Tradisi Ngarot, Simbol Regenerasi Petani Lelea Indramayu

Tradisi Ngarot, Simbol Regenerasi Petani Lelea Indramayu

Indramayu, LINews – Menandai awal musim tanam padi, warga di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu menggelar tradisi ngarot. Tradisi yang dilakukan sejak awal abad 17 itu menjadi simbol regenerasi pertanian di Kabupaten Indramayu.

Muda-mudi di desa tersebut sejak pagi sudah berkumpul di balai ngarot untuk memulai prosesi ngarot yang digelar setiap tahunnya. Seperti biasanya, para peserta gadis memakai pakaian khas dengan bunga mahkota yang ada di kepalanya. Sementara itu, untuk peserta lelaki memakai pakaian baju kampret serbahitam.

Dipimpin kepala desanya, para peserta kemudian diarak berkeliling desa sebelum akhirnya tiba di balai desa. Kemudian, ngarot ditutup dengan penyerahan alat panca usaha tani kepada remaja putri dan beberapa remaja putra.

Konon, tradisi yang dijadikan simbol untuk memulai musim tanam padi ini sudah berlangsung sejak abad 17 awal. Diceritakan bahwa dahulu kala ada orang kaya raya bermana Ki Kapol yang memiliki lahan persawahan cukup luas.

Namun, lantaran Ki Kapol yang kala itu tidak memiliki keturunan, sehingga ia membuat sebuah acara untuk mengundang anak muda agar bisa menjadi regenerasi yang kemudian acara tersebut disebut adat tradisi ngarot.

“Ki Buyut Kapol itu ya kurang lebih di abad 16 atau 17 awal ya. Beliau itu tidak punya anak, dia punya pemikiran gimana nih supaya anak-anak bisa dikumpulkan dibuat acara edukatif lah nah akhirnya disebutlah ngarot,” kata Kepala Desa Lelea Raidi, Rabu (13/12/2023).

Secara bahasa, ngarot terdiri dari kata ‘nga’ yang bermakna makan, dan rot yang artinya minum. Sehingga mulanya tradisi ini dikenal dengan sebutan pesta makan dan minum untuk para regenerasi dari tanah yang dihibahkan oleh Ki Kapol tersebut. Sawah adat yang juga disebut Sawah Kasinoman yang dihibahkan Ki Kapol itu dengan tujuan untuk mengajarkan hidup gotongroyong dan kemandirian.

“Akhirnya lama-lama karena Buyut Kapol tidak punya keturunan sehingga dihibahkan tanah itu yang 2,2 hektare itu diantaranya untuk ngarot,” ujarnya.

Kemudian, tradisi yang biasanya digelar setelah memasuki musim hujan itu digunakan untuk tradisi mengawali musim tanam padi. Para peserta yang sudah tiba di balai desa selepas berkeliling itu kemudian melaksanakan upacara penyerahan alat pertanian.

Raidi sebagai pimpinan adat, menyerahkan bibit, air keberkahan, alat pertanian seperti cangkul dan pedang hingga pupuk kepada peserta ngarot. Hal itu selain menandai awal musim tanam padi, tradisi juga ditunjukkan untuk mengedukasi generasi penerus tentang usaha tani.

“Itu regenerasi pertanian jadi jangan sampai kamu lupa bahwa kamu adalah anak dari seorang petani,” ucapnya.

“Ini bibitnya, ini air kesuburan, kemakmuran nya, ini pupuk tanda kesuburan, ini calad cangkulnya untuk membajak sawah,” imbuh Raidi.

Sekedar diketahui, untuk tradisi ngarot tahun ini hanya diikuti oleh 120 peserta. Yaitu 70 orang diantaranya gadis ngarot atau Budak Wewe Cuwene (pemudi atau gadis) dan 50 orang pemuda atau budak laki bujang (pemuda).

(Sanita)

Tinggalkan Balasan