Yusuf Ateh, Sang Auditor Kepercayaan Presiden

Yusuf Ateh, Sang Auditor Kepercayaan Presiden

Jakarta, LINews – Kedua tangan Presiden Prabowo Subianto menggenggam erat tangan Yusuf Ateh. Momen itu tampak selepas presiden melantik Yusuf Ateh sebagai Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada pertengahan Februari 2025 di Istana Negara, Jakarta. Pengukuhan ini menjadikan Ateh sebagai orang nomor satu di lembaga audit internal pemerintah untuk kedua kalinya secara berturut-turut sejak 2020.

Di periode pertama pemerintahan Prabowo, Ateh diberi peran menjaga anggaran negara dari tindakan fraud di kementerian dan lembaga negara. Sejurus dengan itu, dia bertanggung jawab menjamin utuhnya penerimaan negara dari hasil setiap kebijakan dan aksi korporasi perusahaan pelat merah atau BUMN. Ateh masih ingat betul pembangunan ekonomi menjadi frasa yang digaungkan Prabowo saat kali pertama menjabat presiden. Dan BPKP digadang-gadang mengawal target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen.

“Presiden menyampaikan pertahanan yang paling utama sekarang ini bukan hanya masalah persenjataan, tapi masalah ekonomi,” kata Yusuf Ateh.

Kebijakan pembangunan seperti program strategis nasional (PSN) menjadi titik vital bagi kelangsungan pertumbuhan makro ekonomi nasional. Dia diberi pesan khusus dari Prabowo untuk mengawasi transpransi dan akuntabilitas PSN yang digarap kementerian dan BUMN. Tidak hanya PSN baru, tapi juga PSN yang digarap pemerintahan Joko Widodo. Kata Ateh, masih banyak PSN yang bermasalah sehingga menghambat pembangunan ekonomi dan penerimaan negara.

Di masa Jokowi saja, tepatnya pada pertengahan 2023, ada 58 PSN yang magkrak. Mulai dari PLTU, smeltar tambang hingga sarana transportasi. Padahal investasi yang sudah dikucurkan berjumlah triliunan rupiah. Proyek yang mangkrak berakibat pada hilangnya potensi perputaran dana investasi yang menjadi deviden bagi negara. Di sisi lain, utang negara lewat skema kerja sama dalam PSN tak bisa ditambal jika pembangunan PSN stagnan.

Di tengah mandeknya PSN, Ateh bilang ada resistensi terhadap kerja-kerja pengawasan transparansi keuangan dan pembangunan nasional. Resistensi berasal dari kementerian, lembaga negara hingga level pemerintah daerah. Penolakan ini berpotensi menghambat proses audit, reviu hingga pemberian rekomendasi kepada pemerintah.

“Di lapangan, masih kerap terjadi penolakan atau penghalangan terhadap upaya pengawalan yang kami rancang untuk dilakukan sejak tahap awal program/kegiatan. Tantangan utama yang kami hadapi dalam pelaksanaan pengawasan intern adalah upaya pengawalan dan pendampingan belum sepenuhnya diterima dengan baik oleh pimpinan Kementerian, lembaga negara dan daerah,” kata Ateh.

Adanya penolakan kerja BPKP ini, kata Ateh, membuat fungsi pengawasan pihaknya tidak maksimal. Sehingga celah-celah penyimpangan dalam pembangunan daerah dan nasional yang seharusnya bisa dideteksi menjadi luput dari pengawasan.

“Pencegahan permasalahan menjadi tidak optimal. Dalam hal ini, program atau kegiatan terlanjur terkena permasalahan akuntabilitas sehingga terkadang penyelesaiannya harus melalui upaya penegakan hukum,” ujarnya.

Gelagat resistensi tidak hanya terjadi dalam kerja pengawasan BPKP. Ateh menambahkan bahwa hasil audit maupun reviu yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan atau menyikapi permasalahan proyek negara pun terganjal di level birokrasi.

“Tindak lanjut oleh Kementerian, Lembaga Negara dan Daerah atas rekomendasi yang kami sampaikan juga sering kali lambat, atau bahkan berlarutlarut hingga permasalahan menjadi semakin besar,” ujar dia.

Dari adanya resistensi ini, temuan BPKP menujukkan setidaknya hampir 50 persen proses pembangunan daerah berjalan secara tidak optimal.

“Dari aspek efektivitas dan harmonisasi pembangunan di daerah, perencanaan dan penganggaran daerah masih belum optimal. Berdasarkan hasil pengawasan, kami menemukan sebanyak 43 persen program berpotensi tidak optimal mengungkit sasaran pembangunan pada daerah yang diuji petik,” kata Ateh.

Akuntabilitas pengelolaan dana pensiun BUMN menjadi fokus BPKP lantaran triliunan dana dialihkan dalam investasi yang serampangan. Kasus bancakan dana pensiun seperti BUMN Pelindo, Pelni hingga Taspen menjadi preseden buruk bagaimana dana mengalir ke investasi yang diatur untuk kepentingan segelintir direksi dan pebisnis. Alih-alih berinvestasi di saham yang aman atau dikenal istilah blue chip, dana justru dikuras mendanai saham ‘gorengan’ yang terafiliasi pihak berperkara.

Ateh mewanti-wanti sumber utama dari kebocoran APBN adalah korupsi yang melibatkan pengusaha, birokrasi, legislatif, hingga penegak hukum. Modusnya bisa beragam, entah itu melalui proyek di BUMN hingga di level kementerian. Ujung-ujungnya, boncosnya pemasukan negara.

“Presiden menitikberatkan penerimaan negara dari dana yang tidak tersentuh,” kata Ateh.

Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya ada 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN. Akibatnya terjadi kerugian negara hingga Rp 47,9 triliun. Turut pula ditemukan nilai suap hingga Rp 106,9 miliar dan nilai tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 57,86 miliar.

Kerawanan korupsi di BUMN lantas disoroti betul oleh BPKP. Sebelum dilantik kali kedua menjadi Kepala BPKP, Ateh mencoba merangkul Menteri BUMN Erick Thohir dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membuat nota kesepakatan soal pencegahan korupsi di lingkunan perusahaan pelat merah. Bagi BPKP, kerja sama ini menjadi pembuka jalan bagi BPKP untuk lebih dalam mengawal akuntabilitas keuangan BUMN, mulai dari hulu hingga hilir.

“Ini (kerja sama lintas institusi) memicu rantai berkelanjutan terkait upaya penguatan tata kelola korporasi negara yang baik dan bersih,” ujar Ateh.

Jauh sebelum itu, sumber kami di BPKP mengatakan Yusuf Ateh dan Jaksa Agung tak jarang bertemu membahas tata kelola penggunaan anggaran di level kementerian hingga BUMN. Intensnya pertemuan antara Ateh dan ST Burhanuddin kian terjalin saat penyidikan kasus korupsi BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (kini Komdigi).

Prabowo juga menugaskan BPKP mengaudit tata kelola industri sawit. Teranyar, Kejagung sedang mengusut dugaan korupsi izin bisnis sawit, yang santer permainan antara pebisnis dan kementerian terkait denda penggunaan lahan di kawasan hutan lindung. Pengusutan kasus seiringan dengan pernyataan Hashim S Djojohadikusumo ihwal potensi penerimaan negara sebanyak Rp 300 triliun dari pengempang pajak atau denda bisnis sawit. Tetapi jika ditilik lebih dalam, adik kandung Prabowo itu sebenarnya memiliki kepentingan bisnis sawit melalui korporasinya, yaitu Arsari Group.

Bagi Ateh, auditor adalah auditor. Terlepas dari kepentingan politik yang membayangi, dia bilang bahwa BPKP bakal mengawal akuntabilitas pembangunan dan keuangan nasional secara profesional. Catatan positif ihwal uang negara yang terselamatkan dari tahun ke tahun bisa menjadi preseden baik soal bagaimana keberpihakan auditor BPKP pada kepentingan nasional.

“Total kontribusi BPKP itu (dari 2020-awal 2024) adalah (menyelamatkan anggaran negara) 310,36 triliun,”ujar dia.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan