Titik Nadir KPK di Era Jokowi

Titik Nadir KPK di Era Jokowi

Jakarta, LINews — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan Mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Namun, Firli menolak mundur dan akan melakukan ‘perlawanan’ atas status tersangkanya tersebut.

Di satu sisi, anak buah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mempersiapkan Keppres pemberhentian Firli sebagai Ketua KPK. Kemensetneg mempersiapkan draf keppres tersebut setelah pada Kamis (23/11) sore lalu menerima surat pemberitahuan penetapan Firli sebagai tersangka.

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan rancangan itu segera diberikan kepada Jokowi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK.

Di sisi lain, penetapan Firli sebagai tersangka seperti membuka tabir dari seabrek masalah yang menimpa KPK di masa periode kepemimpinan Presiden Jokowi sejak 2014 silam.

Dari mulai revisi Undang-undang KPK yang dianggap upaya melemahkan lembaga antirasuah, pemilihan pimpinan KPK yang bermasalah, Tes Wawasan Kebangsaan yang memecat puluhan insan terbaik KPK, hingga pelbagai kasus etik yang menimpa para pimpinannya.

Tingkat kepercayaan KPK di mata masyarakat pun terlihat merosot belakangan ini. Sebagai contoh, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Juli 2023 lalu misalnya menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di bawah TNI, Presiden dan Polri. Padahal sebelumnya, justru KPK biasa menempati urutan tiga teratas lembaga yang dipercayai publik.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai kondisi KPK kini makin terpuruk usai Firli ditetapkan sebagai tersangka. Baginya, kondisi ini tak lepas dari perangai buruk para pemimpinnya, khususnya Firli yang berulang kali melanggar etik dan kini menjadi tersangka.

“KPK makin terpuruk, nama baiknya hancur, martabatnya makin terperosok, kepercayaan publik makin turun. Ini tak lepas dari perilaku para pimpinannya, khususnya Firli yang berkali melakukan pelanggaran etik dan sekarang jadi tersangka kasus korupsi. Ini merugikan upaya pemberantasan korupsi,” kata Zaenur kepada Law-Investigasi, Jumat (24/11).

Zaenur memandang kasus Firli menjadi tersangka ini merupakan rentetan panjang polemik yang menimpa lembaga antirasuah tersebut. Menurutnya tak bisa dipungkiri bahwa Presiden Jokowi memiliki andil dalam pelemahan dan kerusakan di KPK saat ini.

Dua andil dalam menggerogoti KPK

Zaenur melihat Jokowi memiliki setidaknya dua andil dalam kerusakan KPK saat ini.

Kerusakan pertama terjadi ketika Jokowi saat menyusun panitia seleksi (Pansel) KPK pada 2019 lalu. Zaenur memandang representasi masyarakat sipil antikorupsi pada Pansel kala itu minim dan nyaris tidak ada.

Sembilan anggota tim Pansel Capim KPK periode 2019-2023 lalu diisi Yenti Ganarsih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Hamdi Moeloek, Marcus Priyo, Hendardi, Al Araf, Diani Sadia, Mualimin Abdi.

Zaenur memandang koalisi masyarakat sipil saat itu telah menentang Firli menjadi calon pimpinan KPK. Sebab, Firli sempat dijatuhi sanksi etik ketika masih menjabat direktur penindakan KPK.

Namun akhirnya Firli diloloskan menjadi pimpinan KPK kala itu oleh Pansel maupun oleh DPR. Artinya, Zaenur memandang elite politik Indonesia menghendaki sosok yang bermasalah atau problematik menjadi pimpinan KPK.

“Kemudian calon-calon diloloskan Pansel adalah calon problematik. Dan kemudian Presiden tetap terima dan kirim ke DPR. Sehingga Firli bisa lolos,” kata dia.

Andil kedua, Zaenur melihat Jokowi memiliki keinginan untuk merevisi UU KPK sehingga menjadi lemah. Baginya, revisi UU KPK ini menempatkan KPK tak lagi independen dan menempatkan lembaga di bawah rumpun eksekutif.

“Kemudian pegawai KPK di PNS semua, melakukan TWK, dan TWK itu banyak pecat pegawai yang bersifat independen yang punya banyak prestasi. Sehingga situasi sekarang tak lepas dari andil Presiden,” kata dia.

“Ini jadi duet maut, antara revisi UU KPK bersama dengan konfigurasi pimpinan KPK yang problematik saat ini,” tambahnya.

Momentum pembenahan KPK

Di sisi lain, Zaenur memandang saat ini menjadi momen untuk pembenahan KPK di tengah carut-marut kasus hukum pemimpinnya. Baginya, penting memikirkan kembali penguatan pemberantasan korupsi melalui KPK.

Ia menilai salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengkaji dan evaluasi lagi UU KPK yang sudah diterapkan. Sebab, UU KPK yang berlaku kini membuat KPK makin lemah.

“Saya harap UU KPK direvisi kembali, kembalikan independensi KPK, kalau ada perubahan, ubah jauh lebih baik. Misal dengan imunitas dalam pelaksanaan tugas, kewenangan dan pelaksanaan kode etik lebih keras lagi,” kata dia.

Jokowi harus tegas

Pakar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Trisno Raharjo menilai Firli yang ditetapkan sebagai tersangka sebagai puncak dari pelbagai rentetan masalah yang membuat jatuh kredibilitas KPK belakangan ini.

Ia menyoroti harapan Jokowi dan DPR kepada KPK sejak 2019 bisa menjadi kekuatan baru penegakkan korupsi justru berbalik arah. Kini, kondisi KPK makin lama makin lemah.

“Ini rentetan sungguh sangat menjatuhkan kredibilitas KPK. Ini masalah terbesar KPK,” kata Trisno dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (23/11).

Melihat kondisi ini, Trisno meminta Jokowi untuk mengambil sikap tegas yang konkret. Salah satunya dengan mempercepat pemberhentian Firli dari KPK untuk menghadapi kasus yang menimpanya tersebut.

Ia juga mendesak supaya Firli mundur dari KPK. Sehingga Jokowi bisa segera mencari pengganti Firli dari kursi pimpinan KPK supaya muruah lembaga penegakan hukum kasus korupsi itu tak makin melemah.

“Firli harus mundur dan presiden tunjuk penggantinya,” kata Trisno.

Pada Kamis lalu, Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) melihat ada dua sisi dari penetapan status Firli sebagai tersangka pemerasan.

Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman melihat ini sebagai kabar baik upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun demikian, dia juga melihat sisi gelap dari penetapan tersangka ini karena Firli sekarang ini statusnya adalah pimpinan dari lembaga antikorupsi.

“Selain ini merupakan kabar baik bagi pemberantasan korupsi ini juga bisa dikatakan sebagai kabar buruk, karena ternyata upaya pemberantasan korupsi di Indonesia justru diduga menimbulkan korupsi baru,” kata Zaenur dalam keterangannya, Kamis (23/11).

Bagi pihaknya, kata Zaenur, situasi ini menunjukkan betapa carut marutnya dunia hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Mengacu pada Pasal 32 Undang-undang 19 Tahun 2019, Zaenur menekankan Firli yang kini berstatus tersangka harus segera diberhentikan sementara dari jabatan Ketua KPK melalui Keputusan Presiden (Keppres). Polri diminta berkoordinasi secepat mungkin dengan KPK untuk menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga harus segera mengambil tindakan.

Apabila pemberhentian sementara tak segera dilakukan, selain jadi perbuatan melawan hukum juga masih menyisakan ruang bagi Firli untuk kembali bermanuver dengan posisinya di KPK.

“Itu tentu masih berbahaya. Kita lihat kemarin sebelum ditetapkan sebagai tersangka Firli Bahuri ini juga melakukan banyak manuver di KPK seperti misalnya memerintah untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap SYL secara langsung,” papar Zaenur.

“Padahal dia bukan penyidik dan lain-lain itu menunjukkan dia ada interest, sehingga kalau Firli Bahuri ini tidak segera diberhentikan dari KPK, diberhentikan sementara maka risiko kepada KPK juga risiko terhadap kasus yang sedang dialamatkan kepada Firli Bahuri itu sendiri,” sambungnya.

Problematik sejak masih Deputi Penindakan KPK

Menurut pandangannya, Firli adalah sosok yang problematik bahkan sedari masih menjabat selaku deputi penindakan KPK.

Zaenur menyinggung momen pertemuan Firli yang bertemu dengan salah satu pihak berperkara. Ia lolos dari sanksi etik karena keburu ditarik ke institusinya semula, yakni Polri.

Firli juga seakan tak pernah lepas dari kontroversi sepanjang duduk di kursi pimpinan lembaga antirasuah karena polahnya sendiri. Dia mencontohkan sikap Firli yang menunjukkan gaya hidup mewah ketika naik helikopter untuk perjalanan pribadi ke Baturaja, Sumatera Selatan. Belum lagi dugaan unsur gratifikasi di baliknya.

“Jadi penolakan masyarakat sejak awal terhadap sosok ini karena didasarkan pada nilai-nilai integritas yang telah dilanggar sejak awal oleh Firli Bahuri. Ternyata ketika kemudian Firli Bahuri menjabat ya kebiasaan-kebiasaan lamanya tidak bisa hilang di KPK,” kata Zaenur.

Momentum titik balik KPK

Pukat UGM memandang momentum ini harus dimanfaatkan membenahi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, termasuk meninjau ulang kelemahan UU KPK.

“Tentu saya berharap undang-undang KPK ini direvisi kembali, kembalikan independensi KPK kalau mau ada perubahan-perubahan ubahlah menjadi jauh lebih baik sebagaimana guidance dari United Nations Convention against Corruption. Misalnya dengan stagering sistem memberikan imunitas dalam hal pelaksanaan tugas kewenangan, tetapi juga penegakan kode etik yang lebih tegas dan lebih keras,” imbuhnya.

Selanjutnya, peristiwa ini semestinya jadi pelajaran bagi pansel capim KPK agar tak lagi memilih orang-orang problematik ke depannya. Perlu peninjauan terhadap sistem internal yang memungkinkan terjadinya pelanggaran kode etik sekaligus pelanggaran pidana.

Kemudian, memastikan KPK tak jadi alat politik pihak mana pun serta membenahi kinerja dewan pengawas (dewas) yang cukup memprihatinkan sekalipun diisi nama-nama mentereng.

“Maka ini harus menjadi titik balik bagi KPK untuk merevolusi diri agar KPK dapat kembali menjadi lembaga yang berintergirtas, yang bisa dipercaya oleh publik, tanpa itu yang publik akan semakin susah percaya kepada KPK,” ujar Zaenur.

(Remond)

Tinggalkan Balasan