelum itu, jadwalnya padat untuk mengawal persidangan TPPU di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan ditambah terlibat urusan sebagai panitia seleksi (pansel) lelang jabatan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum lagi pekan lalunya, ia terlibat dalam forum soal polemik KUHP di salah satu kampus di Kota Malang.

“Maaf ya, jangan marah, kemarin benar-benar tugas untuk negara, bukan bisnis,” ucap Yenti mengawali pembicaraan dengan kami.

Memulai pembicaraan, kami bertanya soal kondisi hukum di Tanah Air. Pertanyaan soal ‘hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas’ langsung kami layangkan. Ia tidak menafikan ungkapan itu, ungkapan yang datang dari masyarakat yang seolah pas mencerminkan realitas hukum negeri ini. “Saya prihatin, banyak hal dalam 5 tahun ini, tajam ke bawah tumpul ke atas masih terjadi,” ujar dia.

Ia melihat ada relasi kuasa yang membuat proses penegakan hukum tersandera kepentingan kelompok ataupun segelintir orang saja. Alih-alih hukum untuk keadilan, justru hukum berpihak pada mereka yang memiliki kuasa dalam hal jabatan maupun kapital. Ketimpangan penegakan hukum karena relasi kuasa itu sarat terjadi sejak proses penyelidikan kasus. Alhasil, independensi penegak hukum goyah sehingga memengaruhi putusan bagi si pelaku.

“Saya merasa ada banyak kasus pidana, kalau orang-orang yang kuat, cenderung tak tersentuh atau lama penegakan hukumnya. Kalau tajam ke bawah secara khusus kalau sudah ada pidana, dia pidananya berat, karena dia orang biasa. Kalau orang punya power, punya uang, dia relatif pidananya lebih ringan,” katanya.

Pandangan Yenti jelas soal bagaimana ketimpangan kelas di tataran masyarakat seakan berdampak pada seberapa besar akses perlindungan hukum dan seberapa timpang bandul keadilan. Ketimpangan yang ia maksud bisa terlihat sejak bagaimana masyarakat datang mengadu ke aparat. Tatkala posisi kasus maupun individunya lemah bagi kepentingan aparat, maka aparat seolah bergeming. Namun, beda kondisinya ketika yang mengadu adalah pihak yang memiliki kapasitas secara jabatan maupun finansial.

“Kalau yang melapor itu orang biasa dan yang dilaporkan adalah orang berpengaruh, nah itu tidak akan jalan-jalan. Itu masalah equality before the law. Sekarang apa dampaknya, banyak sekali kejahatan-kejahatan. Masyarakat mulai tidak percaya dengan aparat penegak hukumnya. Masih berpikir bahwa kalaupun jadi pelaku, masih bisa bermain-main dengan penegak hukum. Yang jadi korban kemudian berpikir pasrah, karena percuma saja melapor,” urai dia.

Sudut pandangnya menyimpulkan bahwa ketimpangan hukum yang ada kini akibat aparat penegak hukum menihilkan bukti dan integritas. Polisi, jaksa hingga hakim berperilaku bias sehingga tidak dapat melihat dan memutus perkara secara adil. Atas semua laku itu, Yenti menitikberatkan bahwa permainan di balik segala putusan dan penanganan hukum itu memang jadi hal yang tak terpisahkan dalam realitas hukum sekarang. Segala temuan kasus sejauh ini yang menjerat aparat sebagai aktor korupsi dalam atur perkara maupun sebagai aktor utama cukup menjadi bukti mereka bukan pembela keadilan.

“Memburuk kondisi hukum di Indonesia dan kontras dengan apa yang kita idam-idamkan bahwa negara ini negara hukum yang sesuai diamanahkan UUD 1945, yang menyebutkan juga semua masyarakat sama di mata hukum, tapi faktanya mana. Banyak ditemukan penegakan hukum menerima gratifikasi, disuap,” tuturnya.

Bicara soal korupsi, kami bertanya bagaimana situasi KPK yang semakin ke sini tampaknya disubukkan masalah internal yang berujung kontroversi dan polemik dalam pandangan masyarakat. Setidaknya bisa dilihat dari efek revisi UU KPK yang mengundang protes dari publik karena dianggap melemahkan komisi antirasuah. Lalu, ditambah drama konflik internal antara pimpinan KPK dan sejumlah penyidik lantaran perbedaan prinsip. Dinamika yang terjadi di internal komisi anti-rasuah, juga tidak terelak dari laku sang ketuanya kini, Firli Bahuri. Ia tercatat diduga melakukan sejumlah pelanggaran kode etik. Yang santer terdengar belakangan soal pemutusan masa kerja Brigjen Endar Priantoro dan pembocoran dokumen rahasia KPK ihwal penyelidikan di Kementerian ESDM.

Yenti tidak menyangka citra KPK akan seperti ini jadinya. Ia merasa perlu angkat suara karena berperan andil mengangkat Firli Bahuri cs berkat keputusannya sebagai pansel calon pimpinan KPK beberapa tahun silam.

“Padahal dulu sewaktu tahun 2019 ketika pansel mencari komisioner, salah satu (hal) mereka ditanya bagaimana penguatan internal selain mereka melakukan penindakan maupun pencegahan. Itu (mereka) dulu menjawab pertanyaan itu, tapi kemudian dalam perjalanannya seperti ini. Bocor-membocor kasus, itu kok seperti itu. Ini menyedihkan untuk perkembangan hukum,” kata dia.

Polemik soal perpanjangan masa jabatan Firli cs juga disoroti oleh Yenti. Baginya, permohonan semacam itu ke Mahkamah Konstitusi tidak elok. Kemudian, putusan MK pun patut dicermati kepentingannya apa. Ia dalam posisi bahwa ada muatan politis di balik keputusan MK yang mengabulkan keinginan kepemimpinan Firli berlanjut satu tahun.

“Minta (perpanjangan jabatan) itu tidak melanggar hukum walaupun secara etis, itu melanggar, secara kepatutan menurut saya. Tapi, permasalahannya yang mengabulkannya,” ucapnya.

Terlibat dengan KPK sejak lama, membuat Yenti mempunyai sedikit cerita ihwal mengapa pimpinan KPK ngotot ingin masa jabatannya diperpanjang. Namun, dari cerita yang ia dapat, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal.

(R. Simangunsong)

Tinggalkan Balasan